Beberapa alasan ppp atas pencalonan pak harto sebagai presiden periode '93/'98 dan kebulatan tekad yang diumumkan lebih awal. isu yang beredar di ka- langan ppp. calon wapres masih pendapat pribadi.
Karena desakan yang kuat dari bawah, dan ada pula isu, PPP mencalonkan Pak Harto. Soal calon wapres masih pendapat pribadi. Kenapa? SUATU malam akhir Mei lalu, Kiai Badri Masduki, 51 tahun, dalam keadaan bimbang. Pimpinan Pondok Badrijjuda, Probolinggo, ini baru saja menerima telepon dari dr. Saleh Al Djufri. Saleh, pemrakarsa "kebulatan tekad" di Jawa Timur itu, besok akan menghadap Pak Harto di Jakarta, maka ia menanyakan apakah Kiai Badri punya pesan yang ingin disampaikan untuk Presiden. Seakan memperjelas maksudnya, Saleh tak lupa mengingatkan bahwa sejumlah ulama di Jawa Timur sudah mengumpulkan tanda tangan, meminta kesediaan Pak Harto dicalonkan kembali sebagai presiden. Ini soal penting. Tapi Badri tak tahu harus berpesan apa. Akhirnya, ia melakukan istikharah, salat sunnat yang biasa dilakukan para ulama ketika bimbang untuk memutuskan suatu soal penting. Dalam salat itu ia melihat Presiden Soeharto berada di suatu tempat dikelilingi banyak orang. Lalu muncul bayangan Ka'bah. Bersamaan dengan itu terdengar amat jelas suara yang menggetarkan hati, yang oleh kiai ini diyakini sebagai suara Nabi Muhammad. "Saya titip Indonesia kepada kamu, ya Soeharto ..," kata suara itu, seperti diceritakan Kiai Badri Masduki kepada wartawan TEMPO Jalil Hakim, Sabtu pekan lalu. Seusai salat, pimpinan Tarekat Tijaniyah ini merenung, lalu berujar dalam hati, "Wah, kalau begitu ini isyarat Presiden Soeharto masih harus diberi kepercayaan untuk terus memangku jabatannya." Malam itu juga ia menelepon dr. Saleh Al Djufri. "Tolong, sampaikan salam kami, kami pun ikut mendukung agar Pak Harto tetap menjadi presiden untuk masa jabatan yang akan datang," katanya tegas. Selain itu, kiai ini segera bergerak mengumpulkan tanda tangan para kiai dan pemuka masyarakat yang dikenalnya untuk mendukung pencalonan itu. Hingga pekan ini sudah lebih dari seribu kiai dan ulama yang menyodorkan tanda tangannya kepada Kiai Badri. Jumlah ini sudah lebih banyak dari yang dikumpulkan dr. Saleh Al Djufri. Wakil Ketua MDI Jawa Timur itu baru mengumpulkan 700 tanda tangan kiai dan tokoh masyarakat di daerahnya. "Bukan lagi kami yang berkeliling, tapi para kiai itu yang berdatangan kemari untuk tanda tangan. Jadi, ini bukan rekayasa," kata Kiai Badri. Mungkin tak mengherankan kalau begitu banyak tanda tangan yang sudah terkumpul pada Badri, sebab di Probolinggo dan daerah sekitarnya di Jawa Timur, kiai ini dianggap pengikutnya sebagai tokoh panutan yang disegani dan memiliki ilmu ma'rifat tingkat tinggi. Tarekat Tijaniyah yang dipimpinnya terhitung sebagai kelompok tarekat besar yang punya pengikut tak sedikit di Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya seperti Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Apalagi, seperti diungkapkan sebuah sumber, tindakan Kiai Badri itu tak pernah mendapat halangan dari aparat keamanan setempat. Kiai Badri seorang pendukung PPP. Namanya tercantum dalam daftar calon partai bintang itu untuk pemilu mendatang. Tak jelas berapa banyak kiai PPP lainnya yang bersikap seperti dia. Tapi, seperti dikatakan Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum, pihaknya selalu mendapat desakan dari arus bawah agar segera mencalonkan kembali Pak Harto. "Saya sudah berkeliling di pesantren. Selalu ada pernyataan bahwa pembangunan sekarang menunjukkan langkah