Tuesday, December 29, 2009

Anggota Majelis SBY Nurusalam Akui Fasilitas Umroh ke Ulama

Selasa, 29 Desember 2009 | 22:22 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta -Anggota Majelis Dzikir SBY Nurusalam, Damrizal, membenarkan kabar tentang pemberian fasilitas kepada sejumlah ulama untuk menjalankan ibadah umroh.

“Itu program yang sudah dijalankan yayasan sejak lama. Bahkan, mungkin sampai dengan awal tahun 2009 ini masih ada yang berangkat,” ujar Damrizal ketika dihubungi Selasa (29/12).

Damrizal menerangkan program itu merupakan aktivitas rutin yang diselenggarakan yayasan terhadap kalangan alim ulama yang belum pernah menunaikan ibadah umroh ke tanah suci Mekkah. “
Ada kriterianya. Mereka yang mendapat fasilitas itu hanya ulama yang tidak mampu. Jadi tidak sembarangan,” kata dia.

Ia menjelaskan biaya perjalanan umroh terebut ditanggung oleh seluruh anggota. Bantuan pendanaan juga sangat tertolong oleh sosok ketua Yayasan Majelis Dzikir, Harris Thahir. “Dana seperti itu tidak terlalu besar bagi Pak Harris. Dia pengusaha yang memiliki infrastruktur perekonomian yang cukup mapan,” ujar dia.

Adapun bagi ulama yang berkecukupan, pelaksanaan umroh harus ditanggung sendiri dan yang bersangkutan bisa berangkat secara bersamaan dengan ulama yang memperoleh fasilitas. “Jadi kesimpulan yang ada dalam buku (Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century) George Junus Aditjondro tidak sepenuhnya benar,” tegas dia.

Damrizal menjelaskan, yayasan yang dibentuk pada  2005 itu juga kerap menggelar kegiatan sosial keagamaan di hampir seluruh provinsi di tanah air. Beberapa di antaranya adalah menyantuni anak yatim, memberikan beasiswa, menyantuni korban musibah alam hingga bantuan bagi sejumlah pondok pesantren.

Ide pendirian yayasan tumbuh dari kesadaran sejumlah ulama untuk menerjemahkan konsep nasionalisme religius. Konsep ini, kata Damrizal, diwujudkan dalam bentuk ritual dzikir dan aktivitas sosial. “Jemaah kami tidak pernah berpikir tentang uang. Kompensasi yang mereka cari hanyalah pahala,” ujar mantan Ketua Umum Relawan SBY yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ini.

RIKY FERDIANTO

Saturday, December 12, 2009

Wiranto Minta Restu Abah Anom

Selasa, 29/06/2004 18:39 WIB

M. Munab Islah Ahyani - detikNews


Bandung - Restu kiai sangat penting bagi calon presiden dari Golkar Wiranto. Karena itu, Selasa (29/6/2004), Wiranto menemui pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya Abah Anom untuk meminta restu. Wiranto datang ke pesantren yang berada di Pageur Ageung, Tasikmalaya bersama kader Golkar Ruhut Sitompul dan Slamet Effendy Yusuf. Wiranto bersama rombongan menuju pesantren dengan helikopter. Saat datang, Wiranto disambutan ribuan orang yang sudah menantikan kedatangannya di halaman rumah Abah Anom itu. Kebetulan massa yang banyak berdatangan dari Jateng, Jatim, DKI, Palembang, Banten, Kalimantan, Singapura, dan Malaysia itu juga tengah datang untuk kegiatan manakiban atau pengajian bulanan. Wakil Sesepuh Ponpes Suryalaya, KH Zaenal Abidin Anwar yang menyambut kedatangannya menyatakan bahwa Wiranto selain sebagai capres, ternyata juga merupakan ikhwan Tarekat Qodriah Nasabandhiah. "Berarti Pak Wiranto ini juga merupakan murid Abah Anom," katanya. Untuk itu, pihaknya mengajak seluruh ikhwan tarekat itu untuk berdoa dan mendukung Wiranto agar bisa memimpin bangsa ini. "Mari kita doakan agar beliau mampu mengemban amanat ini," katanya disambut riuh oleh seluruh ikhwan yang hadir. Sementara itu, Wiranto menyatakan, hingga saat ini belum ada pemimpin yang mampu memberikan impian masyarakat yaitu suasana tentram, adil, aman dan sejahtera. "Keinginan masyarakat ini sebetulnya sangat sederhana yakni kenyang, tenang dan aman atau KTA. KTA ini yang diminta oleh masyarakat di berbagai daerah yang saya temui. Ini pun belum bisa diwujudkan," kata Wiranto. Karenanya, meski tugas itu diakuinya sangat berat dirinya telah mempersiapkan diri untuk memikul tugas itu. Seusai dari ponpes itu, Wiranto kemudian langsung terbang ke Palembang dan Jambi. (asy/)



Menag: Pemahaman Agama yang Lemah Penyebab Radikalisme

Selasa, 22/05/2007 23:25 WIB

Ramdhan Muhaimin - detikNews
Jakarta - Radikalisme di sebagian masyarakat bisa muncul karena banyak hal. Salah satunya adalah karena lemahnya pemahaman agama. Mereka akan menjadi sasaran yang empuk bagi orang-orang yang bertujuan menyelewengkan ajaran agama atau mengajarkan paham-paham keagamaan yang sesat. "Umat yang lemah dari segi pemahaman biasanya mudah tergiur dengan bujukan material untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama. Termasuk tindakan redikalisme," ujar Menag Maftuh Basyuni. Hal itu disampaikan dia saat bersilaturahmi dengan ulama pesantren dan kyai Tarekat se-Indonesia, di Ponpes Almubarok, Medono, Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (22/5/2007). Maftuh mengatakan, masyarakat yang memiliki pengetahuan agama yang lemah dari segi pengamalan perlu diberi sentuhan-sentuhan tasawuf atau penjelasan tentang himatut tasyri'. Sentuhan tersebut menurutnya, dapat mendorong mereka untuk memahami esensi dari perintah dan larangan agama secara lebih luas. Dari berbagai hasil penelitian, lanjut Maftuh, terungkap bahwa pengikut tarekat memiliki tingkat kesadaran menjalankan ibadah yang tinggi dan menampakan kesadaran moral yang tinggi pula. Kondisi itu merupakan suatu bentuk sumbangan yang berharga dalam rangka membangun moral bangsa secara umum. "Komitmen komunitas penganut tarekat seperti ini diharapkan senantiasa menjadi contoh penegakan nilai-nilai moral keagamaan dan penghayatan spiritual yang baik," ujar Maftuh. Maftuh jmenambahkan, tanggung jawab ulama ke depan semakin berat. Sebab masyarakat saat ini semakin terbuka terhadap pengaruh dari luar akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Peran ulama di lingkungan ponpes, tambah Maftuh, perlu dipertahankan. "Ulama adalah pendidik bagi santrinya, penyuluh bagi masyarakat, dan pembimbing bagi umat yang memerlukan nasehat, pertimbangan atau menghadapi masalah. Peran yang sudah berakar ini tak boleh ditinggalkan atau diabaikan," pungkasnya. (rmd/nvt)




Menelisik Jejak Naqsyabandiah Sejak Abad ke-18 di Riau

Kamis, 10/09/2009 15:58 WIB

Chaidir Anwar Tanjung - detikNews


(Foto: naqshbandi.org)
Pekanbaru - Keberadaan suluk atau tarekat Naqsyabandiah ini sudah berada di Riau sejak abad ke-18 silam. Pengajian dengan cara bersuluk ini awalnya diajarkan oleh Tuan Syeh Abdul Wahab Rokan yang dia bawa dari tanah suci Makkah.

Tuan Syeh ini lahir di Kota Tengah Kepenuhan yang dulunya menjadi pusat Kerajaan Tuanku Tambusai. Ketika masih remaja, Abdul Wahab Rokan menjalankan rukun Islam yang ke lima yaitu ke tanah suci Makkah. Setelah menunaikan haji, Abdul Wahab tidak langsung kembali ke Tanah Air.

Namun ada 5 tahun warga Riau ini belajar di Jabul Abi Kubis di Makkah. Di sinilah cikal bakal dibawanya aliran Naqsyabandiah ke Riau. Setelah lima tahun menimba ilmu, kembalinya ke tanah Rokan ajaran Naqsyabandiah ini diperluas dengan mendirikan berbagai pondok.

“Inilah sejarah awal cikal bakal lahirnya Negeri Seribu Suluk di Riau. Persulukan ini sudah ratusan tahun usianya dan sampai sekarang, pengikutnya masih terus berkembang, baik di Riau apalagi di Sumatera Utara,” kata tokoh budayawan Riau, Al Azhar dalam perbincangan dengan detikRamadan.

Saat terjadi perang Padri tahun 1838, pengajian Naqsyabandiah ini sempat terganggu sebentar, karena aliran Naqsyabandiah dianggap aliran kaum Islam tua. Tapi perang Padri telah memaksa Raja Tuanku Tambusai penguasa Rokan Hulu yang berbatasan dengan Tapanuli Selatan, Sumut itu harus hijrah ke Negeri Sembilan, Malaysia dan wafat di sana. Belakangan Tuanku Tambusai diangkat pemerintah menjadi pahlawan nasional karena perjuangannya melawan penjajah.

Perkembangan ajaran tarekat Naqsyabandiah yang di bawah Abdul Wahab ini terus berkembang di Riau. Semakin berkembangnya ajaran suluk ini, lantas jamaahnya menjuluki Abdul Wahab Tuan Syeh. Sejak itulah, Tuan Syeh Abdul Wahab Rokan terus mengembangkan ajarannya sampai ke Langkat, Sumatera Utara.

Menurut Al Azhar, semasa kerajaan Langkat berkuasa, ajaran Naqsyabandiah diterima dengan baik. Itu sebabnya, Tuan Syeh Abdul Wahab Rokan diberi daerah otoritas untuk mendirikan perpondokan suluk yang cukup luas untuk mengajarkan ilmu suluknya kepada warga di bawah kerajaan Langkat. Dari tahun ke tahun, persulukan yang dibangun Tuan Syeh ini terus berkembang pesat terutama di Langkat.

Belakangan, di Langkat menjadi pusat persulukan terbesar di wilayah Sumatera dibandingkan dipersulukan yang ada Sumbar, Riau dan atau di sejumlah kabupaten lainnya yang ada di Sumut. Sudah tidak terhitung jumlah warga dari berbagai daerah Nusantara mengikuti suluk di sana. Malah jamaah juga datang dari Malaysia.

“Walau Sumut kini menjadi pusat persulukan terbesar, namun Riau tetap saja menjadi persulukan tradisional yang masih satu aliran dengan di Basilam Langkat itu.  Para mursyid yang mengajar di Riau masih satu perguruan dari Basilam,” kata Al Azhar.

Memang bila dilihat dari garis keturunan darah, para mursyid di Rokan, tidak lagi memiliki keterikatan darah dengan Tuan Syeh Abdul Wahab Rokan. Hanya saja, para mursid atau ustad yang mengajarkan tarekat itu tetap merupakan anak didik turun termurun dari Tuan Syeh Abdul Wahab.

“Sampai sekarang suluk di Rokan dengan di Basilam, Langkat tidak bisa dipisahkan,” kata Al Azhar.

(cha/nwk)


Menengok Negeri Seribu Suluk di Bumi Lancang Kuning

Kamis, 10/09/2009 11:13 WIB

Chaidir Anwar Tanjung - detikNews


(Foto: naqshbandi.org) 


Pekanbaru - Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) dijuluki Negeri Seribu Suluk di Bumi Lancang Kuning, Riau. Di daerah ini banyak ditemukan tempat-tempat pengajian atau suluk untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Kata suluk, bagi orang Riau atau Sumatera Utara dan Sumatera Barat bukan hal yang asing lagi. Bila ada warga yang menyebut akan bersuluk, itu artinya dia akan meninggal urusan duniawi sementara waktu, dan hanya akan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Untuk bersuluk, warga di Riau tinggal memilih di mana tempat yang akan dia tuju. Namun pusatnya untuk wilayah Riau berada di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Di sana ada 120 pondok untuk bersuluk atau tarekat. Masing-masing sarana suluk dapat menampung ratusan jemaah. Minimal satu lokasi suluk dapat dihuni 70 jemaah yang terdiri dari kaum hawa dan adam.

