Sunday, November 29, 2009

Pasang Surut Thariqah Al-Mu'tabarah

SM - Kamis, 24 Maret 2005

Oleh: Wahidin dan Ismail

SETIAP agama memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. Kenyataan ini dapat ditelusuri pada agama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Keagamaan yang bersifat mistik (mistisisme) dalam lslam diberi nama tasawuf dan oleh orentalis disebut sufisme.
Sufisme, sebagaimana mistisme dalam agama Iain, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari dari mistisime, termasuk di dalam sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi. (Dadang Kahmad: 2002). Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tarekat.
Tarekat secara harfiah berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tarekat sebagai sebuah jalan, dalam dunia tasawuf, banyak muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah, yaitu ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi semacam organisasi yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada wirid, zikir, tetapi pada masalah-masalah yang bersifat duniawi.
Dalam tasawuf, jumlah tarekat sangat banyak, tetapi kaum sufi mengelompokkan tarekat menjadi dua jenis, yaitu tarekat mu'tabar (thariqah yang mutashil (tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW), dan tarekat ghairu mu'tabar (thoriqoh yang munfashil (tidak tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad.
Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf sesuai dengan khittah ahlissunnah waljamaah. Dalam hal ini, NU membina keselarasan tasawuf Al-Ghazali dengan tauhid Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, serta hukum fikih sesuai dengan salah satu dari empat mazhab sunni.
Dalam kerangka inilah, Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) dibentuk, yaitu untuk memberikan sebuah rambu-rambu kepada masyarakat tentang tarekat yang mu'tabar dan ghairu mu'tabar.
Dari segi organisasi, Jatman secara de facto berdiri pada bulan Rajab 1399 H, bertepatan dengan Juni 1979 M. Tetapi, sebelum terbentuk Jatman, bibit organisasi tersebut telah lahir, yaitu Jam'iyyah Thariqah Al-Mu'tabarah. Kelahiran Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah tidak dapat dilepaskan dari
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-26 di Semarang. Tetapi, apabila dilihat dari segi ilmu dan amaliahnya, maka tarekat sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa agama Islam ke muka bumi. Nabi Muhammad menerima baiat dari malaikat Jibril, dan Jibril menerima dari Allah SWT.
Sebelum terbentuk Jatman, ulama-ulama Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aktif di dunia tarekat telah membentuk organisasi tarekat, dengan nama Jam'iyyah Thariqah Al Mutabarah. Pembentukan organisasi ini sebagai wadah untuk menetapkan tarekat-tarekat yang mu'tabar dan ghairu mu'tabar, sehingga umat Islam tidak terjebak dan salah dalam mengamalkan tarekat. Pembentukan organisasi ini sebagai langkah untuk menghindari gesekan atau perpecahan di tingkat grass root, akibat sikap fanatik yang berlebih-lebihan terhadap tarekat yang dianutnya. Hal ini dikarenakan kecenderungan pengikut suatu ajaran tarekat, dalam melakukan klaim kebenaran ajaran tarekat yang diikutinya.
Jam'iyyah Thariqah AI Mu'tabarah didirikan oleh beberapa tokoh NU, antara lain KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, Dr KH ldham Chalid, KH Masykur serta KH Muslih. Dengan tujuan awal untuk mengusahakan berlakunya syar'iat Islam dhahir-batin dengan berhaluan ahlussunnah wal jamaah yang berpegang salah satu dari mazhab empat, mempergiat dan meningkatkan amal saleh dhahir-batin menurut ajaran ulama saleh dengan baiah shohihah; serta mengadakan dan menyelenggarakan pengajian khususi/ tawajujuhan (majalasatudzzikri dan nasril ulumunafi'ah).
Jam'iyyah Thariqah Al Mu'tabarah pertama kali melakukan muktamar pada tanggal 20 Rajab 1377 atau bertepatan dengan 10 Oktober 1957 di Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang. Muktamar pertama diprakarsai oleh beberapa ulama dari Magelang dan sekitarnya, seperti KH Chudlori, KH Dalhar, KH Siradj, serta KH Hamid Kajoran. Pada muktamar pertama mengamanatkan kepada KH Muslih Abdurrahman dari Mranggen, Demak, sebagai rais aam.
Pada muktamar pertama. hal yang pertama dilakukan adalah memberikan bentuk serta pemahaman tentang thariqah aI-mu'tabarah. Dalam bahtsul matsail-nya, dibahas tentang definisi tarekat dan keanggotaan Jam'iyyah Thariqah Al Mu'tabarah, syarat dan kualifikasi seorang mursyid, khalifah dan badal, serta berbagai persoalan lainnya.
Dalam muktamar ini belum diputuskan tentang anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART), karena organisasi ini masih bersifat sebagai halaqah antara kiai-kiai yang mengamalkan tarekat. Sifat Jamiyyah Thariqah AI Mu'tabarah, sebagai sebuah halaqah masih tetap dipertahankan sampai Muktamar ke-5 yang berlangsung di Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 24-27 Rajab 1395 atau bertepatan dengan 2-5 Agustus 1975.
Gesekan Politik
Dari muktamar ke muktamar, KH Muslih Abdurrahman mendapat kepercayaan untuk memimpin Jam'iyyah Thariqat Al Mu'tabarah selama empat periode. Setelah itu, pada muktamar kelima yang diselenggarakan di Madiun, mengamanatkan kepada KH Musta'in Romly sebagai rais aam dan KH Anwar sebagai sekretaris aam. Di dalam periode ini, mulai muncul gesekan-gesekan dalam organisasi ini. Gesekan ini diakibatkan oleh adanya upaya depolitisasi yang dilakukan oleh Orde Baru, yaitu untuk menjinakkan organisasi massa. Orde Baru dengan mesin politiknya -Golkar- berusaha dengan sekuat tenaga agar jam'iyyah NU beserta neven-neven-nya dapat masuk ke sistem Orde Baru, sehingga NU yang pada waktu itu sebagai partai politik di paksa fusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dari persoalan itulah, maka sesepuh tarekat yang diprakarsai oleh KH Muslih Abdul Rahman, KH Turaichan Adjhuri serta KH Adan Ali mengajukan usul kepada sidang pleno syuriyah PBNU pada waktu Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, agar Jam'iyyah Thariqah tetap satu langkah, satu ittihad, dan tetap satu posisi dengan ahlus sunnah wal jamaah.
Seiring bergulirnya waktu dan dinamika organisasi, pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, secara tegas label "An-Nahdliyyah" dimasukkan ke dalam nama organisasi Jam'iyyah Thariqat AI-Mu'tabarah, hingga nama organisasi tarekat berdasarkan salah satu keputusan Muktamar NU ke-26 adalah Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabarah An- Nahdliyyah atau biasa disingkat dengan Jatman.
Berdasarkan salah satu hasil keputusan Muktamar NU ke-26 tersebut, maka penambahan "An-Nahdliyyah" pada Jam'iyyah Thariqah Al-Mu'tabarah secara resmi dilakukan. Hal ini sebagimana tertuang dalarn Surat Keputusan Pengurus Besar Syuriyah NU Nomor 137/ Syur.PB/V/ 1980.
Dalam kondisi masyarakat yang majemuk (plural), di mana sebuah ideologi terkadang menjadi momok di dalam menjalin hubungan antar sesama, terlebih bagi mereka yang berseberangan ideologi, maka sikap sektarian akan merugikan kelompok itu sendiri.
Demikian juga, untuk organisasi tarekat, apabila diperhatikan, organisasi tarekat yang berpaham ahlus sunnah waljamaah (aswaja) antara tahun 1957 - 1975 M, adalah organisasi yang merdeka, dalam arti tidak terkotak dalam sebuah frame organisasi.
Tetapi setelah tahun 1979, ketika organisasi tarekat berpaham ahlussunnah wal jamaah tersebut mencantumkan label "An Nahdiyyah", maka secara tidak sengaja telah membatasi diri pada sebuah ikatan ideologi organisasi, yaitu ideologi organisasi Nahdlatul Ulama (NU). (29)
-Ismail, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PW IPNU) Jawa Tengah. Wahidin, pengikut salah satu tarekat mu'tabarah (Thariqoh Dalailul Khairat).