maju, karena itu Pak Harto harus kami calonkan lagi," kata Buya, panggilan akrab tokoh puncak PPP asal Aceh itu. Hal seperti ini sudah bermula sejak tahun lalu. Yaitu ketika Juni 1990 Buya bersama Sekjen PPP Matori Abdul Djalil diantarkan oleh Soelaiman Fadeli, Ketua DPW PPP Jawa Timur, untuk sowan ke Kiai As'ad Syamsul Arifin (kini almarhum), pimpinan Pesantren Salafiyah Syafiiyah di Situbondo. Seperti diungkapkan Soelaiman Fadeli kepada TEMPO, di sana tiba-tiba ia dan Buya diajak Kiai As'ad berbicara di dalam kamar. "Begini, lo, saya melihat dahi Pak Harto itu masih tetap cemlorot (bersinar) bintangnya. Bisa kelihatan itu," kata Soelaiman, menirukan ucapan almarhum Kiai As'ad waktu itu. Di kalangan pengikutnya, Kiai As'ad memang dikenal sebagai ulama yang mempunyai indera keenam. Tak aneh kalau bekas mustasyar (penasihat) PB NU itu pada masa hidupnya menjadi ulama yang paling disegani. Kemudian kiai sepuh ini berpesan agar mereka mencalonkan Pak Harto saja, bukan yang lain. "Bisa kiamat nantinya kalau terjadi rebutan jabatan," katanya. Selain itu, As'ad juga berpesan agar PPP bisa mengembalikan 90-an kursi yang pernah direbut partai itu dalam Pemilu 1982. Bahkan, sebelum wafat tahun lalu, Kiai As'ad sempat mengirim surat kepada Soeharto, meminta kesediaannya untuk menjadi presiden sampai tahun 2000. Surat itu sekarang oleh para santrinya dianggap sebagai wasiat sang panutan yang harus dipatuhi. Sejak saat itu, desakan agar PPP mencalonkan Pak Harto terus bermunculan. Bukan cuma kiai, tapi pengurus wilayah dan cabang cukup banyak yang mengusulkan hal yang sama. Ini tercermin ketika PPP melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional di Jakarta, Januari 1991. Di situ sejumlah DPW -- dimotori DPW PPP Jakarta -- mengusulkan agar Mukernas memutuskan pencalonan kembali Pak Harto. Tapi Buya menjawabnya secara hati-hati. "Ini merupakan investasi bagi kami, terutama nanti kalau kita akan mengambil keputusan formal," kata Buya, kepada TEMPO. Sang ketua umum ini meminta peserta musyawarah untuk menyerahkan soal itu kepada DPP saja. Keputusan formal dimaksud, dikatakan Buya, akan disampaikan DPP PPP melalui fraksi sekitar Sidang Umum MPR 1993. "Itu setelah kami minta persetujuan Pak Harto untuk dicalonkan," katanya. Karena itulah, dalam berbagai pernyataannya pertengahan tahun lalu, Buya mengecam kebulatan tekad untuk mencalonkan Pak Harto. Tapi kenapa pekan lalu justru pencalonan seperti model kebulatan tekad itu diumumkan Sekjen PPP Matori Abdul Djalil kepada pers? Ternyata, ada ceritanya. Yang pertama adalah desakan para kiai, cabang, dan pengurus wilayah PPP. "Saya sering mendapat telepon dari daerah-daerah karena PPP tak menunjukkan sikap," kata Buya. Ini terutama setelah ramainya pernyataan-pernyataan mendukung Pak Harto dari Kelompok 21 yang disponsori bekas Menko Kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara, atau kelompok para ulama Jawa Timur, yang dimotori dr. Saleh Al Djufri dan Kiai Misbah. Di luar soal waktu tadi, sebetulnya, menurut Buya, mereka sesama pengurus DPP PPP sepakat akan sikap itu. Kenapa? Selain keberhasilan Pak Harto menumpas PKI, menggerakkan pembangunan, sikap Pak Harto banyak yang menyenangkan PPP. Misalnya dalam soal pembuatan UU Perkawinan UU Peradilan Agama, UU Pendidikan Nasional, dan sebagainya. "Pembangunan begitu banyak masjid amal muslimin adalah atas jasa Pak Harto," kata Buya. Belum lagi pengiriman 1.000 dai ke daerah terpencil yang dibiayai yayasan yang dipimpin Pak Harto. Pak Harto sendiri