Banyaknya tempat-tempat persulukan itulah, makanya Kabupaten Rokan Hulu dijuluki
‘Negeri Seribu Suluk’.

Apa lagi di bulan suci Ramadan ini, aktivitas suluk semakin meningkat. Pondok-pondok suluk akan dijubeli jamaah untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bila bersuluk itu artinya kita berada di sebuah pondok pesantren yang diasuh para 'tuan syeh' atau bila di Pulau Jawa dikenal dengan istilah kiai. Dalam ajaran suluk ini mengacu pada aliran Tarekat Naqsyabandiah.

“Di bulan puasa seperti ini, di kampung saya itu malah masjid sedikit terlihat sepi. Ini karena warga lebih banyak mengikuti tarekat di pondok-pondok suluk itu. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di musala yang ada di tempat suluk itu. Mereka mendekatkan diri dengan cara berzikir saban hari dan meninggal sementara urusan duniawi,” ujar tokoh
budayawan Riau, Al Azhar yang berasal dari Rohul itu dalam perbincangan dengan detikRamadan.

Dalam aliran suluk Naqsyabandiah ini, masing-masing tempat jemaah pria dan wanita dipandu seorang mursyid (ustad). Dari sejumlah lokasi itu, nantinya akan dipandu salah seorang tuan syeh. Aliran suluk ini, jamaah harus memisahkan diri dengan sanak keluarganya, karena jamaah nantinya akan berada di persulukan yang telah disediakan tempat pemondokan. Dalam satu pondok tentunya dipisah antara pria dan wanita.

Masing-masing jamaah nantinya akan diberi kelambu. Kelambu putih inilah yang mereka sebut dengan istilah kuburan. Berada dalam kelambu berarti jamaah masuk dalam kuburnya. Bila keluar dari kelambu, maka jamaah berkumpul di suatu aula untuk berzikir bersama dipandu  mursyid.

“Selama dalam suluk, jamaah Naqsyabandiah ini hanya berurusan dengan Allah. Mereka semata-mata menyerahkan dirinya kepada Allah,” kata Al Azhar yang juga dosen budaya di Universitas Islam Riau (UIR) itu.

Ada hal unik yang diyakini para jamaah Naqsyabandiah ini. Selama mereka mengikuti suluk, maka jemaah tidak memakan makanan yang berdarah. Makan yang berdarah itu dianggap yang harus melalui proses pembunuhan terlebih dahulu. Itu sebabnya, selama mereka suluk, mereka hanya makan lauknya dari sayur-sayuran.

“Ada sebuah keyakinan, kalau memakan yang berdarah sekalipun itu halal hal itu dianggap akan menghalangi mereka untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT selama proses suluk berjalan. Keyakinan ini sampai sekarang masih berlaku bagi jamaah suluk itu,” kata Al Azhar yang sudah berkepala lima itu.

Selama pemondokan ini, keseharian jamaah melaksanakan salat fardu dengan berjamaah. Selepas itu, bersama mursyid mereka menggali ilmu-ilmu Islam dalam berserah diri kepada Allah. Hari-hari mereka hanya salat, zikir dan mengaji.

“Itu sebabnya, mereka tidak pernah putus air wudhunya. Kalau batal, mereka segera berwudhu, karena mereka yakin, hanya dengan bersuci kita bisa lebih dekat dengan Allah,” tutur Al Azhar.

(cha/nwk)
 


Masjid Kiai Marogan Palembang, Bukti Syiar dan Dagang

Kamis, 27/08/2009 13:45 WIB

Taufik Wijaya - detikNews


Masjid Kiai Marogan

Palembang - Keberadaan masjid peninggalan Kiai Marogan di Palembang, yakni Masjid Jami' Muara Ogan, yang telah diwakafkan untuk umat Islam ini, mampu mengundang ribuan pengunjung dari dalam maupun luar kota Palembang, seperti Lampung, Jambi, Jakarta, dan Jawa.

Tak jarang pada momen-momen khusus seperti hari Jumat, pada bulan Sya’ban dan pada saat peringatan Haul Kiai Marogan pada Bulan Rajab, pengunjung lebih banyak dari biasanya. Mereka datang ada yang sekedar salat berjamaah, itikaf, ataupun berziarah ke makam Kiai Marogan yang terletak satu kompleks dengan Masjid.

Di antara yang datang itu mulai dari masyarakat biasa, para alim ulama, pengusaha, bahkan pejabat seperti walikota, gubernur, tokoh politik, bahkan presiden Indonesia, untuk sholat dan berziarah ke makam Waliyullah tersebut.

Masjid Jami’ Muara Ogan merupakan masjid yang tertua setelah masjid Agung di Palembang. Masjid ini dibangun lebih dahulu Kiai Marogan daripada Masjid Lang Kidul di 5 Ilir. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka, sama dengan Masjid Lawang Kidul, ini bernama Kampung Karang Berahi.

Apakah memang karakter lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan, masjid ini terletak di muara sungai Ogan ke sungai Musi. Jika diamati, posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan sungai Ogan.

Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran asli masjid ini sebelum dilakukan renovasi dan perluasan adalah 18,8 meter x 19,4 meter.

Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur, juga dibangun Kiai Marogan, bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran 0,3  meter x 0,27 meter. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x
0,25 m.

Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga sekarang berukuran panjang 2,5 meter dan berdiameter 0,8 meter.

Meskipun terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya, menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirikan, dilakukan penimbunan hingga tanahnya mengeras.

Masjid ini dibangun Kiai Marogan dari hasil jerih payahnya sendiri yaitu usaha bisnis sawmill kayu gesek. Kiai Muara Ogan adalah putra seorang bangsawan Palembang, ayahnya Masagus Mahmud merupakan keturunan dari Sultan-sultan Palembang Darussalam. Namun meskipun dia seorang pengusaha sukses dan keturunan bangsawan, Kiai Marogan dikenal sebagai seorang ulama yang zuhud dan tawadhu serta suka membantu masyarakat.

Sosok Kiai Marogan


Kiai Marogan sebenarnya bernama lengkap Masagus H Abdul Hamid bin Masagus H Mahmud. Namun bagi masyarakat Palembang, julukan 'Kiai Marogan' lebih terkenal dibanding nama lengkapnya. Julukan Kiai Marogan dikarenakan lokasi masjid dan makamnya terletak di Muara Sungai Ogan, anak Sungai Musi, Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan.

Mengenai waktu kelahirannya, tidak ditemukan catatan yang pasti. Ada yang mengatakan, ia lahir sekitar tahun 1811, dan ada pula yang berpendapat tahun 1802.

Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia 89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab 1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.

Pada waktu Kiai Marogan lahir, Kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu bernama Perawati yang keturunan Cina, dan Ayah yang bernama Masagus H Mahmud alias Kanang, keturunan priyayi atau ningrat.

Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan Abdurrahman Candi Walang.

Sultan Palembang memiliki garis keturunan dari Wali Songo melalui Sunan Giri Ainul Yakin dan merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Dari kedua orang tuanya, Kiai Marogan hanya memiliki seorang adik yang bernama Masagus KH Abdul Aziz, yang juga menjadi seorang ulama dengan sebutan Kiai Mudo. Sebutan ini dikarenakan ia lebih muda dari Kiai Marogan. Kiai Mudo lebih dikenal di daerah Muara Enim seperti Gumay, Kertomulyo, Betung, Sukarame, Gelumbang, Lembak dan sekitarnya.

Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga bangsawan, Kiai Marogan memperoleh pendidikan agama dengan istimewa. Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan kesultanan Palembang, agama Islam mempunyai tempat yang terhormat, di mana hubungan antara negara dan agama sangat erat, sebagaimana dibuktikan oleh birokrasi agama di Istana Palembang. Birokrasi ini dipimpin oleh seorang pegawai dengan gelar Pangeran Penghulu Naga Agama.

Di samping itu, Kiai Marogan memperoleh pendidikan langsung dari orang tuanya yang ternyata merupakan seorang ulama besar yang lama belajar di Mekah dibawah bimbingan ulama besar seperti Syekh Abdush Shomad al-Falimbani. Setelah wafat, ayah Kiai Marogan dimakamkan di negeri Aden, Yaman Selatan. Melihat kecerdasan Kiai Marogan dalam menyerap ilmu agama kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Mekah untuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama.

Kiai Marogan tercatat pernah belajar ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadis dan tasawuf. Hal ini dapat diperoleh dari isnad-isnad yang ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani, mudir (pimpinan) Madrasah Darul Ulum Mekah.

Kiai Marogan memiliki dua orang isteri yang bernama Masayu Maznah dan Raden Ayu Salmah. Dari pernikahannya ia dikarunia tiga putra putri yaitu Masagus H Abu Mansyur, Masagus H Usman, dan Masayu Zuhro. Pada masa mudanya Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Ia memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu.

Bakat bisnis mungkin diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan China. Berkat sukses dalam bisnis kayu ini memungkinkan Kiai Marogan untuk pulang pergi ke tanah suci dan menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan. Dari hasil usaha kayu ini juga Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang diperuntukkan sebagai pusat pengajian dan dakwah.

Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih melekat di sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah zikir yang hebat, "Laa ilaaha Illallaahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin." (Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah).

Zikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata sumbernya di dalam hadis. Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa setiap hari membaca 100  Lailahaillah al-Maliku al-Haqqu al-Mubin, maka ia akan aman dari kefakiran, jadi kaya, tenang di alam kubur, dan mengetuk pintu surga.

Konon, amalan zikir ini dibaca oleh Kiai Marogan dan murid-muridnya dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-muridnya mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang. Zikir ini dapat menjadi tanda dan ciri khas penduduk apabila ingin mengetahui Kiai Marogan melewati daerahnya.

Amalan zikir ini ternyata sampai sekarang masih dibaca oleh wong Palembang, khususnya kaum Ibu-ibu ketika menggendong anak bayi untuk menimang atau menidurkan anaknya dengan irama yang khas dan berulang-ulang.

Dalam berdakwah Kiai Marogan menitikberatkan pada sikap zuhud dan kesufian dengan memperkuat keimanan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ajaran tarekat yang ia amalkan. Di dalam buku, 'Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat' karangan Martin van Bruinessen memasukkan nama Kyai Marogan (Masagus H. Abdul Hamid) sebagai salah seorang guru dari tarekat Sammaniyah.

Ia mempelajari tarekat Sammaniyah dari orang tuanya sendiri, yang berguru kepada Syekh Muhammad Aqib dan Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani.Menurut istilah di dalam ilmu tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan
menuju Allah SWT.

Perjalanan mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Dan tujuan dari tarekat adalah menciptakan moral yang mulia.Sebagaimana diketahui bahwa di daerah Palembang sejak masa Kesultanan Palembang tarekat Sammaniyah telah menyebar secara luas dibawa oleh Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani murid dari pendirinya Syekh Muhammad Abdul Karim Samman. Hampir seluruh masjid tua di Palembang, membaca ratib Samman yaitu bacaan yang meliputi syahadat, surah Al Quran dan bacaan zikir yang disertai gerak dan sikap yang khas tarekat Samman.

Tidak ditemukan kitab yang dapat diidentifikasi sebagai karya Kiai Marogan. Meskipun menurut penuturan dari zuriyatnya bahwa Kiai Marogan pernah menulis kitab tasawuf. Akan tetapi, yang dapat diketahui adalah Kiai Marogan meninggalkan beberapa bangunan masjid yang besar dan bersejarah. Yaitu masjid Jami’ Muara Ogan di Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir Palembang.

Menurut cicitnya, Masagus H Abdul Karim Dung, selain kedua masjid di atas, Kiai Marogan juga membangun beberapa masjid lagi seperti masjid di dusun Pedu Pedalaman Ogan Komering Ilir (OKI), masjid di dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir OKI, musala di 5 Ulu Laut Palembang, Masjid Sungai Rotan Jejawi, Masjid Talang Pangeran Pemulutan.