Sosok Ulama Tarekat KH Asrori Al Ishaqi: Anak Macan Akhirnya Jadi Macan Juga

SM 20 Agustus 2009


Meninggalnya KH Asrori Al Ishaqi (58), menjadi berita duka bagi keluarga besar Pondok Al Fithrah dan jamaah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Tanah Air. Siapa sosok Kiai Asrori?

KARANGAN bunga duka cita dari sejumlah tokoh penting masih berdiri kokoh di pintu gerbang Pondok Assalafi Al Fithrah di Jalan Kedinding Lor 99 Kota Surabaya. Ada karangan bunga dari Presiden SBY, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Kapolwiltabes Surabaya Kombespol Ronny F Sompie, dan Wali Kota Surabaya Bambang DH.

Para petakziah pun terus berdatangan. Mereka langsung ziarah ke makam tokoh dan mursyid jamaah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, KH Asrori Al Ishaqi, di depan masjid pondok.

Gundukan bekas tanah galian makam masih terlihat basah. Hamparan karpet warna hijau dan sejumlah sekatan kayu lapis bercat putih yang diposisikan sekitar 5 meter dari makam berdiri. Kayu ini untuk membatasi barisan depan peziarah dengan lokasi makam Kiai Asrori.

Para pengurus atau pimpinan pondok pun masih larut dalam suasana duka. ”Masih suasana duka, tak ada wawancara  sampai tujuh hari sepeninggal Pak Kiai (Asrori),” ujar seorang santri usai shalat zuhur, kepada Suara Merdeka.

Berdasar referensi tertulis, Kiai Asrori adalah anak KH Utsman Al Ishaqi, sahabat KH Mustain Romli dari Pondok Darul Ulum Rejoso, Jombang. Nama belakang Ishaqi pada Kiai Utsman dinisbahkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman dinilai masih ada jalinan keturunan dengan Sunan Giri.

Sebagai Mursyid

Kiai Asrori adalah anak Kiai Utsman dan memiliki 13 saudara yang kini tinggal 9 orang. Kiai Utsman meninggal pada Januari 1984 pada usia 77 tahun. Kiai Utsman adalah santri KH Ramli Tamim, ayah KH Mustain Ramli.

Ketika Kiai Ramli Tamim masih hidup, ada 3 kiai yang dibaiat sebagai mursyid (pimpinan tarekat) Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, yakni KH Utsman Al Ishaqi Kedinding Lor Surabaya, KH Makki Karangkates Kediri, dan KH Bahri Mojosari Mokojerto.

Berdasar buku ”Politik Tarekat” yang ditulis Mahmud Sujuthi (2001), sepeninggal Kiai Utsman, estafet kepemimpinan lembaga tarekat dipimpin Kiai Asrori, saat usia baru 30 tahun.

Di bawah kepemimpinan Kiai Asrori, Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah berkembang dan memperoleh apresiasi dari banyak umat.  Ada kegiatan yang disebut khususiyah yang dihelat tarekat ini yang dihadiri rata-rata 4.000 orang di Pondok Al Fithrah.

“Yang menarik pengamal tarekat pimpinan Kiai Asrori adalah sebagian besar karyawan swasta, PNS, ilmuwan, dan tokoh penting pemerintahan. Di kalangan Tarekat Kedinding Lor yang berhak melakukan baiat kepada anggota baru adalah Kiai Asrori saja selaku mursyid, tak ada khalifah atau badal atau wakil mursyid sebagaimana tarekat Cukir Jombang dan Rejoso Jombang,” tulis Mahmud Sujuthi.

Sebagaimana anak kiai besar dan dihormati karena ilmunya yang tinggi, Kiai Asrori dalam menimba ilmu dan pengetahuan agama mengembara dari satu pondok ke pondok lainnya. Tapi, tempo mondoknya tergolong singkat. Kabarnya, Kiai Asrori pernah nyantri di Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang hanya setahun. Demikian pula di Pondok Pare Kediri dan Pondok Bendo juga setahun.

Anak Macan

Yang menarik, ketika mondok di Pondok Rejoso Jombang, Kiai Asrori tak aktif mengikuti ngaji. Namun itu tak membuat risau KH Mustain Ramli, pimpinan Pondok Rejoso. “Biarkan saja, anak macan kan akhirnya jadi macan juga,” kata Kiai Mustain Ramli.

Karena kepintarannya yang luar biasa, terutama di bidang ilmu agama, di kalangan kiai dan santri pondok, Kiai Asrori dinilai memiliki ilmu laduni  (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Dia memperoleh ilmu itu tanpa melalui proses belajar-mengajar yang wajar sebagaimana dijalani santri pondok pada umumnya.

Selama menimba ilmu di Pondok Rejoso itu, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum Al-Din karya Imam Al Ghazali dengan sangat baik. “Kalau saya bukan bapaknya, saya mau kok ngaji kepadanya,” ujar KH Utsman Al Ishaqi sebagaimana dikutip dari buku “Politik Tarekat” karya Dr Mahmud Sujuthi.

Karena kepintarannya itu, tak ada keraguan sedikit pun pada Kiai Utsman untuk menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan tarekat yang dipimpinnya kepada anaknya, Kiai Asrori. Kendati Kiai Asrori bukan anak laki-laki tertua dari 9 bersaudara.

“Kiai Asrori ulama tarekat yang luar biasa dan istiqomah menjalankan perannya itu dengan baik. Karena itu, semua fatwa dan pandangannya diikuti umatnya. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau,” kata Rois Syuriah NU Jatim, KH Miftakhul Akhyar.

Tarekat Qodiriyyah Wan Naqsabandiyah Kedinding Lor Surabaya di bawah pimpinan Kiai Asrori termasuk 3 lembaga tarekat besar di lingkungan NU. Dua lembaga tarekat lain adalah Tarekat Rejoso Jombang di bawah pimpinan KH Mustain Ramli dan Tarekat Cukir Jombang dengan pimpinan KH Adlan Ali.

Hakikatnya, ketiga tarekat itu awalnya bersumber dari satu wadah, yakni Tarekat Rejoso Jombang. Setelah KH Mustain Ramli merapat ke Golkar pascapemilu 1971 dan mendukung partai itu pada pemilu 1977, terjadi pembelahan tarekat di kalangan NU.

Yang berdiri berseberangan secara politik dengan Tarekat Rejoso adalah Tarekat Cukir di bawah pimpinan KH Adlan Ali. Tarekat Cukir ketika itu dekat dengan kalangan PPP dan Pondok Tebuireng Jombang di bawah pimpinan KH Yusuf Hasyim (Pak Ud).

Tarekat Kedinding Lor di bawah KH Utsman Al Ishaqi memisahkan diri dari Tarekat Rejoso di bawah mursyid KH Mustain Ramli bukan karena pertimbangan politik yakni masuknya Kiai Mustain ke Golkar. Tapi, karena Kiai Mustain menghapus KH Utsman Al Ishaqi dari silsilah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Rejoso.

Padahal, yang mengangkat Kiai Mustain sebagai mursyid adalah Kiai Utsman atas permintaan Nyi Djah, bukan langsung dari ayahnya KH Ramli Tamim.
Pada era 1970-an, komunitas tarekat yang identik dengan kalangan NU itu menjadi sasaran penguasa Orde Baru untuk dirangkul. Soeharto melalui Golkar berhasil merebut dan mengambil hati KH Mustain Ramli yang memimpin Tarekat Rejoso. Padahal, saat itu sebagian besar kiai, tokoh, dan warga NU merapat ke PPP. Sebab, partai ini dinilai sebagai satu-satunya partai yang mewadahi dan memperjuangkan aspirasi umat Islam dan berasas Islam pula.

Karena itu, kiai tarekat lain yang lebih dekat ke PPP mendirikan Tarekat Cukir dengan tokoh utama KH Adlan Ali dan didukung Pondok Tebuireng. Dalam perspektif politik, Tarekat Rejoso dan Cukir berada di posisi berseberangan. Di sisi lain, Tarekat Kedinding Lor berada di titik netral. Tak terikat dengan partai mana pun maupun menyandarkan diri di antara Tarekat Rejoso dan Cukir.