menunjukkan dirinya sebagai seorang muslim yang baik ketika ia naik haji ke Mekah beberapa bulan lalu. "Ketika dulu asas tunggal digulirkan, orang mengira Pak Harto akan membawa negeri ini ke sekularisme. Ternyata tidak, sekarang umat Islam cukup diperhatikan," kata Matori Abdul Djalil. "Dalam pelbagai pembicaraan soal suksesi, nama yang kami temukan cuma Soeharto," kata Buya. Sekadar bukti, Buya menunjuk surat yang dibuatnya kepada Ketua DPW PPP Jawa Timur, agar membantu Kiai Badri Masduki dalam mengumpulkan tanda tangan para ulama dan kiai, seperti yang sudah disebut tadi. Surat itu dibuatnya Agustus lalu atas permintaan Kiai Badri sendiri. Belakangan, karena derasnya desakan tadi, pernah terpikir untuk mengumumkan kesepakatan mereka itu dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas), menjelang Pemilu. Tapi rupanya desakan kian keras saja, dan belakangan muncul problem lain. Sebuah sumber di DPP PPP mengungkapkan bahwa dalam tiga bulan terakhir di kalangan PPP dan sementara pejabat tinggi beredar isu bahwa PPP akan mencalonkan Sudharmono sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR mendatang. "Tak jelas dari mana asal isu itu, mungkin dari lawan politik saya," kata Buya. Belum cukup, ada pula bisik-bisik bahwa Buya sendiri yang akan mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk membantah kabar-kabar burung itu, Buya Ismail sempat menemui Menteri Agama Munawir Sjadzali. Malah, kabarnya, Buya sempat mengirim surat ke Presiden Soeharto yang isinya membantah isu-isu tadi. Tapi sampai di sini tampaknya sudah sulit bagi Buya untuk menunggu forum Mukernas untuk mengumumkan calon presiden. Sebab, sikap menunda-nunda itu bisa menyebabkan isu-isu tadi mendapatkan lahan yang subur untuk berkembang di tingkat massa di bawah, terutama di kalangan kiai-kiai pendukung yang sudah yakin calon yang terbaik bagi mereka adalah Pak Harto. "Mereka yang sudah bersemangat begitu bisa lari ke kandang lawan," ujar seorang tokoh PPP. Akhirnya, Buya dan para pendukungnya di DPP PPP sepakat untuk mengumumkan calon mereka, melalui Sekjen Matori Abdul Djalil. Tak berarti persoalan selesai semua. Entah mengapa, kepada wartawan Matori bukan cuma bicara calon presiden, tapi juga wakil presiden. Ia memang tak memberi nama tapi kriteria, bahwa katanya mereka menginginkan calon wakil presiden itu seorang ABRI yang masih aktif dari generasi setelah 1945. Padahal, yang sebenarnya, PPP belum memikirkan soal wakil presiden. "Kami tidak pernah membicarakan wakil presiden. Yah, kalau wakil kan banyak calon," kata Buya sambil tertawa. Yang penting, katanya, calon wakil itu harus bisa bekerja sama dengan presiden terpilih, sesuai dengan TAP MPR Nomor II tahun 1973. "Jadi, katakan saja itu pendapat pribadi Matori," kata Buya. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Matori menyebut-nyebut soal wapres itu karena permintaan seorang kiai juga, yang sulit ditolaknya, sebagai seorang santri NU yang baik. Tapi Matori membantah, "Tak ada angin dari mana-mana. Maksud disebutkannya calon wapres itu biar kami siap saja kalau ditanya siapa calon presiden dan wapres," katanya. Tapi kemudian Matori membenarkan bahwa kriteria wapres itu cuma pendapat pribadinya. Persoalan lain -- dan lebih gawat -- akan muncul manakala kelak ternyata Pak Harto tidak bersedia dicalonkan. Apabila itu yang terjadi, PPP bisa akan kehilangan pamor. "Kalau Pak Harto tak bersedia, akan kami pikirkan lagi calon lain," kata Buya. Agus Basri, Jalil Hakim, Iwan Qodar Himawan
No comments:
Post a Comment