Namun, pernyataan dari cicitnya ini belum dapat dibuktikan secara empiris, perlu dilakukan penelitian dan peninjauan lebih lanjut. Sedangkan kedua masjid yaitu masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul yang berada di kota Palembang, dapat dibuktikan melalui surat Nazar Munjaz atau surat Wakaf yang ditandatangani oleh Kiai Marogan langsung.

(tw/nwk) 





Tuesday, December 8, 2009

Pendukung SBY Bertemu di Pekalongan

Rabu, 22/04/2009 13:46 WIB
Djoko Tjiptono - detikNews Jakarta - Pertemuan para elit politik semakin sering menjelang pilpres mendatang. Jika Megawati mengumpulkan para jenderal di Teuku Umar, pendukung SBY memilih bertemu di Pekalongan, di rumah tokoh kharismatik Habib Luthfi bin Yahya.

Sumber detikcom yang mengikuti pertemuan itu menyebutkan bahwa para tokoh yang hadir adalah tokoh-tokoh yang selama ini mendukung SBY. Mereka antara lain Muhaimin Iskandar, Akbar Tandjung, M Nuh, MS Kaban, Ahmad Mubarok, Dede Yusuf, dan sejumlah politisi Senayan.

Kehadiran para tokoh ini dibenarkan Akbar Tandjung. Menurutnya, para tokoh berkumpul untuk menjalin silaturahmi agar semakin dekat dan merayakan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.

"Di sini hadir juga Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Mubarok, M Nuh, MS Kaban, dan sejumlah teman di DPR," kata Akbar kepada detikcom, Rabu (22/4/2009).

Untuk diketahui, Habib Luthfi bin Yahya asal Pekalongan ini merupakan tokoh tarekat yang pengikutnya berjumlah jutaan orang di seluruh Indonesia. Habib Luthfi selalu menjadi rujukan nasihat bagi para politisi dan masyarakat luas.

Benarkan pertemuan ini bertujuan mensolidkan barisan pendukung SBY agar lebih mudah dan lancar dalam memenangkan pilpres mendatang? Kita tunggu saja.

(yid/nrl)



Temui Dubes Palestina, JATMI Beri Dukungan

Friday, 9 January 2009 13:47
Source: http://www.gp-ansor.org/berita/temui-dubes-palestina-jatmi-beri-dukungan-2.html

Jakarta (GP-Ansor) : Sejumlah aktifis DPP JATMI [Jam’iyah Ahli Thoreqot Mu’tabaroh Indonesia] menemui Dubes Palestina, Fariz N. Mehdawi guna memberikan dukungan moral terhadap perjuangan bangsa Palestina yang sedang menghadapi gempuran Zionis-Israel. “Menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk menggalang dana dan bantuan sosial untuk Bangsa Palestina, dan memanjatkan do’a untuk kemaslahatan Bangsa Palestina dalam menghadapi agresi dari Israel.”
Demikian dikatakan Ketua umum DPP JATMI, KH. Drs. Nukman Muhasyim didampingi Ro̢۪is Aam KH. DR. Maktub Effendi, Sekretaris umum KH. Drs. Munir Abas Bukhori, M.Pd dan pengurus lainya, Mastur Anwar yang juga aktifis Ansor usai menemui Dubes Palestina di Jakarat, 9 Januari 2009.
Ditambahkan KH Nukman, sebagai induk organisasi para pengamal thoreqot dan para sufi, JATMI menyampaikan bela sungkawa atas tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh aggressor Israel. ‘Karena itu JATMI Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia untuk memboikot produk-produk Negara yang membantu agresor Israel,” tambahnya.
Lebih jauh kata KH Nukman, JATMI sangat Prihatin, menyesalkan dan mengutuk keras atas tindakan Israel terhadap rakyat Palestina dengan melakukan tindakan penyerangan, pembunuhan, pembantaian secara brutal dan tidak berprikemanusiaan. Oleh karena itulah, pihaknya memberikan simpati dan dukungan sepenuhnya atas perjuangan bangsa Palestina untuk menjadi Negara sendiri yang merdeka, berdaulat dan dapat menentukan nasibnya sendiri dalam percaturan dan pergaulan internasional, sejajar dengan bangsa-bangsa lain dimuka bumi.
Saat ditanya soal keberadaan dan posisi JATMI dilapangan, KH NUkman, mengakui JATMI merupakan organisasi para ulama pengamal thoriqoh dan tasawuf, meyakini bahwa umat manusia sedunia diciptakan oleh Allah SWT, untuk senantiasa berbuat kebajikan, menjaga persatuan, saling menyayangi sesama mahluq dan tidak menganiaya, membunuh ataupun memusnahkan.
Menurutnya, JATMI meyakini bahwa umat manusia diciptakan oleh oleh Allah SWT dalam keadaan merdeka, karenanya tidak dibenarkan bagi sekelompok orang ataupun suatu Negara untuk merampas kemerdekaan Negara lainnya. Dewan Pimpinan Pusat Jam̢۪iyyah Ahli THoriqoh Mu̢۪tabaroh Indonesia (DPP JATMI) sebagai bagian dari bangsa Indonesia, meyakini bahwa penjajahan dimuka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Karena itu, lanjut Nukman, misi JATMI adalah membawa rahmat bagi seluruh alam, merasa perlu untuk turut berpartisipasi menyerukan kebenaran dan menolak segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan. Karenanya terkait dengan agresi militer secara sepihak yang dilakukan Negara Israel terhadap Negara Palestina.
Sementara itu, Sekretaris umum KH. Drs. Munir Abas Bukhori juga mendesak PBB, agar segera mengambil tindakan tegas dan menghentikan agresi dan kebrutalan Israel, dan memberikan peringatan kepada Negara Amerika Serikat dan sekutunya yang mengakibatkan terjadinya agresi tersebut. “KIta menyerukan kepada Negara-negara Islam yang berada di dunia khususnya yang berada di Timur Tengah agar segera mengambil langkah-langkah untuk membantu dan membela perjuangan bangsa Palestina,” tandasnya.
Sedangkan Rois Aam, KH. DR. Maktub Effendi, lebih fokus ke dalam negeri yang meminta kepada pemerintah Republik Indonesia , agar memberikan dukungan secara penuh kepada Bangsa Palestina serta memberikan bantuan kemanusiaan yang diperlukan oleh Rakyat Palestina.
Hal yang sama juga dikatakan Mastur Anwar, yang meminta agar pemerintah Indonesia lebih konkret memberikan bantuan kepada rakyat Palestina. Karena mereka saat ini sangat menderita dan butuh bantuan nyata. “Bukan lagi sekedar retorika belaka,” ujarnya Mastur yang juga kader dan aktifis Gerakan Pemuda Ansor. [eko]

Jamaah Tarekat Bela Keislaman Boediono Hampir Dibaiat, Terlanjur Sekolah Keluar Negeri

Source: http://www.jpnn.com/berita.detail-18061



Rabu, 20 Mei 2009 , 12:48:00

JAKARTA - Jika banyak pihak selama ini meragukan keislaman Boediono, kini pendamping SBY itu mulai mendapat pembelaan. Boediono bahkan disebut pernah menjadi santri dari salah satu kyai tarekat ternama di Blitar.

Pembelaan atas Boediono itu disampaikan rais am Jam'iyyah Ahli Thoriqoh Mutabaroh Indonesia (JATMI), KH Maktub Effendi. Menurutnya, Boediono pernah menjadi santri KH Thohir Wijaya, pemilik sebuah pesantren di Blitar.

KH Thohir juga memiliki pondok pesantren Al Kamal di Kebon Jeruk, Jakarta. Selain itu, KH Thohir tercatat pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di era Orde Baru.

"Saya pernah mendengar langsung dari beliau (KH Thohir Wijaya) sebelum wafat, sekitar sepuluh tahun, bahwa beliau punya murid yang jagoan. Orangnya alim dan santun. Namanya Boediono. Tapi waktu itu saya tidak terlalu paham siapa Boediono itu," ujar Maktub saat ditemui di sela-sela deklarasi sikap JATMI mendukung pasangan SBY-Boediono di sebuah hotel di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (20/5).

Lebih lanjut dituturkannya, Boediono memang belum sempat dibaiat (diambil sumpahnya) sebagai anggota tarekat. Namun, lanjut Maktub, KH Thohir Wijaya sudah memberikan amalan dzikir.

"Jadi baru diberi amalan dzikirnya saja, karena mau dibaiat sebagai anggota tarekat dan ikrar ke mursyid (guru) Pak Boediono sudah harus buru-buru sekolah ke luar negeri," ujar Maktub.

Lantas apakah Boediono pernah menjadi anggota salah satu tarekat? Maktub tidak berani memastikan soal itu. "Nanti saya akan tanya persisnya ke orang-orang yang tahu. Tapi soal keislamannya, Pak Boediono tak diragunkan lagi," tandasnya.

Pada kesempatan sama, ketua umum JATMI, KH Numan Muhasyim menyatakan, DPP JATMI atas beberapa pertimbangan sepakat mendukung SBY-Boediono pada pilpres mendatang. "Melihat kondisi selama ini dan demi kepentingan nasional, kepemimpinan SBY harus dilanjutkan," ujar Nukman.

Karenanya, lanjutnya, JATMI akan mengarahkan dukungan untuk SBY-Boediono. Nukman mengklaim JATMI memiliki anggota 8,2 juta lebih yang terdiri dari para kyai dan alim ulama baik yang memiliki pessantren maupun majelis ta'lim. JATMI, kata Nukman, menghimpun 19 aliran tarekat dari 22 aliran yang ada di Indonesia.

"JATMI menyerukan kepada seluruh pengamal thoriqoh untuk berdzikir, istighotsah, munajat dan amaliyah lainnya demi keselamatan NKRI," tukasnya.(ara/JPNN)

Jamaah tarekat qodiriyah doakan Soeharto

Koran Sore Wawasan; Tuesday, 15 January 2008


BANYUMAS - Jamaah tarekat qodiriyah Banyumas malam tadi menggelar doa bersama untuk mantan orang nomor satu di Indonesia, Soeharto. Doa bersama dipimpin oleh Ustadz Hayun di Dusun Sawangan, Desa Karangtengah, Kecamatan Baturaden. Doa bersama diikuti sekitar 50 warga yang merasa prihatin dengan kondisi kesehatan Soeharto.
Sekitar pukul 21.00, warga mulai berdatangan untuk berdoa. Doa bersama dilakukan di salah satu rumah warga setempat. Warga dipimpin Ustadz Hayun kemudian mulai melakukan tahlil dan melantunkan surat Al Fatihah bersama- sama hingga tengah malam.
Usai melakukan doa bersama, kepada wartawan Ustadz Hayun mengatakan, doa bersama ini digelar atas inisitif warga yang merasa prihatin dengan kondisi kesehatan mantan pimpinan Orde Baru tersebut. Selain itu, bagaimanapun Soeharto adalah saudara sesama muslim, sehingga sangat pantas untuk didoakan.
Warga juga meminta agar rakyat Indonesia memaafkan kesalahan Soeharto. Sebab, lanjut Ustadz Hayun, bangsa yang besar adalah bangsa menghormati pahlawan dan bisa memaafkan kesalahan orang lain. Rencananya doa bersama ini akan terus digelar selama Soeharto masih kritis. hef/Pr

Harmoko Bawa Ahli Tarekat Doakan Soeharto

Rabu 16 Januari 2008 - 21:47 wib/Lamtiur Kristin Natalia Malau - Okezone

JAKARTA - Mantan Ketua MPR/DPR Harmoko membawa seorang kyai ahli tarekat ke RSPP secara khusus untuk mendoakan mantan Presiden Soeharto.

"Saya datang bersama Ketua Umum Jatmi (Jamiyah Ahli Tarikah Mutabarah Indonesia) KH Maftuh Efendi. Saya sengaja membawa beliau untuk memimpin doa," kata Harmoko usai menjenguk di RSPP, Jalan Kyai Maja, Jakarta, Rabu (16/1/2008).