Dari sisi perilaku politik, Tarekat Rejoso bersifat adaptif kompromis, Tarekat Cukir bersifat antagonis, dan Tarekat Kedinding Lor bersifat kooperatif. Selain itu, dari sudut pola pemikiran, antara Tarekat Rejoso dan Kedinding sama-sama bersifat rasionalistik, realistik, dan substantivistik. Sedang Tarekat Cukir bersifat skripturalistik, idealistik, dan formalistik.

Cuma dari sisi afiliasi politik, antara ketiga tarekat itu berbeda-beda. Tarekat Rejoso merapat ke Golkar, Tarekat Cukir bersandar ke PPP, dan Tarekat Kedinding Lor berposisi netral. Karena sifat netralnya secara politik, Tarekat Kedinding Lor di bawah pimpinan Kiai Asrori memiliki hubungan dan jaringan yang luar biasa banyak dengan berbagai kalangan di tingkat nasional.

Kiai Asrori memiliki akses dengan pusat-pusat kekuasaan di Jakarta. Ketika Ibu Tien Soeharto wafat dan diperingati 100 hari kematiannya, Kiai Asrori yang memimpin tahlil akbar di Ndalem Kalitan Solo dan makam Astana Giribangun Karanganyar, Jateng.

Tapi, Tarekat Kedinding Lor tak pernah mengarahkan jamaahnya untuk memilih parpol tertentu pada pemilu, termasuk pada pileg dan pilpres 2009 lalu. Pondok Al Fithrah, selain dikenal sebagai mursyid Tarekat Kedinding Lor Surabaya, Kiai Asrori mewarisi peran ayahnya sebagai pengasuh ponpes. Pondok Assalafi Al Fithrah yang didirikan tahun 1985 bersama 3 santri Pondok Darul Ubudiyah Jatipurwo Surabaya, yakni Zainal Arief, Wahdi Alawy, dan Khoiruddin sekarang mengalami perkembangan pesat.

Pondok Al Fithrah kini memiliki 2.600 santri dan santriwati. Dari jumlah itu, 1.209 santri bersifat menetap dan yang tak menetap sebanyak 1.391 santri.  Pondok yang berdiri di atas lahan 4 hektare lebih itu, memiliki lembaga pendidikan di semua tingkatan, dari tingkat TK, MI, MTS, MA, dan STIU Al Fithrah.

Ada sejumlah kegiatan unggulan Pondok Al Fithrah dibanding pondok salaf lainnya di lingkungan NU. Di antaranya, jamaah maktubah, aura aurod, dan qiroatul Alquran. (Ainurrohim-77)

Pasang Surut Koalisi NU-Partai Golkar

SM - Rabu, 05 Mei 2004
Hubungan NU-Partai Golkar memang ibarat gelombang laut. Pasang surut. Kadang kontrodiksi, tapi di lain tempo bisa bergandeng tangan. Kebijakan NU kembali ke khittah 1926 sesuai hasil Muktamar NU di Ponpes Salafiyah Syafiíiyah Situbondo 1984 membuahkan berkah politik bagi Partai Golkar. Banyak politikus NU di PPP yang dikecewakan dan disingkirkan Ketua Umum PPP saat itu, HJ Naro mengambil garis demarkasi sangat tegas kepada partai Islam tersebut. Yakni, tak mendukung PPP dan bahkan menggembosi partai ini.
BENARKAH NU-Partai Golkar merajut koalisi politik untuk merebut jabatan presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Eksekutif 5 Juli mendatang? Pertanyaan besar ini masih belum menemukan jawabannya secara konkret dan pasti dalam konteks sekarang. Sebab, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi ternyata juga dipinang PDI-P mendampingi calon presiden (capres) Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Rekomendasi Halakah Nasional Alim Ulama NU di Surabaya pada 26-27 April lalu memberikan lampu hijau (green light) kepada orang pertama di PBNU tersebut untuk siap digandeng sebagai cawapres. NU secara jamaah selanjutnya mewajibkan kepada warganya menggunakan hak pilihnya dan mendukung pasangan capres-cawapres yang menggandeng Hasyim Muzadi. Halakah yang esensinya forum kajian ilmiah itu telah berbelok sebagai forum politik untuk mendukung seorang tokoh NU dalam struggle of power pada 5 Juli nanti.
Kini realitas politik mutakhir menunjukkan, ada dua kekuatan besar yang menginginkan Hasyim Muzadi, yakni Partai Golkar dan PDI-P. Kedua partai ini sebagai pemenang dan runner up Pemilu Legislatif 5 April lalu. Partai Golkar secara resmi telah meminang Hasyim Muzadi. Pinangan tersebut dilakukan Akbar Tandjung dan Wiranto. Sebelumnya, 27 April bertempat di Hotel Somerset Surabaya, dua petinggi Partai Golkar, Irsyad Soediro dan Ridwan Hisjam (Ketua DPD Partai Golkar Jatim) juga telah berdiskusi panjang lebar dengan tim Hasyim Muzadi di kamar 1401 Hotel Somerset. Intinya, Partai Golkar siap menjadikan Hasyim Muzadi sebagai "ban serep" capres partai ini, Jenderal (Purnawirawan) Wiranto.
Mungkin Saja
Mampukah NU-Partai Golkar mewujudkan koalisi? Jawabannya mungkin saja. Apalagi jika kita lihat dalam perspektif sejarah politik, hubungan NU-Partai Golkar mulai terjalin sejak konsolidasi rezim Orde Baru (Orba) Soeharto. NU bersama Partai Golkar dan TNI (dahulu ABRI) menanam saham besar bagi kelahiran Orba sebagai pengganti rezim Orde Lama (Orla) Soekarno. NU adalah kekuatan sosial kemasyarakatan yang ikut menumpas G30S/PKI terutama di Jatim dan Jateng. Selain perjuangan fisik, di lapangan politik NU memberikan kontribusi besar bagi kemunculan Orba sebagai aktor politik utama di Indonesia pada akhir dekade 1960-an. Pergeseran kebijakan NU ke arah anti-Soekarno mulai terlihat sejak Februari 1967. Adalah Nuddin Lubis, Ketua Fraksi NU DPR GR yang mengusulkan pemecatan Presiden Soekarno dan mengadilinya atas kemungkinan keterlibatannya dalam G30S/PKI. Usulan Nuddin mendapat dukungan politik dari senior-senior NU, seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Achmad Sjaichu, KH Dachlan, dan KH Bisri Sjansuri. Dan usulan Nuddin Lubis itu diterima DPR GR pada 9 Februari 1967 sebagai titik awal kejatuhan Soekarno.
Selanjutnya, seminggu kemudian anggota Fraksi NU lainnya, Djamaluddin Malik, mengusulkan Soeharto sebagai satu-satunya capres. Usulan tersebut diterima bulat pada 23 Februari 1967. Dan pada 12 Maret 1967, KH Masjkur, salah seorang pemimpin kelompok Islam mengusulkan kepada MPRS mencabut mandat Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pemangku jabatan presiden. Usulan tersebut disetujui dengan suara bulat yang berujung pada berakhirnya era kekuasaan Soekarno dalam ranah politik Indonesia dan dimulainya kekuasaan rezim Orba di bawah Soeharto.
Hubungan NU-Partai Golkar pada awal konsolidasi Orba memang berjalan lurus dan harmonis. Namun ketika konsolidasi kekuatan politik rezim Orba mulai menguat dan mantap dengan menjadikan Partai Golkar (dahulu Golkar saja) sebagai mesin politik utamanya, tibalah saatnya mereka mengerjai NU dengan berbagai cara. Pemilu 1971 dan Pemilu 1977 adalah bukti konkret bagaimana Golkar dan rezim Orba mengerjai kekuatan jaringan NU terutama di Pulau Jawa agar partai ini tak mendapat suara signifikan. Sebab, tinggal Partai NU yang memiliki infrastruktur politik paling lengkap selain Partai Golkar pada Pemilu 1971.
Intimidasi dan teror tak sekadar diarahkan ke warga NU, tapi sekaligus kepada tokoh ormas Islam tersebut. Sejak turunnya kebijakan fusi partai, NU melebur ke PPP dan memosisikan diri vis a vis dengan Partai Golkar. Kedua kekuatan sosial politik ini terlibat rivalitas sangat keras sepanjang pemilu Orba.
Di tengah-tengah hubungan tak harmonis NU-Partai Golkar, menjelang Pemilu 1977 di Jatim ada perkembangan politik menarik. Apa itu? Adanya seorang kiai dari trah NU yang memiliki pengaruh luas dan pondok pesantren besar masuk ke Partai Golkar. Kiai dimaksud adalah KH Mustain, pimpinan Pesantren Darul Ulum Jombang. Masuknya Kiai Mustain ke Partai Golkar memecahkan etos politik Islam dan saling menyalahkan antarpara kiai di kantong-kantong NU terutama di Jombang. Di daerah ini ada empat pesantren besar sebagai basis utama penggodokan pemimpin-pemimpin NU, yaitu Pesantren Tebuireng yang didirikan KH Hasyim Asyíari, Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah, Pesantren Denanyar di bawah pimpinan KH Bisri Sjansuri, dan Pesantren Darul Ulum Peterongan di bawah kendali KH Mustain.
Menurut pendapat Dr Endang Turmudi (2004), dukungan politik Kiai Mustain kepada Partai Golkar menyongsong Pemilu 1977 tidak saja menandai penyimpangan dan gangguan terhadap struktur sosial tapi juga menunjukkan dimulainya perpecahan antarkiai di Jombang. Yang kemudian diikuti konflik tersembunyi para pengikutnya. Konflik ini terjadi antarkiai NU yang mempertahankan afiliasi dengan satu-satunya partai Islam: PPP dengan Kiai Mustain dan rekan-rekan dekatnya yang berafiliasi Partai Golkar.
Ekses yang diterima Kiai Mustain akibat keberaniannya melawan pakem politik yang diyakini ketika itu adalah banyaknya pengikut tarekatnya yang hijrah ke tarekat lain. Saat itu, Kiai Mustain adalah pimpinan jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Perpecahan itu tak sekadar pada tataran ide dan afiliasi politik. Pada ranah jamaah tarekat juga terjadi pembelahan.
Nama jamaah tarekat baru di kalangan warga NU tersebut adalah Jamíiyah Ali Thariqah al-Muítabarah an-Nahdhiyah di bawah pimpinan KH Adlan Ali dari Cukir Jombang. Kiai Adlan Ali terpilih sebagai pimpinan baru jamaah tarekat ini setelah dibaiat dan diberi ijazah irsyad oleh KH Muslih dari Mranggen, Demak, Jateng.
Jamaah tarekat baru di keluarga besar NU ini dikukuhkan melalui muktamar NU di Semarang pada 1979. Tarekat pimpinan Kiai Mustain berpusat di Rejoso Jombang, sedangkian tarekat Kiai Adlan Ali di Cukir Jombang. Perbedaan afiliasi politik ini berpengaruh besar di akar bawah NU. Saat itu, muncul keragu-raguan di kalangan warga NU Jatim untuk mengirimkan anaknya ke pesantren pimpinan Kiai Mustain pascadukungannya ke Partai Golkar.
Ibarat Gelombang
Hubungan NU-Partai Golkar memang ibarat gelombang laut, kadang pasang kadang surut. Kadang kontrodiksi, tapi pada lain tempo bisa bergandeng tangan. Kebijakan NU kembali ke Khittah 1926 sesuai dengan hasil muktamar NU di Pesantren Salafiyah Syafiíiyah Situbondo 1984 membuahkan berkah politik kepada Partai Golkar. Banyak politikus NU di PPP yang dikecewakan dan disingkirkan Ketua Umum PPP saat itu, HJ Naro, mengambil garis demarkasi sangat tegas kepada partai Islam tersebut. Yakni tak mendukung PPP dan bahkan menggembosi partai ini. Dan, memang terbukti pada Pemilu 1987, suara PPP turun drastis terutama di Jatim dan Jateng. Kursi PPP di parlemen turun 30% lebih dari 90-an kursi hasil Pemilu 1982 menjadi 60-an kursi Pemilu 1987.
Saat itu, hubungan NU dengan Partai Golkar dan pemerintah tak begitu harmonis. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai pimpinan NU kerapkali melontarkan pernyataan kritis kepada pemerintah, khususnya menyangkut pendirian ICMI di Malang yang diimbangi Gus Dur dengan membentuk Forum Demokrasi (Fordem). Lembaga pimpinan Gus Dur ini menampung banyak aktivis demokrasi yang kerap bersuara kritis kepada pemerintah, Partai Golkar, dan ABRI (TNI saat itu).
Puncak ketegangan hubungan NU-Partai Golkar dan pemerintah terjadi pada Muktamar NU 1994 di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jabar. Gus Dur hampir saja kalah dalam perebutan jabatan ketua umum dari Abu Hasan yang sepenuhnya di-back up kekuatan eksternal.
Pascamuktamar Cipasung, hubungan NU-Partai Golkar dan pemerintah diselimuti banyak ketegangan politik. Pengurus PBNU hasil muktamar Cipasung tak pernah diterima secara resmi oleh Presiden Soeharto. Perkembangan politik tersebut adalah indikasi belum absahnya secara politik pimpinan baru NU di mata penguasa ketika itu. Proses islah NU-Partai Golkar dan pemerintah baru terwujud ketika digelar Mukernas V Rabithan Maíahid Islamiyah (RMI) di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, Jatim pada November 1996. Gus Dur ketika itu bersalaman dan bergandeng tangan dengan Presiden Soeharto.
Setelah itu, hubungan NU-Partai Golkar khususnya makin erat dan hangat. Pascasalaman Genggong, Gus Dur melontarkan pernyataan politik menarik bahwa Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) merupakan tokoh masa depan. Ada beragam penafsiran atas pernyataan Gus Dur tersebut. Satu di antaranya, Mbak Tutut merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan setelah Soeharto lengser.
Gus Dur-Mbak Tutut runtang-runtung menyambangi ke basis-basis NU terutama di Jatim dan Jateng. Bentuknya digelar istighotsah akbar, seperti terjadi di Sidoarjo (Jatim) dan Semarang (Jateng). Saat itu, Gus Dur menyatakan dia hanya menyediakan panggung untuk Mbak Tutut dan Partai Golkar yang dia pimpinnya. Tak ada maksud menggembosi PPP. Uniknya, istighotsah akbar banyak digelar di kawasan-kawasan yang menjadi basis utama NU dan kantong suara PPP, seperti Pekalongan, Kendal, Jepara, Demak, Semarang, dan Tegal (Jateng). Lalu, Pasuruan, Probolinggo, dan Sidoarjo (Jatim).
Kini, menjelang Pemilihan Eksekutif 5 Juli, NU kembali diajak berkoalisi dengan Partai Golkar. Kali ini jabatan yang diperebutkan sangat strategis: presiden dan wapres.
Hasyim Muzadi telah dipinang Partai Golkar untuk berduet dengan Wiranto. Koalisi NU-Partai Golkar adalah sintesis politik antarkekuatan yang berbeda "jenis kelamin". Partai Golkar adalah orsospol, sedangkan NU ormas Islam.
Bisakah koalisi ini terajut tanpa keterlibatan PKB sebagai sayap politik NU. Pernyataan KH Yusuf Hasyim di sela-sela halakah nasional alim ulama NU di Surabaya saat ditanya Suara Merdeka layak disimak. Putra bungsu KH Hasyim Asyíari itu mengemukakan, "PKB jangan merasa menjadi solo agent (agen tunggal) dalam capres-cawapres yang melibatkan tokoh NU. Cawapres NU tak harus melalui PKB, karena yang diminta adalah tokoh NU. PKB tak berhak melarang dan di sini tak perlu ada yang tersinggung." (Ainur Rohim-78j)