Harmoko mengaku beberapa hari lalu juga menggelar doa bersama di pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama santri dan kyai agar Soeharto pulih dari kesehatanya dan mampu menerima cobaan.

"Hal ini merupakan salah satu perjalanan hidup Pak Harto yang berkali-kali masuk rumah sakit. Insya allah doa santri dan kyai bisa diterima Allah," katanya.

Ditanyakan soal proses hukum Soeharto, mantan menteri penerangan ini mengaku tidak akan memberi tanggapan. "Saya tidak akan memasuki wilayah pro kontra itu, saya serahkan sepenuhnya ke pemerintah," pungkasnya.

(uky)


Sunday, December 6, 2009

Hilal Tak Terlihat

Duta Masyarakat Selasa, 30 September 2008

SURABAYA�Warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah diperkirakan berlebaran bareng. Pasalnya hasil rukyatul hilal di sembilan titik di Jawa Timur Senin (29/9) malam tidak membuahkan hasil. Para perukyat tidak melihat hilal (bulan).

Kesembilan titik rukyatul hilal tersebut adalah Pantai Nambangan Surabaya, Bukit Condro Gresik, Tanjung Kodok Lamongan, Pantai Serang Blitar, Pantai Gebang Bangkalan, Pantai Nyamplong Jember, dan Pasir Putih Situbondo. �Ketujuh tempat ini tidak terlihat dan cuacanya mendung,� kata H Sholeh Hayat, Wakil Tanfidziyah PWNU Jatim, tadi malam.

Sedang dua tempat lain yakni Pantai Ambet Pamekasan, dan Krapat Tunggal Bawean, tidak terlihat apa-apa meski cuacanya saat ini terlihat cerah. �Hasil rukyatul hilal ini dilaporkan ke PBNU sebagai landasan dalam sidang itsbat,� katanya.

Jika hasil dari PWNU Jatim dijadikan sebagai patokan PBNU dalam menentukan 1 Syawal 1429 H atau Idul Fitri, maka akan digenapkan atau diistikmalkan sesuai hasil rukyat, puasa Ramadhan menjadi 30 hari.
�Meski hitungan hisab secara jelas tidak bakal terlihat (rukyatul hilal) tapi sesuai syariat agama dan ajaran ahlussunnah wal jamaah, NU tetap melakukan rukyatul hilal,� terang Koordinator Rukyatul Hilal PWNU Jatim ini.

Karena, lanjut Sholeh, dari rekap hasil perhitungan ijtima� dan tinggi hilal dari metode/sistem yang ditelaah melalui 19 kitab, tinggi bulan rata-rata 1o. Seperti Sulla�im Mayyirain Ijtima� pukul 14:36 tinggi hilal 1o27�30", sedangkan Fathu Al Radf Al Manan, ijtima� pukul 15:22 tinggi hilal terletak pada 1o4�30". �Prediksi awal, dari hasil hitungan ini kemungkinan tidak terlihat cukup besar,� terang Sholeh.

Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Prof Dr Syafiq Mughni menyatakan sejak awal puasa kemarin pihaknya telah menetapkan 1 Syawal 1429 H akan jatuh pada 1 Oktober mendatang sesuai penghitungan tim ahli hisab PWM Jatim yang dilakukan pertengahan Juli lalu. �Dalam rapat penetapan penghitungan itu, Muhammadiyah sudah menetapkan hari raya Idul Fitri jatuh pada 1 Oktober 2008 besok,� terang Prof Mughni.

Sudah Lebaran

Namun Tarekat Naqsyabandiyah di Kota Padang sudah takbiran Ahad malam. Menurut ajaran mereka, 1 Syawal 1429 Hijriah, jatuh pada pukul 14.00 WIB Senin kemarin (29/9). Sedangkan komunitas muslim Al Muhdor sebuah varian aliran tarekat di Desa/Kecamatan Sumbergempol, Tulungagung, sudah salat Ied, Ahad (28/9).

Malam takbiran Naqsabandiyah di Kota Padang dilakukan di Surau Baitul Makmur dan Surau Baru, Kelurahan Binuang, Kecamatan Pauh, Kota Padang. Di Surau Baitul Makmur jumlah jamaah yang mengikuti takbiran 13 laki-laki dan 31 orang perempuan.

Menurut pimpinan muslim pengikut ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Syafril Malin Mudo, kaumnya menentukan jatuhnya 1 Syawal berdasarkan bilangan malam dengan berpuasa selama 30 hari. Dengan perhitungan bilangan malam itu, jamaah Tarekat Naqsyabandiyah di Kota Padang menggelar salat Idul Fitri 1429 Hijriah, Senin (29/9) siang di surau-surau kaumnya. Mereka memulai ibadah puasa Ramadhan 1429 Hijriah pada Sabtu, 30 Agustus 2008, atau dua hari lebih awal dari yang ditetapkan pemerintah Indonesia Senin, 1 September 2008.

Sedang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menetapkan 1 Syawal pada tanggal 30 September 2008. Para anggota HTI akan melaksanakan Salat Idul Fitri pada hari Selasa pagi ini. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I HTI Sulsel, Shabran, mengatakan hal tersebut di Sekretariatnya, di Makassar, Senin. Dia menjelaskan, metode yang mereka gunakan adalah hisab (perhitungan matematika astronomi) dan rukyah (pandangan mata). Dari hisab yang mereka lakukan, posisi bulan saat ini sudah akan mendekati posisi 0 (nol) derajat pada poros bumi-matahari. Pihaknya memperkirakan, posisi nol derajat akan terjadi pada hari Senin (29/9), pukul 15.00 WIB.

Imam Salat Ied

Sejumlah nama imam dan khatib yang akan memimpin salat Id di Surabaya dan Sidoarjo di antaranya Drs. Syafi�i di halaman Masjid Al-Badar, Jl. Kertomenanggal IV/1, Drs. M. Nidhom Hidayatullah di halaman Tugu Pahlawan, KH. Mu�ammal Hamidy, Lc di lapangan Gelora 10 Nopember.

Kemudian Drs. H. M. Wahyudi Indrajaya di lapangan Waduk Kedurus Dukuh I, Imam Syaukani, MA di halaman Masjid Taqwa Banjarsugihan, Ir. H. Imam Sugiri, MM di lapangan Hokky, Jl. Dharmawangsa, Prof. Dr. Syafiq A. Mughni MA di lapangan Gunungsari Indah AA-EE, Gunungsari, Prof. Dr. Ir. H. Ika Radjatun di Terminal Bratang, Drs. Imam Addaruqudni, MA. di Jl. Wiguna Gununganyar. Sedangkan di Sidoarjo di antaranya Prof. Dr. A. Jainuri, MA di halaman Masjid An-Nur Sidoarjo, Jl. Mojopahit Sidoarjo, Drs. Yoyon Mudjiono, M.Si. di lapangan belakang Kantor Polisi Lama Sedati Gede, Prof. Dr. Imam Bawani, MA di lapangan Taman Pondok Jati Geluran. (sir)

Laporan Khusus: Ansor Pasang Dada Lawan PKI

Duta Masyarakat Ahad, 18 Januari 2009

Memasuki tahun 1960-an merupakan masa gegap gempitanya politik. PKI menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia yang memiliki kesempatan untuk berkuasa. PKI sadar, untuk mencapai tujuannya itu harus memanfaatkan figur Presiden Soekarno. Itu sebabnya, PKI berusaha mendukung semua kebijakan Presiden Soekarno.

Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindak kekerasan yang dikenal dengan nama �aksi sepihak�. Dalam tindak-tindak kekerasan yang dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan mempermalukan pejabat pemerintah dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak milik orang lain yang mereka golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah negara maupun tanah milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.

Sejumlah aksi massa PKI yang dimulai pada pertengahan 1961 itu adalah peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajap, Kalibaru, dan Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai peristiwa pembunuhan KH Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan, Madura (28 Juli 1965)

Perlawanan GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat yang bukan PKI. Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban dari aksi-aksi massa sepihak tersebut adalah anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan bahkan organisasi Muhammadiyah. Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi bersangkutan kecuali dari GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964—dalam hal ini KH M Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng Jombang tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor (Banser).

Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Di antara perlawanan yang pernah dilakukan oleh GP Ansor terhadap aksi-aksi massa sepihak PKI adalah peristiwa Nongkorejo, Kencong, Kediri di mana pihak PKI didukung oleh oknum aparat seperti Jaini (Juru Penerang) dan Peltu Gatot, wakil komandan Koramil setempat. Dalam kasus itu, PKI telah mengkapling dan menanami lahan milik Haji Samur. Haji Samur kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok fisik antara Sukemi (PKI) dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh berlumur darah.

Pengikutnya lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ceritanya, tanah milik Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI diklaim sebagai tanah klobot, padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu, PKI dan BTI menanam kacang dan ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji Amir.

Karena merasa tidak berdaya, maka Haji Amir meminta bantuan kepada Gus Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan Ansor dari Lirboyo bersenjata clurit dan parang, menghalau PKI dan BTI dari lahan Haji Amir.

Tawuran massal Ansor dengan Pemuda Rakyat pecah pula di Malang. Ceritanya, Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota Malang dan dalam pidatonya mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang harus diganyang. Mendengar pidato Karim DP itu, para pemuda Ansor langsung naik ke podium dan langsung menyerang Karim. Para anggota Pemuda Rakyat membela. Terjadi bentrok fisik. Pemuda Rakyat banyak yang luka.

Kelahiran Banser
Aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya sangat meresahkan masyarakat terutama umat Islam. Sebab dalam aksi-aksi itu, PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat (LSIK, 1988:72). Dengan masuknya �pengirim zakat� ke dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam. aksi massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah melainkan merampas pula tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan, sekolah-sekolah negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.

Hal ini terutama terjadi di Blitar. Dengan aksi itu, baik perangkat desa maupun guru-guru yang ingin terus bekerja harus menjadi anggota PKI.

Atas dasar aksi sepihak PKI itulah kemudian pengurus Ansor kabupaten Blitar membentuk sebuah barisan khusus yang bertugas menghadapi aksi sepihak PKI. Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh pengurus GP Ansor seperti Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri, Chudori, Ali Muksin, H. Badjuri, Atim, Abdurrohim Sidik, diputuskanlah nama Barisan Ansor Serbaguna disingkat Banser. Pencetus nama Banser adalah Fadhil, yang diterima aklamasi.

�Karena Banser adalah suatu kekuatan paramiliter serba guna yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di masa genting maupun aman, maka lambang yang disepakati dewasa itu berkaitan dengan keberadaan Banser,� tutur Agus Sunyonto, penulis masalah gerakan Islam, dalam tulisan �Mengenang Partisipasi Politik Banser pada 1965 : Lahir dalam Tekanan PKI.�

Lambang awal Banser mencakup tiga gambar yakni cangkul, senapan dan buku. Menurut Romdhon, tiga gambar itu memiliki makna bahwa seorang anggota Banser siap melakukan pekerjaan membantu masyarakat yang membutuhkan (simbol cangkul), siap pula membela agama, bangsa dan negara (senapan) dan siap pula belajar (buku).

Dalam tempo singkat, setelah Banser Blitar terbentuk, secara berantai dibentuklah Banser di berbagai daerah. Dan pada 24 April 1964, Banser dinyatakan sebagai program Ansor secara nasional. Mula-mula, Banser dilatih oleh anggota Brimob. Kemudian dilatih pula oleh RPKAD, Raiders dan batalyon-batalyon yang terdekat. Selain dibina oleh pihak militer, Banser secara khusus dibina oleh para kiai dan ulama tarekat dengan berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal sebagai pembina spiritual Banser dewasa itu adalah Kiai Abdul Djalil Mustaqim (Tulungagung), KH Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri), KH Machrus Ali dan KH Syafii Marzuki (Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir (Sidosermo, Surabaya), KH Djawahiri (Kencong, Kediri), KH Shodiq (Pagu, Kediri), KH Abdullah Siddiq (Jember).