Tarekat Muhammadi Diharapkan Menjadi Model di Indonesia

SM - Selasa, 29 Maret 2005
PEKALONGAN-Tasawuf Muhammadi diharapkan dapat menjadi model tarekat yang dikembangkan di Indonesia. Konsep itu telah dicontohkan Nabi Muhammad, yaitu dengan tidak hanya membangun spiritualitas umatnya, tetapi juga membangun bangsa dan negara.
Nabi Muhammad menunjukkan, mendekati Allah pun juga harus berkarya dalam masyarakat, peduli terhadap kaum dlu'afa, dan mustad'afin, serta melakukan amar makruf nahi munkar . Sebab itu, ketika Rasul dalam peristiwa Isra Mikraj telah sampai kehadirat Allah, tetap kembali ke dunia untuk membangun dunia ini.
Demikian dikatakan Prof Dr Amin Syukur, dosen Fakultas Ushuludin, Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, dalam seminar nasional ''Peran Thariqah dalam Membangun Nurani dan Perekat Persatuan Bangsa'', di aula STAIN Pekalongan, kemarin. Selain Amin Syukur, seminar itu juga menghadirkan Sekjen Depag Prof Dr Faisal Ismail MA dan Prof Dr Abdurrahman Mas'ud, dosen IAIN Semarang.
Sementara itu, Sekjen Depag Faisal Ismail mengatakan, tarekat berfungsi sebagai metode pembinaan spiritual dalam bingkai agama Islam yang oleh banyak orang sering dijalankan secara formal dan kehilangan esensinya. Ibadah yang mereka jalankan tak mampu difungsikan dalam rangka amar makruf nahi munkar.
Tahapan pertama yang harus dilalui seorang murid tarekat adalah tobat, yakni menyadari kekeliruan yang pernah dilakukan dan tidak mengulanginya. Tobat menjadi keharusan bagi setiap individu, sebab semua orang tak luput dari kekhilafan.
Muktamar X Jamiyyah Ahlith Thariqah Almutabarah An Nahdliyyah tidak hanya mengundang perhatian umat muslim. Umat nonmuslim juga mengharapkan kegiatan itu bisa memberikan manfaat bagi perdamaian di muka bumi. Uskup MGR Yulianus Sunarka dari Keuskupan Purwokerto mengaku terkesan atas kegiatan muktamar yang dibuka oleh Presiden SBY tersebut. (G16,A15-69t)

''Mohon Doa, Suami Saya Sedang Terkena Stroke''

SM - Rabu, 03 Nopember 2004

''MOHON doa Kiai, suami saya sedang terkena stroke.'' Begitu kata Nyonya Suwandi (50), seorang anggota jamaah yang akan mengikuti pengajian hari Selasa, kepada gurunya, Kiai Muhammad Asnawi (53). Wanita itu mampir ke rumah pembimbing spiritualnya untuk membayar zakat sebelum dia bermujahadah di Masjid Al Itikaf, 20 meter dari rumah kiai tersebut di RT 5 RW 2 Kelurahan Jaraksari, Wonosobo.
Mengadukan masalah pribadi atau keluarga, seperti yang dilakukan Nyonya Suwandi, kepada kiai menjadi hak setiap anggota jamaah Tarekat Naqsyabandi Kholidiyah.
Tidak hanya ketika mempunyai masalah kedekatan antara kiai dan santri dapat terjalin. Setiap selesai pengajian, setiap santri diberi kesempatan berdialog dengan sang kiai.
Dari situlah kedekatan antara Kiai Asnawi dan para santrinya yang hampir semua berusia senja terbangun. Tidak mengherankan jika puluhan santri yang datang ke rumahnya kemarin pagi dikenal dengan baik oleh sang kiai. Nama, alamat, keluarga, dan masalah mereka diketahui oleh Kiai Asnawi melalui silaturahmi bertahun-tahun.
Rata-rata pengikut tarekat itu telah mengaji di Jaraksari lebih dari sepuluh tahun. Seorang santri yang menjadi anggota jamaah sejak lima tahun lalu oleh Kiai Asnawi dikatakan masih pemula.
Dari Luar Kota
Para manula yang mengikuti pengajian di Masjid Al Itikaf berasal dari berbagai wilayah kecamatan di Wonosobo. Ada juga beberapa santri dari luar kota, seperti Temanggung dan Purworejo.
Pengajian jamaah Tarekat Naqsyabandi Kholidiyah diselenggarakan seminggu dua kali, setiap Selasa dan Jumat.
Menurut Kiai Asnawi, meskipun materi pengajian yang diajarkan dan diamalkan sama, santri yang datang pada Jumat tidak akan datang pada Selasa.
Sebaliknya, mereka yang biasa mengikuti pengajian hari Selasa tentu Jumatnya tidak datang.
Hal itu karena waktu yang dimiliki para manula itu terbatas. Mereka kebanyakan bekerja sebagai petani dan tinggal jauh dari Jaraksari. Untuk bisa mengikuti pengajian seminggu sekali saja mereka harus menyisihkan waktu yang tidak sedikit.
Setiap seusai pengajian, anggota jamaah akan mendapatkan air putih. Yang percaya, air itu dapat dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan, misalnya untuk menyembuhkan penyakit.
Kiai Asnawi mengatakan, air yang dibawa pulang oleh jamaah adalah air yang telah mengandung doa. Yakni, doa dari semua anggota jamaah yang dilakukan saat mereka mengaji.
Pada Ramadan tahun ini pengajian Selasa dan Jumat akan berakhir pada 25 Ramadan bertepatan dengan Selasa Kliwon. Sesudah itu, empat hari yang tersisa sebelum Hari Raya Idul Fitri akan dimanfaatkan oleh Kiai Asnawi dan warga sekitar untuk membersihkan masjid. (Tri Widayat-76e)

Pemerintah Janji Tangani Dideportan Secara Baik

Senin, 06 Desember 2004 | 11:39 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab mengatakan pihaknya akan menangani secara baik warga Indonesia yang dideportasi dari Timor Leste. Hal ini disampaikannya sebelum mengikuti rapat koordinasi Kesra, Selasa (7/12) di kantor Mekokesra.

Alwi menjelaskan, dalam proses pemulangan diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman, antara pemerintah Indonesia dengan Timor Leste dan mereka yang dipulangkan. Data yang ada pemerintah Timor Leste, terdapat 238 warga Indonesia dan masih ada lima orang yang tinggal di Timor Leste. Menurut Alwi, pendeprotasian ini memang sesuai dengan ketentuan keimigrasian. "Dimana-mana jika ada warga asing yang tidak punya izin tinggal, hal itu (pendeportasian) pasti terjadi," ungkapnya. Namun, Alwi menegaskan, "Bagi kami di Kesra yang penting mereka sampai ke tanah air dan ditangani secara baik," katanya.

Untuk menangani mereka, Menko Kesra telah mengirim beberapa staf dari Dinas Sosial untuk memeriksa tempat tinggal baru yang akan mereka tuju. Rencananya, pemerintah akan membawa mereka ke Langkat, Sumatera Utara. Hal ini merupakan permintaan mereka sendiri. "Inikan hak asasi orang, jika ingin kembali tempat keasalnya (ke Langkat) atau ada yang menampung," jelasnya.

Selain dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan juga akan diturunkan guna memeriksa atau memberikan bantuan medis kepada mereka. Rencananya menteri kesehatan akan datang ke tempat penampungan memeriksa kondisi mereka.

Saat ini mereka yang merupakan kelompok tarekat naksabandiah, ditampung di Pondok Kelapa Jakarta. Mereka akan diberangkatkan ke Langkat, setelah Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan memastikan kondisi mereka baik. "Jangan sampai mereka terlantar," ungkap Alwi.

Mengenai barang-barang (harta benda) mereka yang masih tertinggal di Timor Leste akan ditangani oleh Departemen Luar negeri. Mengenai anggaran pemulangan, Alwi mengaku tidak tahu persis jumlahnya.

Sunariah-Tempo



Keresahan sebuah tarekat


Majalah Tempo 20/XV 13 Juli 1985


Tarekat tijaniah yang dalam wadah nu dihebohkan keabsa hannya oleh sebagian besar pbnu. peringatan wafat syekh tijani di blado wetan dimanfaatkan untuk menjelaskan masalah.(ag)
INI kelanjutan dari sedikit pergolakan tarekat dalam tubuh NU: masalah Tijaniyah, aliran yang banyak dipertanyakan keabsahannya. Dalam kongres ke-6 ahli tarekat NU (Jam'iyah Ahlith Thariqatil Mu'tabarah an-Nahdliyah) akhir Desember tahun lalu di Probolinggo, Jawa Timur, yang merupakan bagian dari Muktamar ke-27 NU, sekitar 200 kiai kembali memperbincangkan tarekat ini.