Hasil kongkret dari pembentukan Banser, perlawanan terhadap aksi sepihak PKI makin meningkat. Kordinasi-kordinasi yang dilakukan anggota Banser untuk memobilisasi kekuatan berlangsung sangat cepat dan rapi. Dalam keadaan seperti itu, mulai sering terjadi bentrokan-bentrokan fisik antara Banser dengan PKI. Bahkan pada gilirannya, terjadi serangan-serangan yang dilakukan anggota Banser terhadap aksi-aksi massa maupun anggota PKI. Demikianlah, pecah berbagai bentrokan fisik antara Banser dengan PKI di berbagai tempat seperti: Peristiwa Kanigoro.

Pada 13 Januari 1965 tepat pukul 04.30 WIB, sekitar 10.000 orang Pemuda Rakyat dan BTI melakukan penyerbuan terhadap pondok pesantren Kanigoro, Kras, Kediri. Alasan mereka melakukan penyerbuan, karena di pesantren itu sedang diselenggarakan Mental Training Pemuda Pelajar Indonesia (PII). Pimpinan penyerbu itu adalah Suryadi dan Harmono. Massa Pemuda Rakyat dan BTI itu menyerbu dengan bersenjatakan golok, pedang, kelewang, arit, dan pentungan sambil berteriak histeris: - �Ganyang santri!�, �Ganyang Serban!�, �Ganyang Kapitalis!�, �Ganyang Masyumi!�.

Para anggota PR dan BTI yang sudah beringas itu kemudian mengumpulkan kitab-kitab pelajaran agama dan Al-Qur�an. Kemudian semua dimasukkan ke dalam karung dan diinjak-injak sambil memaki- maki. Pimpinan pondok, Haji Said Koenan, dan pengasuh pesantren KH Djauhari, ditangkap dan dianiaya. Para pengurus PII digiring dalam arak-arakan menuju Polsek setempat. Para anggota PR dan BTI menyatakan, bahwa PII adalah anak organisasi Masyumi yang sudah dilarang. Jadi PII, menurut PKI, berusaha melakukan tindak makar dengan mengadakan training-training politik.

Peristiwa penyerangan PR dan BTI terhadap pesantren Kanigoro, dalam tempo singkat menyulut kemarahan Banser Kediri. Gus Maksum �putera KH Djauhari� segera melakukan konsolidasi. Siang itu, 13 Januari 1965, delapan truk berisi Banser dari Kediri datang ke Kanigoro. Markas dan rumah-rumah anggota PKI digrebek. Suryadi dan Harmono, pimpinan PR dan BTI, ditangkap dan diserahkan ke Polsek.

Banser Versus Lekra
Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon. Awal dari bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti hati umat Islam yakni : �Gusti Allah dadi manten� (Allah menjadi pengantin).

Pada saat ludruk sedang ramai, tiba- tiba Banser melakukan serangan mendadak. Ludruk dibubarkan. Para pemain dihajar. Bahkan salah seorang pemain yang memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun dengan pakaian raja. Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit kabupaten Malang. Ceritanya, di rumah seorang PKI diadakan perhelatan dengan menanggap ludruk Lekra dengan lakon �Malaikat Kawin�. Banser datang dari berbagai desa sekitar. Pada saat ludruk dipentaskan para anggota Banser yang menonton di bawah panggung segera melompat ke atas panggung. Kemudian dengan pisau terhunus, satu demi satu para pemain itu dicengkeram tubuhnya. (Tim Duta)

Bila Pesantren �Berubah Wajah�

Duta Masyarakat Senin, 13 April 2009

PERUBAHAN di pesantren senantiasa dikaitkan dengan figur kiai. Dalam studinya, Manfred Ziemek (1983) misalnya, membuktikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berpengaruh penting bagi perubahan sosial masyarakat desa. Demikian juga dengan Hiroko Horikoshi (1987). Ia menyoroti peran kiai sebagai aktor penting dalam perubahan sosial.

Menurutnya, kiai berperan penting sebagai penyaring informasi untuk memacu perubahan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Kiai juga bertindak sebagai mediator dan cultural broker (makelar budaya).

Meski peneliti-peneliti tersebut berhasil membuktikan perubahan-perubahan di pesantren dan peran kiai dalam proses perubahan itu, namun perubahan itu tetap dalam konteks pengembangan peran pesantren. Aspek-aspek ideologis pesantren masih tetap dalam bingkai kulturalnya.

Namun, dalam waktu yang panjang, perubahan dalam pesantren tidak selalu menuju ke arah yang dikehendaki. Ada perubahan-perubahan menuju ke arah yang mengkhawatirkan, yaitu metamorfosis sejumlah pesantren menjadi kekuatan wahabisme. Hal ini diamati secara cermat dalam desertasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis M. Suparta, sekarang menjabat sebagai Irjen Depag RI. Desertasi ini diujikan pada akhir Agustus 2008 lalu.
Studi tentang perubahan orientasi pesantren ini mengambil fokus dua pesantren, yaitu Maskumambang Gresik dan al-Fatah Magetan. Desertasi yang diujikan 20/9/08 lalu itu memperlihatkan bahwa perubahan orientasi keilmuan kiai mempunyai pengaruh besar untuk mengubah wajah pesantren yang pada gilirannya mempengaruhi wajah keagamaan masyarakat.

Dua pesantren yang distudi desertasi ini termasuk pesantren tua, yakni Pesantren Maskumambang berdiri tahun 1859 oleh Kiai Abdul Jabbar (w. 1907), dan pesantren al-Fatah didirikan pada 1912 oleh Kiai Siddiq (w. 1950). Pada awalnya dua pesantren ini dapat dikatakan sebagai tipikal pesantren NU yang mengembangkan paham ahl al-sunnah wa al-jama�ah (aswaja).

Namun dalam perjalanannya, kedua pesantren tersebut berganti wajah. Pesantren Maskumambang berganti wajah dari pesantren salafiyah-aswaja menjadi modern-wahabi. Sedang al-Fatah Magetan berubah dari salafiyah-tarekat-aswaja menjadi pesantren berwajah majlis tabligh.

Perubahan itu merupakan hasil dari interaksi dua pesantren ini dengan dunia luar. Pesantren Maskumambang bergerak ke arah wahabi pada generasi ke dua, yang diwakili figur Kiai Ammar Faqih (w.1965) setelah dia belajar ke Mekah dan Madinah dan persentuhannya dengan karya Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab al-Tauhid ketika menjalankan ibadah haji. Perubahan orientasi Pesantren Maskumambang semakin jelas ketika Kiai Nadjih Ahjad mengganti posisi Kiai Ammar Faqih.

Sedang pesantren al-Fatah Magetan berubah wajah menjadi majlis tablig setelah Kiai Uzairon belajar ke Mesir dan Kiai Noor Tohir belajar ke Mekah. Kedua pengasuh al-Fatah tersebut berkenalan dengan majlis tablig yang didirikan Maulana Muhammad Ilyas bin Muhammad Ismail al-Kandahlawi (w. 1944). Hubungan itu dilanjutkan dengan kunjungan jama�ah tablig dari India dan Pakistan ke al-Fatah Magetan pada 1984 dan 1988.

Peristiwa ini pada 1989 sempat memunculkan ketegangan antara Pesantren al-Fatah dengan PC NU Magetan. Ketika itu, Kiai Uzairon menjabat sebagai Rais Syuriah, dan Kiai Noor Tohir sebagai Katib Syuriyah PC NU Magetan. Forum tabayyun itu ternyata tidak menemukan titik temu. Kiai Uzairon dan Kiai Noor Tohir akhirnya menyatakan keluar dari NU dan memilih mengembangkan majlis tablig. Sejak itu, Pesantren al-Fatah semakin menjauh dari komunitas NU dan semakin mantap mengembangkan karakter keberagamaan majlis tablig dengan khuruj (keluar menyebarkan agama) menjadi ciri khasnya.

Karena peristiwa ini, banyak wali santri yang berontak. Wali santri banyak yang tidak bisa menerima pilihan pengelola Pesantren al-Fattah. Akhirnya, sekitar 500 santri ditarik orang tuanya dan dipindahkan ke pesantren lain

Habib Luthfi Pun Gelisah dengan Kisruh Pemilu

Duta Masyarakat Sabtu, 25 April 2009
PEKALONGAN � Hiruk-pikuk politik pasca pemilu seperti akan boikot pemilihan presiden (pilpres), kisruh daftar pemilih tetap (DPT) hingga belum tuntasnya penghitungan suara, membuat gelisah dan prihatin Rais Am Idaroh Aliyah Jam�iyyah Ahlit Thariqah Al Mu�tabarah An Nahdliyyah, Habib Muhammad Luthfi bin Ali Yahya.

Kegelisahan itu disampaikan Habib Luthfi pada saat memberikan taushiyah di puncak acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1430 Hijriyah di Gedung Kanzus Sholawat Pekalongan, belum lama ini.

�Kita mestinya malu dengan orang yang sudah mati, beliau para aulia yang sudah meninggal ratusan tahun yang lalu, masih mampu memberikan kedamaian dengan memberikan rezeki bagi masyarakat yang masih hidup di sekitar makam,� kata pemimpin tarekat-tarekat NU ini.

Lebih dari itu, ujar Habib, beliau yang sudah mati juga mampu merukunkan kepada umat Rasulullah yang masih hidup tanpa harus bertengkar meski mereka berbeda baju dan partai.

�Lha kita yang masih hidup, malah bertengkar dan ingin mengacaukan hasil pemilu, apa kita rela NKRI terbelah hanya gara-gara yang sepele ini?�
Taushiyah Habib Luthfi yang juga Ketua Majelis Ulama (MUI) Jawa Tengah tak biasanya disampaikan disaat puncak peringatan maulid nabi di Kanzus sholawat.

Sebagai khodimul maulid, Habib Luthfi pada tahun-tahun sebelumnya lebih banyak duduk manis dan menyalami tamu-tamunya yang hadir.

Meski dalam susunan acara, tidak ada jadual Habib Luthfi akan memberikan taushiyah, akan tetapi karena ini dianggap penting, akhirnya diagendakan setelah Menteri Komunikasi dan Informatika memberikan kata sambutan atas nama Presiden RI.

Habib Luthfi meminta kepada yang hadir agar tidak mudah termakan isu dan rongrongan atas upaya gerakan pemecah belah kesatuan. (ful)

Satu Daerah Tiga Idul Adha

Duta Masyarakat Rabu, 10 Desember 2008
PADANG - Sekitar 50 ribu warga muslim penganut aliran Tarekat Sattariyah akan melakukan salat Idul Adha, Rabu (10/12) pagi ini. Penetapan Idul Adha oleh pengikut aliran tarekat yang dibawa Syech Burhanuddin tersebut molor dua hari dibanding jadwal yang ditetapkan pemerintah karena masuknya hilal dilihat dengan mata telanjang.

�Sebagian besar surau di Padang Pariaman baru akan melaksanakan salat Idul Adha besok,� ujar Bachtiar (74), warga Kelurahan Sungai Sarik, Padang Pariaman ketika Selasa kemarin.

Tidak hanya dalam merayakan Idul Adha, Ramadhan lalu pengikut tarekat Sattariyah juga terlambat memulai puasa dua hari dari jadwal yang ditetapkan pemerintah dan terlambat melaksanakan salat Idul Fitri satu hari dari jadwal resmi pemerintah. Namun pengikut Syeikh Burhanuddin di Koto Tangah, Padang, sudah merayakan Idul Adha Selasa kemarin.

Afriyono (30), ustad Mushala Darul Fallah Simpang Kalumpang, Kelurahan Lubuk Buaya, Koto Tangah, Padang, salah satu musala Sattariyah, mengatakan puluhan pengikut aliran Sattariyah di Koto Tangah Padang menggelar Shalat Idul Adha di Mushala Darul Fallah pagi kemarin dan dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban. �Berdasarkan perhitungan kalender hijriyah hari raya Idul Adha jatuhnya hari ini. Kami lakukan perhitungan sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW,� katanya, kemarin.