Memang, dalam sidang itu, suara-suara yang menginginkan "dipecat"-nya aliran ini tidak berhasil menang. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa Tijaniyah, betapapun, telah dianggap sah dalam Muktamar NU ke-26 di Cirebon, 1931, yang sidangnya kebetulan diketuai K.H. Hasyim Asy'ari sendiri, pendiri NU dan tokoh yang berwibawa (TEMPO, 22 Desember 1984).

Tapi sejak itu "kegelisahan sekitar Tijani", teperhatikan lagi. Dari kalangan Tijani sendiri, Sabtu lalu terlihat kegiatan cukup besar. Sekitar 15 ribu orang membanjiri kompleks pesantren Nahdlatut Thalibin di Blado Wetan, Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Malasan, Probolinggo.

Bukan karena acara unjuk gigi. Hari itu, 17 Syawal, memang hari peringatan wafat (haul) Syekh Tijani yang kebetulan dipusatkan di situ. Di situ pula para umat dengan khidmat mendengarkan ceramah tentang riwayat Syekh Tijani dan keutamaan Tarekat, yang disampaikan K.H. Ismail Qamaruz Zaman dari Garut, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Muhdlar dari Bondowoso (simpatisan, bukan orang Tijani), dan K.H.Muhlas, pimpinan pondok Nahdlatut Thalibin. Yang terakhir ini adalah tuan rumah dan pimpinan Tijani Jawa Timur.

Hanya, tidak seperti haul-haul sebelumnya, peringatan kali ini - mungkin karena TiJani selalu dihebohkan - dimanfaatkan pula untuk pertemuan para muqaddam (pendahulu, pemuka, pembuka jalan) Tijani se-Jawa dan Madura. Acara yang diselenggarakan di tempat kediaman K.H. Muhlas itu antara lain membicarakan kritik-kritik tersebut.

Kritik paling formal agaknya yang dilontarkan pertengahan Februari lalu. Risalah NU Jawa Timur, Aula, menurunkan sebuah artikel di rubrik Aqidah Syan'ah mengenai keabsahan Tarekat Tijaniyah. Penulisnya K.H. Anas Thahir Syamsuddin, penanggungjawab majalah itu, mengupas segi-segi negatif Tijaniyah dalam tulisan yang berjudul "Meninjau Keabsahan Tarekat Tijaniyah".

K.H. Anas antara lain mengutip perkataan Syekh Tijani ini: "Dua tapak kakiku di atas leher semua wali, sejak Adam sampai ditiupnya sangkakala (kiamat)."

Juga, menurut Syekh Tijani, pendiri aliran itu, "Umur semua umat manusia akan lenyap tiada berarti sama sekali, kecuali pengamal selawat al-fatih lima ughliq (salawat kaum Tijani)."

Lagi, seperti ditulis K.H. Anas, 47, kaum Tijani menganggap, "Semua zikir, doa, salawat yang dibaca orang di luar Tijani, andai diamalkan selama seratus tahun dan setiap hari seratus kali, kemudian pahalanya dikumpulkan, semuanya tak bisa menandingi pahala satu kali saja bacaan salawat al-fatih lima ughliq." Dan "Sekali saja membaca al-fatih lima ughiiq, pahalanya bisa menandingi enam ribu kali khatam Quran."

Karena itulah layak jadinya bila, "Kelak di hari kiamat Allah taala tidak akan menghisab (menghitung amalan dan dosa) kaum Tijani tidak meneliti mereka, tidak menanyakan perbuatan yang telah mereka lakukan." Artinya, langsung masuk ke surga. Pada tulisannya, K.H. Anas, murid K.H. Ali Maksum itu, menggunakan berbagai kitab rujukan kaum Tijani. Tentu saja, persoalan menjadi hangat. Para pengikut Tijani yang kebetulan berlangga-nan majalah NU JaTim yang beroplah 7.000 itu terlihat gelisah.

Seorang tokoh Tijani dari Probolinggo, H.A. Fauzan Fathullah, malah perlu menulis sebuah diktat 17 halaman, berisi sanggahan, yang kemudian di sebarluaskan terutama ke seluruh pengikut. Heboh Tijani semakin santer. "Tapi yang untung justru kami," kata K.H. Muhlas, 55. Sebab, "Orang lalu ingin tahu banyak tentang Tijani."

Tentang doktrin "masuk surga tanpa hisab", menurut Muhlas. "Nabi sendiri menjamin, siapa saja yang di akhir hayatnya mengucap 'la ilaha illallah', akan masuk surga." Nabi juga berkata," sepertiga umatku akan masuk surga tanpa hisab." Tentu saja, Nabi tak pernah mengatakan bahwa mereka itu kaum Tijani.

Masih ada lagi tentang salawat al-fatih lima ughliq. "Kita tahu," kata Muhlas, "membaca salawat tidak banyak risikonya sebagaimana membaca Alquran, yang harus tahu tajwid, makhraj, dan sebagainya. Padahal, pahala membaca salawat itu dijamin pasti dapat." Jadi, persoalannya bukan salawat itu lebih utama dari Alquran. Ini kedengarannya seperti keterangan untuk orang yang membaca risalah K.H. As'ad Syamsul Arifin, Wudhuhud dalalah (penjelasan argumen), yang ada mengatakan bahwa aliran Tijani cenderung menyepelekan Alquran.

Tapi yang terpenting dalam hal Tijani ialah masalah sanad - "persambungan" sebuah tarekat "dengan Nabi", sebagaimana yang dipercayai kalangan ini. Menurut Muhlas, Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani, yang lahir di 'Ain Madli, Aljazair, 1150 H, dan meninggal di Fez, Marokko, 1230 H (tokoh peralihan abad XVIII-XIX M), mendapat talkin tarekat dari Nabi Muhammad sendiri - "bukan talkin dalam mimpi", seperti lazim dituduhkan orang. "Ini talkin 'iyaanan yaqdhatan (terang-terangan dan dalam keadaan bangun), atau talkin barzakhi. Jadi, kata Muhlas, sanad Tijani asli dari Nabi, tidak terputus. Apakah Anda percaya, itu soal lain.

Betapapun, Muhlas mengharap kepada para ulama NU atau para ahli tarekat mu'tabar NU agar tidak usah mengungkitungkit persoalan yang sudah disahkan para ulama pendahulu NU. "Sebab, ilmu ulama kini masih belum sebatas ilmu yang dimiliki ulama seperti K.H. Hasyim Asy'ari."

Itu pula sebabnya, dalam pertemuan tertutup di antara para muqaddam yang sudah disebut, menurut sumber TEMPO, antara lain dibicarakan perlunya mengirim surat kepada PB NU untuk segera menyelesaikan masalah itu. Selain itu, dirasa perlu memberikan kitab-kitab Tijani kepada para ulama yang belum tahu betul aliran itu.

Tapi ketika hal itu dikonfirmasikan dengan K.H. Muhlas, pemimpin pondok yang ditempati pertemuan itu, ia tidak langsung menjawab. "Memang, ada pemikiran seperti itu. Tapi selalu saya tolak," katanya. Mengapa? "Saya takut suul adab (buruk tingkah). Kalau NU yang memanggil kami, ya, kami akan patuh dan datang."

Lebih-lebih rais am NU, K.H. Achmad Siddiq, tak melibatkan diri dalam soal itu. Bahkan, menurut sumber TEMPO, beberapa waktu lalu ada tokoh Tijani yang datang kepada Achmad untuk minta petunjuk. Achmad Siddiq, kata sumber itu, kemudian memberikan pengarahan agar Tijani tetap berjalan sesuai dengan ajarannya.

Itulah sebabnya, keputusan rapat para muqaddam mengenai soal itu hanya berbunyi: Bersedia dipanggil PB NU untuk memusyawarahkan heboh Tijani. Dan itu kebetulan sejalan saja dengan bunyi rekomendasi kongres ke-6 ahli tarekat NU yang sudah disebut - yang minta PBNU meninjau kembali keputusan Muktamar NU ke-6 di Cirebon, 1931, yang menerima aliran Tijaniah itu.

Choirul anam

Jawa bukan minang

Majalah Tempo
Wawancara dengan dr. taufik abdullah tentang kemungkinan timbulnya "semangat kepercayaan" di minang. perang padri digambarkan sebagai perang antara islam lawan islam dan raja hanya merupakan simbul. (ag)
MASALAH kepercayaan pada umumnya memang terbatas pada masyarakat Jawa Tengah dan Timur. Tidak mungkinkah semangat kepercayaan akan bangkit di Minang - meminta untuk dimerdekakan? Sebagai perbandingan sekali lagi Dr. Taufik Abdullah dari Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LIPI) memberikan wawancara dan berikut ini ringkasan:

Tonggak terpenting dalam sejarah Minangkabau adalah Perang Padri. Orang sering salah sangka: mengira Perang Padri perang antara kaum Islam dengan kaum adat. Yang benar ialah: perang antara Islam lawan Islam, dan di sini antara faham Islam yang baru dengan yang lebih baru. Baru dalam arti murni orthodox. Inilah bedanya Minang dari Jawa: di Minang masalah aqidah (keimanan) mendasari krisis sosial, dan diselesaikan dengan perang. Di Jawa tidak.

Sebenarnya orthodoxi pemurnian agama sudah ada menjelang akhir abab 18 di Minangkabau. Tuanku Nan Tuo ini, guru sendiri membereskan tarekat-tarekat Syattariah dan sebagainya ke arah yang lebih mengikuti syara. Lalu datanglah Imam Bon ol dan tokoh-tokoh yang baru pulang dari Mekah dan mendapat pengaruh gerakan Wahabi yang keras itu.

Yang mereka tuju pertama kali-justru surau Tuanlku Nan Tuo ini, guru sendiri. Mereka misalnya menuntut dilarangnya kebiasaan makan sirih atau merokok. Dan Tuanku sendiri akhirnya dituduh kafir. Lalu sebagai simbul mereka membakar rumah adat. Lalu mulai perang desa dengan desa, negari dengan negari.

Perang berlangsung 20 tahun. Pada satu titik kemenangan. penghulu-penghulu adat mereka ganti dengan kadi dan imam. Dengan ini mereka merobah sistim sosial adat. Tapi ini hanya berlangsung 3 tahun. Sesudah itu imam tetap ada tapi penghulu yang berkuasa ketika di tahun 1827 Belanda mulai ikut-ikutan campur tangan. Imam Bonjol mengajak para penghulu untuk menentukan sikap. Tapi para penghulu berdebat sama sendiri: ada yang mau perang, ada yang mau menyerah. Imam Bonjol akhirnya pergi - dia tidak kuasa....

Proses orthogenetik dalam hal Islam (menganggap Islam sebagai budaya sendiri) sebenarnya sudah ada sebelum para pembaharu itu. Kosmogoni adat Minang sendiri sangat bersifat tarekat: ketika belum berbelum, adat sudah ada juga . . . Adat ini identik dengan Nur Muhammad, lewat mana Tuhan berkata: Kun! -- fa yakun (Adalah! --maka adalah). Konsep ini bisa dicari hubungannya dengan tarekat Syattariah atau yang semacam yang juga berkembang di Jawa.

Definisi Minang terhadap dirinya adalah: negeri yang beradat dan beragama. Dalam kata adat sendiri sudah masuk pengertian agama. Beberapa waktu yang lalu semboyannya adalah: Adat bersendi syara, syara bersendi adat . Kemudian berobah menjadi. Adat bersendi syara, syara bersendi Kitabullah . Sekarang ini, lebih mungkin seorang Minang tidak tahu adatnya daripada tidak tahu Islam. Definisi diri seorang Minang: pertama-tama dia adalah Islam. Jadi tak mungkin terjadi kasus seperti di Jawa.

Satu faktor yang sangat menentukan adalah sistim politiknya. Di Jawa berkembang dengan baik sistim kerajaan patrimonial: penguasa daerah ditentukan legitimasinya oleh pusat, apa yang terjadi di daerah dipertanggungjawabkan ke pusat, dan raja adalah pusat dunia. Di Minang raja hanya simbul. Tiap negeri hakikatnya independen: bisa orientasi apa saja, tak ada yang kontrol. Karena itu tak ada pusat pautan seperti di Jawa.

Bila Tarekat Mengurus Begini dan...

Di Pesantren Buntet, Mertapadakulon, Cirebon diadakan pertemuan jemaah tarekat Tijaniyah. Syekh Ahmad Tijani diangkat sebagai wali tertinggi. NU belum begitu akrab merangkul jemaah Tijaniyah.
SPANDUK "Selamat Datang" dipasang di gerbang. Umbul-umbul merah, biru, kuning berderet di jalan setapak sepanjang 300 meter. Jumat sore itu masih sepi. Tapi di masjid, sekitar 25 orang berpeci bersimpuh melingkar.

Seorang kiai,.K.H. Fahim Hawi, meraih corong pengeras. Lalu pelan-pelan mengalun ia istigfar, disusul salawat Nabi. Bersamaan dengan lewatnya kereta Turusan Kroya, membahanalah dikir yang khusyuk, tapi kencang: Lailahaillallah ... lailahaillallah. Dan ketika senja memerah, irama pun merendah. Lalu senyap.

Sabtu dan Ahad 10-11 Oktober, Pesantren Buntet di Mertapadakulon, Cirebon, punya hajat besar. Acara tersebut dinamai Ied al-khatm li al-quthb al-maktum al-Tijani. Artinya, Hari Pengangkatan Syekh Ahmad Tijani menjadi wali tertinggi.

Ini bukanlah acara di kalangan mereka sendiri. Tapi hajat seluruh penganut Tarekat Tijaniyah, yang anggotanya dari seluruh Indonesia. Sebuah pertemuan yang menurut Fahim Hawi diharapkan, "bisa menghilangkan salah paham terhadap tarekat ini."

Ternyata, lain. Setelah tahu, malah pengurus NU ada yang seperti kaget. "Oh, mereka jadi berkumpul di Buntet, to?" tanya rais am Syuriah NU, K.H. Ahmad Sidiq. Dan ia memang mengernyitkan kening, kemudian. Kenapa?

Di NU, keberadaan Tijaniyah rupanya tak mulus diterima. Di tahun 1930, misalnya, terjadi peristiwa Buntet-Benda. Yakni perselisihan antara Pesantren Buntet yang Tijani dan Pesantren Benda yang anti-Tijani.

Pada waktu yang sama, di Tebuireng, seorang guru asal Mesir, Syekh Ahmad Ghonaim, juga menyerang, gara-gara ada suara "jaminan surga" dari pimpinan tarekat itu kepada pengikutnya. Kebalikannya, yaitu ketika Muktamar NU ke-6 di Cirebon, Agustus 1931. Pertemuan itu dipimpin sendiri oleh (Almarhum) K.H. Hasyim Asy'ari, dan menepis semua gugatan tadi. Tijaniyah tetap dinyatakan sebagai tarekat yang sah, yang mu'tabarah.

Ganjilnya muncul lagi. Sewaktu Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 1984, serangan pada Tijaniyah kembali menghangat. Adalah Kiai As'ad (bukan Syamsul Arifin) dari Pondok Kramat, Pasuruan, sekonyong mengungkit agar status Tijaniyah ditinjau lagi. Alasannya, menurut dia, golongan Tijaniyah itu "sesat".

Ini semua gara-gara mereka, di antaranya, mendakwah, "Siapa yang masuk Tijaniyah dijamin masuk surga bersama keluarganya, tanpa hisab." Ucapan ini didasarkan pada pidato Kiai Badri Mashduqi, pada rapat akbar tarekat itu, 1984. Sedangkan tokoh Tijani di Probolinggo, Jawa Timur, yang suka pada gaya meledak-ledak itu, mengutip "fatwa" Syekh Tijani.