Sebelumnya lagi sekitar 1.000 orang jamaah tarikat Naqsabandiyah di Sumatera Barat malah sudah merayakan Idul Adha pada Sabtu (6/12). (det/ok)

Jangan paksakan penerapan syariat: KEMBALILAH PADA KONSEP TASAWUF

Duta Masyarakat | 10 November 2009
 Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas’udi mengatakan, penerapan syariat harus didahului pembangunan berbagai infrastuktur pemberdayaan masyarakat. “Jangan memaksakan penerapan syariat sebelum semua infrastruktur pemberdayaan masyarakat terpenuhi,” katanya.

Masdar mengatakan itu dalam diskusi dan bedah buku Abu Habib Muda Seunagan dan Thariqat Syattariyah di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Masdar, Senin (9/11). Hadir pada acara teresbut para pejabat dan warga Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang tingal di Jakarta dan sekitarnya.

Menurut Masdar, pembangunan ekonomi masyarakat sangat penting sebelum syariat Islam diterapkan. “Suka tidak suka, kita harus mengakui bahwa yang paling penting adalah soal kebutuhan ekonomi,” katanya dalam diskusi yang membincang tokoh kharismatik NAD yang ditulis dalam buku setebal 254 halaman tersebut.

Umat Islam, kata Masdar, terutama di NAD, tidak boleh terjebak pada logika syariat atau logika benar salah dalam mengatasi berbagai persoalan yang sedang berkembang. Misalnya ingin menerapkan hukuman potong tangan bagi para pencuri.

“Umat Islam perlu kembali pada konsep tasawuf yang diterapkan dalam berbagai ajaran tarekat. Tasawuf menekankan pada aspek moral dan penyadaran diri, bukan ancaman, atau menakut-nakuti,” kata Masdar.

Menurutnya, umat Islam di Indonesia telah melupakan ajaran tarekat yang telah dikembangkan para penyebar Islam di Nusantara. Ajaran tarekat menekankan pada pendalaman moral dan penerapan akhlak dalam kehidupan.

Belakangan ini, lanjut Masdar, umat Islam hanya berpijak pada aspek syariat yang menekankan pada soal hukum atau sanksi yang diberikan kepada para pelanggar peraturan agama.

“Maka jadilah agama ini sepertinya hanya bertugas menghukum orang. Padahal, agama kan bertujuan agar manusia ini menjadi lebih baik. Kita selama ini melupakan ajaran tarekat yang menekankan aspek penyadaran,” katanya.

Menurut Masdar, Islam tidak datang untuk menakut-nakuti manusia dengan berbagai hukuman atau akibat yang diterima jika manusia melakukan sesuatu yang dinilai melanggar agama.

Prof Dr Syahrizal dari Universitas Arraniri Banda Aceh menyampaikan hal serupa. Menurutnya, umat Islam selama ini hanya terpaku pada logika hitam putih, bukan logika kesadaran. Logika kesadaran ini, katanya, dikembangkan dalam konsep tasawuf yang diamalkan dalam berbagai ajaran tarekat.

Hamka ternyata penganut tarekat: BAIAT PADA ABAH ANOM SURYALAYA


Duta Masyarakat Selasa, 16 Juni 2009
SIAPA sangka mantan pimpinan Muhammadiyah Buya Hamka ternyata mengikuti tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah. Ketua MUI pertama ini berbaiat kepada Abah Anom, mursyid tarekat dari pesantren Suryalaya Tasikmalaya.

Hal ini diungkapkan Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baru-baru ini. �Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan disertasi, ada fotonya ketika berbaiat dengan Abah Anom. Cuma ada sebagian orang Muhammadiyah yang tak percaya,� katanya.

Mantan Ketua Umum Fatayat NU ini menuturkan, Hamka sendiri pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi �Hampa�. �Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk. Akhirnya beliau masuk, karena mungkin haus spiritual,� tandasnya.

Hamka memang dikenal memahami dunia tarekat. Salah satu karyanya adalah Tasawuf Modern, yang mengupas dunia tasawuf dan penerapannya pada era modern ini.

Tokoh lain yang dikenal publik sangat rasional tetapi juga mengikuti tarekat adalah Harun Nasution. Menurut Sri Mulyati yang lulus doctor dari McGill University ini, persentuhan Harun dengan dunia tarekat dimulai ketika mengantar proses penyembuhan anaknya ke Suralaya. Ia melihat, hanya dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh.

�Akhirnya, sampai akhir hayatnya, beliau sangat sufi, ikut Abah Anom. Padahal beliau seorang profesor yang sangat rasional,� terangnya.
Ibnu Taimiyah, yang oleh sebagian orang dipercaya anti-tarekat, ternyata juga secara pribadi mengikuti tarekat.

�Dalam buku Syeikh Hisyam Kabbani, dia belajar dan mempraktekkan tarekat, memang tidak mengajarkan. Seperti Imam Ghozali, belajar dan mempraktekkan, meskipun bukan mursyid, setelah dia tidak puas di ilmu kalam, akhirnya belajar tasawwuf dan mengamalkan sehingga menghasilkan rekonsiliasi,� ujarnya.n

KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI: Eksistensi tarekat-kiai menyatukan umat

Duta Masyarakat Sabtu, 18 Juli 2009
Di pesantren Al-Fithroh, akan digelar haul akbar dan haflah dzikir Maulidurrasul, Sabtu-Minggu (25/26) mendatang. Inilah sosok Kiai Asrori Al-Ishaqi, pengasuhnya.

Dalam sebuah pengajian, KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi mengajak umat Islam untuk memahami pengertian tarekat secara proporsional. �Ada orang berpendapat miring tentang tarekat, dikira seseorang hanya disuruh berdzikir melulu tanpa bekerja. Ini menunjukkan sebuah kedangkalan pendapat dalam memandang tarekat,� tutur Mursyid Tarekat Qadiriyah Wan-Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman).

Kiai Asrori pun melanjutkan petuahnya. �Apa definisi dunia dan akhirat. Yang dinamakan dunia, kulluma yusdziruka anillah fahuwa dunya wakulluma yuinnuka alallah fahuwal ukhra. Apapun yang menghalangi, yang mendindingi yang mengganggu kita untuk menghadap kepada Allah, itulah dunia. Apakah itu berbentuk ilmu, ibadah, dzikir, bila tidak bisa didudukkan pada kedudukan yang betul-betul yang akan diterima dan di-ridhai oleh Allah, adalah dunia. Sebaliknya, apa pun, yang bisa mendorong, menolong, membantu kita untuk menghadap kepada Allah, jangankan ilmu yang mendorong kita beribadah kepada Allah, atau pun segala sesuatu ilmu yang bisa mendorong kepada ridha Allah, itu adalah akhirat.�

Dalam setiap ceramah Kiai Asrori, selalu mendapat perhatian intens dari umat Islam. Lalu, faktor apa yang mempersatukan umat Islam, yang setiap dengan ajaran-ajaran Sang Kiai? Umat rela berdesak-desakan selama berjam-jam? Dua sisi menjadi faktor penentu: tarekat dan eksistensi kiai� Kiai Asrori sendiri selaku Mursyid Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman).

Konon, almaghfurlah KH Utsman adalah seorang santri kesayangan KH Romli Tamim (ayah KH Musta�in) Peterongan, Rejoso, Jombang. Kiai Utsman dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta�in (sekitar tahun 1977), Kiai Utsman mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya, kawasan Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktivitas tarekat di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jamaah yang hadir semakin membeludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwah Kiai Asrori dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. �Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi�, ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu, Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al-Fithroh dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok Tanah Air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.

Jamaah Al-Khidmah

Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jamaah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekhawatiran. Banyaknya murid yang berbaiat di Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah menunjukkan, ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid-murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.

Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembina-annya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.

Maka dibentuklah wadah bernama Jamaah Al-Khidmah. Organisasi ini dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khatmil Al-Qur�an, Maulid dan Manaqib serta kirim doa kepada orang tua dan guru-gurunya.

Demikian sepenggal perjalanan dakwah yang dilakukan Kiai Asrori pada periode awal. Keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jamaahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta tarekat sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tarekat.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat tarekat. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah.n

KH Zaid Ringinagung, Mursyid Tarekat Syadziliyah meninggal

Duta Masyarakat | 22 Agustus 2009
 eninggal KH Asrori al-Ishaqi, dunia pesantren dan tasawuf di Indonesia kehilangan salah seorang tokohnya yang paling kharismatik. Tak berapa lama berselang, dunia pesantren kembali kehilangan salah seorang tokohnya yang ikhlas dan berjuang dengan keunikannya tersendiri.

Pengasuh Pondok Pesantren Mahir-Arriyadh Ringinagung, Kepung Kediri KH Zaid Abdul Hamid, meninggal dalam usia sekitar 90 tahun pada hari Selasa malam 18 Agustus 2009 sekitar pukul setengah sepuluh malam. Beliau adalah salah satu Mursyid Tharekat Syadziliyah di Jawa Timur. Di mata para santri yang tinggal di pesantrennya saat ini, Kiai Zaid�begitu para santri akrab memanggilnya, adalah sosok yang sangat peramah dan penyayang terhadap para santrinya. Kiai Zaid juga dikenal sebagai ulama pembaharu ketika pada tahun 1980-an, mendirikan Pondok Pesantren Putri bernama Islahiyyatul Asroriyyah.

Menurut Burhan, salah seorang alumni Ringinagung, Kiai Zaid adalah seorang yang sangat wira’i dan tidak suka menggantungkan diri dan pesantrennya kepada bantuan orang luar terutama pemerintah. ”Dulu pernah, semasa hidupnya, jalan menuju ke pesantren akan dibangun dengan aspal oleh pemerintah setempat, namun justru Kiai Zaid tidak berkenan dan malah membangun akses ke pesantren paving atas biaya sendiri.

  • ani


Friday, December 4, 2009

Ratusan Warga Salat Gerhana


26-1-2009-metro26-1-2009-gerhana.JPG
SRIPO/HUSIN
SALAT GERHANA --- Ratusan warga di Talangjambe, Sukarami, Palembang menggelar salat gerhana matahari  tepat pukul 16.30 di komplek Pesantren Aulia Cendikia. Fenomena alam ini jarang terjadi sehingga warga memanfaatkan momentum ini untuk berdoa dan melakukan taubat.
Sriwijaya Post - Senin, 26 Januari 2009 18:45 WIB
PALEMBANG, SENIN - Ratusan warga Talangjambe, Kecamatan Sukarami, Palembang menggelar salat gerhana Matahari sekitar pukul 16.30, Senin (26/1) di Komplek Pesantren Aulia Cendikia. Salat diikuti anak-anak dan orang dewasa.
Selesai salat, warga yang hadir juga mendengarkan khutbah singkat yang disampaikan Ustad Syaiful Wardi.
Suasana salat gerhana yang dilakukan di Palembang kebanyakan dilakukan di ruang terbuka sehingga masyarakat dapat merasakan detik-detik gerhana. Hanya saja, peristiwa alam ini tidak dapat disaksikan secara langsung oleh warga karena cuaca di Palembang menndung dan matahari diselimuti awan hitam. Namun, saat pelaksanaan salat gerhana, suasana memang terasa gelap tetapi setelah itu, langit kembali cerah.
Selain di komplek pesantren Aulia Cendikia, pelaksanaan salat Gerhana juga dilakukan di Pesantren Innayatullah di Desa Gasing diikuti 318 orang. Juga Pengajian Raudhatul Quran di Plaju, Majelis Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah, Plaju dan Majelis Taklim Asmaul Husna di Talang Jambi.  Secara umum pelaksanaan gerhana berlangsung khusuk.    

Setelah kiai badri bertemu nabi

Majalah Tempo 34/XXI 19 Oktober 1991
Beberapa alasan ppp atas pencalonan pak harto sebagai presiden periode '93/'98 dan kebulatan tekad yang diumumkan lebih awal. isu yang beredar di ka- langan ppp. calon wapres masih pendapat pribadi.
Karena desakan yang kuat dari bawah, dan ada pula isu, PPP mencalonkan Pak Harto. Soal calon wapres masih pendapat pribadi. Kenapa? SUATU malam akhir Mei lalu, Kiai Badri Masduki, 51 tahun, dalam keadaan bimbang. Pimpinan Pondok Badrijjuda, Probolinggo, ini baru saja menerima telepon dari dr. Saleh Al Djufri. Saleh, pemrakarsa "kebulatan tekad" di Jawa Timur itu, besok akan menghadap Pak Harto di Jakarta, maka ia menanyakan apakah Kiai Badri punya pesan yang ingin disampaikan untuk Presiden. Seakan memperjelas maksudnya, Saleh tak lupa mengingatkan bahwa sejumlah ulama di Jawa Timur sudah mengumpulkan tanda tangan, meminta kesediaan Pak Harto dicalonkan kembali sebagai presiden. Ini soal penting. Tapi Badri tak tahu harus berpesan apa. Akhirnya, ia melakukan istikharah, salat sunnat yang biasa dilakukan para ulama ketika bimbang untuk memutuskan suatu soal penting. Dalam salat itu ia melihat Presiden Soeharto berada di suatu tempat dikelilingi banyak orang. Lalu muncul bayangan Ka'bah. Bersamaan dengan itu terdengar amat jelas suara yang menggetarkan hati, yang oleh kiai ini diyakini sebagai suara Nabi Muhammad. "Saya titip Indonesia kepada kamu, ya Soeharto ..," kata suara itu, seperti diceritakan Kiai Badri Masduki kepada wartawan TEMPO Jalil Hakim, Sabtu pekan lalu. Seusai salat, pimpinan Tarekat Tijaniyah ini merenung, lalu berujar dalam hati, "Wah, kalau begitu ini isyarat Presiden Soeharto masih harus diberi kepercayaan untuk terus memangku jabatannya." Malam itu juga ia menelepon dr. Saleh Al Djufri. "Tolong, sampaikan salam kami, kami pun ikut mendukung agar Pak Harto tetap menjadi presiden untuk masa jabatan yang akan datang," katanya tegas. Selain itu, kiai ini segera bergerak mengumpulkan tanda tangan para kiai dan pemuka masyarakat yang dikenalnya untuk mendukung pencalonan itu. Hingga pekan ini sudah lebih dari seribu kiai dan ulama yang menyodorkan tanda tangannya kepada Kiai Badri. Jumlah ini sudah lebih banyak dari yang dikumpulkan dr. Saleh Al Djufri. Wakil Ketua MDI Jawa Timur itu baru mengumpulkan 700 tanda tangan kiai dan tokoh masyarakat di daerahnya. "Bukan lagi kami yang berkeliling, tapi para kiai itu yang berdatangan kemari untuk tanda tangan. Jadi, ini bukan rekayasa," kata Kiai Badri. Mungkin tak mengherankan kalau begitu banyak tanda tangan yang sudah terkumpul pada Badri, sebab di Probolinggo dan daerah sekitarnya di Jawa Timur, kiai ini dianggap pengikutnya sebagai tokoh panutan yang disegani dan memiliki ilmu ma'rifat tingkat tinggi. Tarekat Tijaniyah yang dipimpinnya terhitung sebagai kelompok tarekat besar yang punya pengikut tak sedikit di Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya seperti Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Apalagi, seperti diungkapkan sebuah sumber, tindakan Kiai Badri itu tak pernah mendapat halangan dari aparat keamanan setempat. Kiai Badri seorang pendukung PPP. Namanya tercantum dalam daftar calon partai bintang itu untuk pemilu mendatang. Tak jelas berapa banyak kiai PPP lainnya yang bersikap seperti dia. Tapi, seperti dikatakan Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum, pihaknya selalu mendapat desakan dari arus bawah agar segera mencalonkan kembali Pak Harto. "Saya sudah berkeliling di pesantren. Selalu ada pernyataan bahwa pembangunan sekarang menunjukkan langkah maju, karena itu Pak Harto harus kami calonkan lagi," kata Buya, panggilan akrab tokoh puncak PPP asal Aceh itu. Hal seperti ini sudah bermula sejak tahun lalu. Yaitu ketika Juni 1990 Buya bersama Sekjen PPP Matori Abdul Djalil diantarkan oleh Soelaiman Fadeli, Ketua DPW PPP Jawa Timur, untuk sowan ke Kiai As'ad Syamsul Arifin (kini almarhum), pimpinan Pesantren Salafiyah Syafiiyah di Situbondo. Seperti diungkapkan Soelaiman Fadeli kepada TEMPO, di sana tiba-tiba ia dan Buya diajak Kiai As'ad berbicara di dalam kamar. "Begini, lo, saya melihat dahi Pak Harto itu masih tetap cemlorot (bersinar) bintangnya. Bisa kelihatan itu," kata Soelaiman, menirukan ucapan almarhum Kiai As'ad waktu itu. Di kalangan pengikutnya, Kiai As'ad memang dikenal sebagai ulama yang mempunyai indera keenam. Tak aneh kalau bekas mustasyar (penasihat) PB NU itu pada masa hidupnya menjadi ulama yang paling disegani. Kemudian kiai sepuh ini berpesan agar mereka mencalonkan Pak Harto saja, bukan yang lain. "Bisa kiamat nantinya kalau terjadi rebutan jabatan," katanya. Selain itu, As'ad juga berpesan agar PPP bisa mengembalikan 90-an kursi yang pernah direbut partai itu dalam Pemilu 1982. Bahkan, sebelum wafat tahun lalu, Kiai As'ad sempat mengirim surat kepada Soeharto, meminta kesediaannya untuk menjadi presiden sampai tahun 2000. Surat itu sekarang oleh para santrinya dianggap sebagai wasiat sang panutan yang harus dipatuhi. Sejak saat itu, desakan agar PPP mencalonkan Pak Harto terus bermunculan. Bukan cuma kiai, tapi pengurus wilayah dan cabang cukup banyak yang mengusulkan hal yang sama. Ini tercermin ketika PPP melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional di Jakarta, Januari 1991. Di situ sejumlah DPW -- dimotori DPW PPP Jakarta -- mengusulkan agar Mukernas memutuskan pencalonan kembali Pak Harto. Tapi Buya menjawabnya secara hati-hati. "Ini merupakan investasi bagi kami, terutama nanti kalau kita akan mengambil keputusan formal," kata Buya, kepada TEMPO. Sang ketua umum ini meminta peserta musyawarah untuk menyerahkan soal itu kepada DPP saja. Keputusan formal dimaksud, dikatakan Buya, akan disampaikan DPP PPP melalui fraksi sekitar Sidang Umum MPR 1993. "Itu setelah kami minta persetujuan Pak Harto untuk dicalonkan," katanya. Karena itulah, dalam berbagai pernyataannya pertengahan tahun lalu, Buya mengecam kebulatan tekad untuk mencalonkan Pak Harto. Tapi kenapa pekan lalu justru pencalonan seperti model kebulatan tekad itu diumumkan Sekjen PPP Matori Abdul Djalil kepada pers? Ternyata, ada ceritanya. Yang pertama adalah desakan para kiai, cabang, dan pengurus wilayah PPP. "Saya sering mendapat telepon dari daerah-daerah karena PPP tak menunjukkan sikap," kata Buya. Ini terutama setelah ramainya pernyataan-pernyataan mendukung Pak Harto dari Kelompok 21 yang disponsori bekas Menko Kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara, atau kelompok para ulama Jawa Timur, yang dimotori dr. Saleh Al Djufri dan Kiai Misbah. Di luar soal waktu tadi, sebetulnya, menurut Buya, mereka sesama pengurus DPP PPP sepakat akan sikap itu. Kenapa? Selain keberhasilan Pak Harto menumpas PKI, menggerakkan pembangunan, sikap Pak Harto banyak yang menyenangkan PPP. Misalnya dalam soal pembuatan UU Perkawinan UU Peradilan Agama, UU Pendidikan Nasional, dan sebagainya. "Pembangunan begitu banyak masjid amal muslimin adalah atas jasa Pak Harto," kata Buya. Belum lagi pengiriman 1.000 dai ke daerah terpencil yang dibiayai yayasan yang dipimpin Pak Harto. Pak Harto sendiri menunjukkan dirinya sebagai seorang muslim yang baik ketika ia naik haji ke Mekah beberapa bulan lalu. "Ketika dulu asas tunggal digulirkan, orang mengira Pak Harto akan membawa negeri ini ke sekularisme. Ternyata tidak, sekarang umat Islam cukup diperhatikan," kata Matori Abdul Djalil. "Dalam pelbagai pembicaraan soal suksesi, nama yang kami temukan cuma Soeharto," kata Buya. Sekadar bukti, Buya menunjuk surat yang dibuatnya kepada Ketua DPW PPP Jawa Timur, agar membantu Kiai Badri Masduki dalam mengumpulkan tanda tangan para ulama dan kiai, seperti yang sudah disebut tadi. Surat itu dibuatnya Agustus lalu atas permintaan Kiai Badri sendiri. Belakangan, karena derasnya desakan tadi, pernah terpikir untuk mengumumkan kesepakatan mereka itu dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas), menjelang Pemilu. Tapi rupanya desakan kian keras saja, dan belakangan muncul problem lain. Sebuah sumber di DPP PPP mengungkapkan bahwa dalam tiga bulan terakhir di kalangan PPP dan sementara pejabat tinggi beredar isu bahwa PPP akan mencalonkan Sudharmono sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR mendatang. "Tak jelas dari mana asal isu itu, mungkin dari lawan politik saya," kata Buya. Belum cukup, ada pula bisik-bisik bahwa Buya sendiri yang akan mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk membantah kabar-kabar burung itu, Buya Ismail sempat menemui Menteri Agama Munawir Sjadzali. Malah, kabarnya, Buya sempat mengirim surat ke Presiden Soeharto yang isinya membantah isu-isu tadi. Tapi sampai di sini tampaknya sudah sulit bagi Buya untuk menunggu forum Mukernas untuk mengumumkan calon presiden. Sebab, sikap menunda-nunda itu bisa menyebabkan isu-isu tadi mendapatkan lahan yang subur untuk berkembang di tingkat massa di bawah, terutama di kalangan kiai-kiai pendukung yang sudah yakin calon yang terbaik bagi mereka adalah Pak Harto. "Mereka yang sudah bersemangat begitu bisa lari ke kandang lawan," ujar seorang tokoh PPP. Akhirnya, Buya dan para pendukungnya di DPP PPP sepakat untuk mengumumkan calon mereka, melalui Sekjen Matori Abdul Djalil. Tak berarti persoalan selesai semua. Entah mengapa, kepada wartawan Matori bukan cuma bicara calon presiden, tapi juga wakil presiden. Ia memang tak memberi nama tapi kriteria, bahwa katanya mereka menginginkan calon wakil presiden itu seorang ABRI yang masih aktif dari generasi setelah 1945. Padahal, yang sebenarnya, PPP belum memikirkan soal wakil presiden. "Kami tidak pernah membicarakan wakil presiden. Yah, kalau wakil kan banyak calon," kata Buya sambil tertawa. Yang penting, katanya, calon wakil itu harus bisa bekerja sama dengan presiden terpilih, sesuai dengan TAP MPR Nomor II tahun 1973. "Jadi, katakan saja itu pendapat pribadi Matori," kata Buya. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Matori menyebut-nyebut soal wapres itu karena permintaan seorang kiai juga, yang sulit ditolaknya, sebagai seorang santri NU yang baik. Tapi Matori membantah, "Tak ada angin dari mana-mana. Maksud disebutkannya calon wapres itu biar kami siap saja kalau ditanya siapa calon presiden dan wapres," katanya. Tapi kemudian Matori membenarkan bahwa kriteria wapres itu cuma pendapat pribadinya. Persoalan lain -- dan lebih gawat -- akan muncul manakala kelak ternyata Pak Harto tidak bersedia dicalonkan. Apabila itu yang terjadi, PPP bisa akan kehilangan pamor. "Kalau Pak Harto tak bersedia, akan kami pikirkan lagi calon lain," kata Buya. Agus Basri, Jalil Hakim, Iwan Qodar Himawan

Wednesday, December 2, 2009

Habib Luthfiy Kembali Terpilih sebagai Rois Am

SM Kamis, 31 Maret 2005
PEKALONGAN-KH Habib Luthfiy Ali bin Yahya dari Pekalongan kembali terpilih sebagai Rois Am Jamiyyah Ahlith Thariqah Almutabarah An Nahdliyyah masa hidmat 2005-2010, setelah anggota formatur sepakat memilih ulama karismatik asal Pekalongan tersebut.
Melalui rapat tertutup, anggota formatur yang terdiri atas Habib Luthfiy Ali bin Yahya (Rois Am 2000-2005), KH Drs Toha Abdurrahman (Pjs Mudir Am 2000-2005), KH Muhammad Assegaf (Sumatera), KH M Lukman Hakim (DKI dan Banten), KH Asep Burhanudin (Jawa Barat), KH R Muhaiminan Gunardho (Jawa Tengah dan DIY), KH Abdullah Sajad (Jawa Timur), H Amin (Bali/ NTT), KH Djaelani Abin Dullah LC (Kalimantan/ Sulawesi/ Maluku/ Irian), berhasil menyusun Idaratul Aliyah masa hidmat 2005-2010 dan mempercayakan posisi Rois Am kepada Habib Luthfiy.
Penetapan susunan Idaratul Aliyah diumumkan bersamaan dengan acara penutupan muktamar yang dihadiri oleh ribuan warga Pekalongan dan sekitarnya. Rois Am terpilih Habib Luthfiy menjelaskan, terpilihnya dia menjadi Rois Am menimbulkan tanda tanya dalam hatinya, mampukah ahli thariqah menjadi teladan bagi bangsa?
Namun semua itu, kata dia, merupakan pemberian dan anugerah yang diberikan Allah dan bukan merupakan kebanggaan. Agar bisa menjalankan tugas dengan baik, Habib minta dukungan dari jam'iyyah ahlith thariqah. Sehingga thariqah diharapkan bisa menjadi perekat umat dan bangsa. ''Ahli tharigah akan berdiri di belakang pemerintah dalam negara kesatuan RI,''ujarnya.
Mengenai perkembangan Jatman, lanjut dia, setelah dilakukan sosialisasi selama lima tahun, ternyata berkembang pesat. Semula hanya berada pada tiga provinsi, namun kini sudah berkembang menjadi 36 provinsi dan lebih dari 300 syu'biyah.
''Di pundak bapak-bapak, merupakan amanat besar. Mampukah kita bisa menjawab tantangan ke depan, baik ditinjau dari segi ekonomi maupun segi lainnya? Semoga saja perkembangan semua itu tidak memalukan bagi ulama, kiai, nenek-nenek kita dan bangsa Indonesia,'' katanya
Kepentingan Sesaat
Rois Am PBNU KH Sahal Mahfudz menyerukan pesan kepada para ahlith thariqah agar tidak mudah diiming-imingi oleh kepentingan sesaat. Perubahan besar baru saja terjadi. Ditandai dengan pemilihan presiden secara langsung yang dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah. ''Tidak mustahil kepentingan sesaat akan mendekati organisasi yang punya massa besar, salah satunya jamiyyah ahlith thariqah,'' tandasnya.
Jamaah thariqah di tengah bangsa ini, kata dia, sangat penting dan berperan untuk mengembalikan identitas bangsa ini menjadi bangsa yang bermoral, menyusul munculnya berbagai macam krisis, terutama krisis identitas. ''Tugas dari ahli thariqah adalah menata batin, sehingga kedudukannya sangat penting,''ujarnya
Sementara itu, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Menteri Agama Maftuh Basyuni, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, menutup muktamar adalah mudah, namun setelah itu pekerjaan sebenarnya baru saja dimulai, yakni melaksanakan semua keputusan muktamar yang merupakan amanat jamiyyah.
Setelah secara resmi Menteri Agama menutup acara muktamar, ribuan muktamirin langsung menyerbu Habib Luthfiy untuk memberikan ucapan selamat sambil bersama-sama mengucapkan shawalat. Petugas keamanan yang menjaga pagar betis pun kewalahan dan tidak bisa mengendalikan gelombang muktamirin yang ingin menyalami. Habib Luthfiy pun dengan sabar menyalami muktamirin yang ingin mengucapkan selamat.
Selain dihadiri oleh para kiai, penutupan muktamar juga dihadiri oleh beberapa pejabat di Pemkab dan Pemkot Pekalongan di antaranya Wakil Gubernur Drs H Ali Mufiz MPA, (G16, A15-58t)

Susunan inti Idaratul Aliyyah Masa Khidmad 2005-2010

Rais Aam : KH Habib M Luthfiy Ali bin Yahya
Wakil Rais Aam : KH Abdul Wahab Hafidl
Katib Aam : KH A Zaini Mawardi
Wakil Katib Aam : Said Latif Luthfi Hakim
Mudir Aam : KH Muhaiminan Gunardho
Wakil Mudir Aam : KH Drs Thoha Abdurrahman
Sekjen : Drs HM Chabib Thoha
Wakil Sekjen : KH M Masroni
Aminus Sunduk Aam : HM Bambang Irianto
Wakil Aminus Sunduk Aam : H Jhony Abdullah

Dari Muktamar ke Muktamar: Wacana Bergeser ke Soal Kebangsaan

SM Minggu, 27 Maret 2005
HARI ini, rencananya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka Muktamar X Jam'iyyah Ahli Thariqah Al Mu'Tabarah An Nahdliyah (Jatman) di Kajen, Kabupaten Pekalongan. Untuk kali ketiga, Pekalongan menjadi tuan rumah pelaksanaan Muktamar Jatman setelah suskes menggelar Muktamar IX pada Maret 2000 lalu dan Muktamar kedua 1959.
Pada muktamar IX, KH Habib M Luthfi Ali bin Yahya terpilih sebagai Rais Am. Terpilihnya Habib Luthfi sebagai Rais Am, sedikit banyak telah memengaruhi peningkatan aktivitas Jamaah Thariqah di Pekalongan dan sekitarnya.
Inti dari ajaran Thariqah adalah menjalankan atau melaksanakan agama Islam secara benar, penuh kehati-hatian, menjauhi atau meninggalkan syubhat, serta melaksanakan keutamaan sesudah melaksanakan ibadah wajib, seperti shalat tahajud dan rawatib.
Selain itu, Thariqah juga mengajarkan untuk bersungguh-sugguh mengerjakan ibadah dan riyadah ,seperti puasa Senin-Kamis, aktif membaca Alquran, membaca selawat, zikir, dan istighfar.
Pembentukan organisasi Thariqah, merupakan respons ulama terhadap persoalan kehidupan umat Islam yang menyangkut kehidupan batiniah. Cara yang ditempuh untuk membantu umat, adalah dengan mendirikan organisasi Thariqah sebagai wadah mendekatkan diri kepada Allah lewat zikir, tahlil, selawat, serta berbagai amaliyah lainnya.
Jatman yang pada mulanya masih bernama Jam'iyyah Thariqah Al Mu'tabarah, kali pertama melakukan muktamar pada 10 Oktober 1957, di Ponpes Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang. Muktamar tersebut diprakarsai oleh beberapa ulama Magelang; yaitu KH Chudlori, KH Dalhar, KH Siradj, dan KH Hamid Kajoran.
Bersamaan dengan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Ke-26 di Semarang pada 1979, beberapa ulama -dengan diprakarsai oleh KH Muslih Abdul Rahman, KH Turaichan Adjhuri, dan KH Adan Ali- mengusulkan untuk memberikan tambahan nama An Nahdliyah, sehingga organisasi tersebut berganti nama menjadi Jam'iyyah Ahli Thariqah Al Mu'Tabarah An Nahdliyyah, yang kemudian disingkat Jatman, dengan alasan agar jamaah Thariqah tetap pada satu posisi dengan ajaran ahlussunnah wal jamaah.
Beberapa ulama yang mendirikan Jatman adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Idham Cholid, KH Masykur, dan KH Muslih Abdul Rahman.
Penambahan nama An Nahdliyah, secara tidak langsung juga telah membatasi diri pada sebuah ikatan ideologi organisasi, yaitu ideologi organisasi NU.
Hidup dalam Kultur
Pada perjalanannya, Jatman lebih terlihat hidup dalam kultur dibandingkan dengan struktur. Apalagi, orang-orang thariqah atau tasawuf cenderung tidak tertarik dengan urusan struktur.
Tidak heran, jika permasalahan seputar penataan organisasi, masih mendominasi permasalahan di tiap muktamar. Berturut-turut dari Muktamar II di Pekalongan (1959); Muktamar III di Tulungagung, JawaTimur (1962); Muktamar IV di Semarang, Jateng (1968); Muktamar V di Madiun, Jawa Timur (1979); Muktamar VI di Probolinggo, Jatim (1984); Muktamar VII di Mranggen, Demak, Jateng (1989); Muktamar VIII di Pasuruan, Jatim (1995), dan Muktamar IX di Pekalongan, Jateng (2000).
Sebagaimana layaknya sebuah organisasi, berbagai friksi, gesekan, dan perdebatan di Jatman muncul di beberapa muktamar. Seperti dalam Muktamar V di Madiun Jatim (1979), muncul gesekan akibat politisasi dari pemerintahan Orde Baru yang mencoba untuk masuk ke organisasi itu setelah memberlakukan fusi partai.
Akibat politisasi dari pemerintah waktu itu, terjadilah penyeberangan beberapa jamiyah thariqah. Itulah, salah satu sebab hingga kemudian muncul penambahan nama An Nahdliyyah untuk menyatukan Jamiyah Thariqah.
Dalam Muktamar VI di Probolinggo, Jatim, muncul wacana pemisahan Jatman dari NU. Namun kemudian, dalam musyawarah kubro dihasilkan keputusan bahwa Jatman tidak pernah mengeluarkan satu kalimat pun yang menyatakan keluar dari tubuh NU.
Dalam perjalanan selanjutnya, Jatman sebagai sebuah organisasi sudah mulai mapan hingga wacananya bergeser ke arah bagaimana jamiyah thariqah bisa menjadi tawaran solusi bagi berbagai persoalan bangsa.
Hal itu, bisa dilihat dari tema besar pelaksanaan Muktamar X kali ini, yaitu ''Reaktualisasi ajaran Thariqah Al Mu'tabarah dalam membantu menyelesaikan persoalan bangsa dan negara".
Ketua panitia pelaksana, KH Drs Muhammad Chabib Thoha MA, kepada wartawan menandaskan, Jamiyah Thariqah memiliki konsep membangun generasi bangsa dengan memberikan fondasi jiwa atau rohani, perbaikan akhlak, keimanan, ketakwaan, dan ilmu pengetahuan, untuk kemudian melakukan pembangunan fisik. ''Oleh karena itu, di samping memiliki komitmen untuk meningkatan hubungan kepada Allah, juga memiliki kepedulian untuk menyelesaikan masalah umat,'' ujarnya.
Berbagai permasalahan bangsa, akan dibahas dalam sidang pleno oleh para muktamirin; di antaranya tentang persoalan pembinaan persatuan umat dalam kerangka NKRI, kesejahteraan masyarakat, pembinaan aparatur pemerintahan yang bersih. Hasil Muktamar X, akan sangat menentukan peranan organisasi. (Muhammad Burhan, Trias Purwadi-81a)
Jadwal Kegiatan hari ini:
09.00 -11.00 : Pembukaan muktamar oleh Presiden di Pendopo Kab Kajen
11.00 -12.30 : Sidang Pleno I, pembahasan tatib di eks Pendopo Kab di Kota Pekalongan
19.00 - 20.30 : Dialog dengan Menkopolhukam, Widodo AS di eks Pendopo Kab di Kota Pekalongan
20.45 - 22.15 : Dialog dengan Menag HM Baftuh Basyuni SH MA di eks Pendopo Kab di Kota Pekalongan.(81a)