Kiai Badri mengaku sengaja berkata demikian untuk mengimbangi serangan bertubi-tubi dari kiai lain. Misalnya, dari sesepuh NU Kiai As'ad Situbondo. Kiai As'ad (yang Syamsul Arifin) ini menerjemahkan kitab Wudhuh al-Dalail alias Kejelasan Argumentasi berisi kritikan pada Tijaniyah, ke bahasa daerah Madura.

Kiai As'ad Syamsul Arifin, menurut seorang ustad di pondoknya, justru melakukan itu lantaran Kiai Badri gencar menyerang yang non-Tijani. Tapi, akhirnya, dua ratusan kiai yang tergabung dalam himpunan ahli tarekat sah NU tetap tak jadi menggugurkan ke-mu'tabarah-an Tijaniyah.

Kini giliran Tijaniyah unjuk diri. Sekitar 6 ribu tamu hadir di pesantren pusat tarekat itu. Mereka mengenang Syekh Ahmad Tijani -- seorang Aljazair dari suku Tijan yang lahir tahun 1738. Syekh Ahmad inilah pendiri tarekat mereka, seorang yang pernah masuk di berbagai tarekat. Misalnya Qadiriyah, Nasiriyah, maupun Khalwatiyah.

Ahmad Tijani, menurut pengikutnya, mengaku pernah bersua fisik (tidak sekadar lewat mimpi) dengan Nabi Muhammad di Padang Sahara yang sunyi -- padahal kurun waktu hidupnya sudah beda. Pada pertemuan itu, katanya, Rasulullah mengajarkan wirid istigfar dan salawat -- masing-masing seratus kali -- dan bersabda: ia dipilih menjadi guru tarekat terbesar.

Pertemuan itu, begitu menurut anggapan mereka, merupakan pentahbisan oleh Nabi kepada Ahmad Tijani sebagai wali tertinggi -- lalu itu diperingati beramai-ramai di Cirebon. Para pengikutnya juga yakin bahwa Ahmad Tijani-lah yang diramal Ibnu Arabi dengan istilah khatm al-wilayah dalam buku al-Futuhat al-Makiyah. Bukan orang lain.

Tijani mementingkan dikir. Mereka mengelompokkan dikirnya menjadi tiga: Istigfar, salawat nabi, dan hail-lallah. Yang khas dan yang mereka pentingkan adalah salawat fatih lima ughliq atau pembuka bagi ketertutupan, dan salawat jauharat al-kamal alias esensi kesempurnaan. Gara-gara itu kemudian muncul tuduhan bahwa seolah salawat memang lebih penting ketimbang Quran maupun Hadis.

Beberapa ajaran Tijani dikecam penganut tarekat lain. Katanya, antara lain, pengikut Tijani tak boleh menziarahi makam para wali yang non-Tijani. Dikecam pula soal "jaminan surga" itu. Juga soal sembrononya Ahmad Tijani mengklaim diri sebagai wali terbesar. Dua hal pertama itu masih dilampiri catatan tambahan. Yakni larangan ziarah itu bila dengan niat bersandar pada mursyid (guru) lain, tak sekadar untuk bersilaturahmi. Sedangkan soal "jaminan surga", itu hanya bagi mereka yang mati dalam keadaan beriman.

Di Buntet inilah para tokoh Tijani berdatangan. Ada 23 mukadam -- tingkatan di bawah khalifah dan syekh -- pada berkumpul. Mereka setengah baya, berpeci, bersarung, duduk lesehan di karpet merah. Pertemuan diawali dengan al-Fatihah dan salawat fatih, dipimpin Kiai Muchlas Rowi.

Dalam pertemuan ini Kiai Badri mengusulkan agar dibentuk organisasi yang mengurus administrasi tarekat. Bahkan, kalau bisa, Muktamar Internasional Tijaniyah di Indonesia, seperti yang pernah berlangsung di Fez (Afrika) pada 1984. Lalu muncul perdebatan. Antara "kok tarekat mengurus begini" dan "kalau mau maju ya harus begini".

Akhirnya, disepakati untuk membentuk sekretariat di Surabaya. Sedang sesepuhnya, terpilih Kiai Baidlowi, 60 tahun, dan Kiai Muchlas Rowi, 57 tahun. Keduanya murid langsung Almarhum K.H. Muhammad bin Yusuf, penyebar Tijaniyah di Jawa Timur. Agaknya, murid langsung diutamakan, karena ada pula murid tak langsung, seperti Kiai Badruttamam dari Sampang, Madura, yang konon memperoleh "ijazah lewat mimpi", yang disebut talqin barzakhi.

Acara lain, diskusi. Antroplog Belanda Martin van Bruinessen, alias Abdul Ghafur, hadir. Ia justru menilai Tijani (juga Sanusi) yang berpengaruh di Afrika, sebagai gerakan pemurni tasawuf. Dan Tijaniyah pula yang memperjuangkan reislamisasi Turki, setelah negeri itu disekulerkan Kemal Attaturk, pendirinya. Ia juga menilai Syekh Ahmad Tijani juga tak ingin dikultuskan. Katanya, "Terimalah kata-kataku yang sesuai dengan syariat, dan buang yang tak sesuai."

Diskusi menghangat ketika Kiai Husein Muhammad, yang bukan Tijani, tampil. Dikutipnya penelitian Shabir Tha'imah dari Mesir yang membandingkan karya Ahmad Tijani Jawahir al-Ma'ani dengan karya Ibnu Arabi, al-Hallaj dan al-Jilli. Lalu simpulnya: Ahmad Tijani penganut paham wahdatul wujud pula. Mendengar ini, Kiai Badri tak tahan. Ia tampil membantah. "Itu tak benar. Rujukannya hanya sepotong-sepotong." Dan Hussein, tentu, ganti menangkis.

Bagaimanapun, NU belum sepenuhnya akrab merangkul jemaah Tijaniyah. Ketua Tanfidziah PB-NU Abdurrahman Wahid misalnya, belum lupa bahwa tarekat itu tak datang ketika diundang hadir dalam Muktamar Tharikat Mu'tabarah. Sedang tentang acara di Buntet, menurut dia, hanya untuk memupuk solidaritas, dan untuk legitimasi.

Sedang menurut K.H. Adlan Ali, mustasyar thariqah mu'tabarah NU, menyebut kaum Tijaniyah bisa diterima NU. Tapi ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. Katanya, "Ada apa, ya, kok mereka merasa perlu bertemu di Buntet segala?"

Tempo/Zaim Uchrowi, Ahmadie Thaha, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)

Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat Salat Idul Adha Hari Ini

Kamis, 26 November 2009 | 14:55 WIB
TEMPO Interaktif, Padang - Sekitar 3.000 jemaah tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat merayakan Idul Adha, Kamis (26/11) ini. Mereka Salat Idul Adha sehari lebih cepat dari yang ditetapkan pemerintah, Jumat (27/11).

Salah satu surau Naqsabandiyah, Surau Baru, di Kelurahan Cupak Tangah, Kecamatan Pauh, Kota Padang, memulai salat pukul 07.30 WIB. Puluhan jemaah Salat Idul Adha dipimpin Khatib Syah Badar dengan Imam Zahar.

Selesai salat di surau yang didirikan pada 1910 itu, mereka memotong hewan kurban di halaman surau tua itu. Ada tiga ekor kambing yang dijadikan hewan kurban.

“Hewan kurban tahun ini memang paling sedikit, karena kita baru saja terkena gempa. Jadi lebih banyak yang memilih memperbaiki rumah yang rusak dari pada membeli hewankurban,” kata Khatib Syah Badar, seorang Mursid Naqsabandiyah di Surau Baru.

Ia mengatakan Idul Adha ditetapkan lebih cepat dalam perhitungan penanggalan dalam satu bulan paling banyak sampai 30 hari, sehingga Ramadhan dan Idul Fitri bagi jemaah Naqsabandiayah juga lebih cepat.

Di Kota Padang, ada 50 surau Naqsabandiyah dengan jemaah sekitar 1.500 orang. Sementara di daerah lain, seperti Kabupaten Solok Selatan, Pesisir Selatan, Limapuluh Kota, Padang Pariaman, dan Pasaman, ada 50 surau lainnya dengan pengikut sekitar 1.500 orang. Di Sumatera Barat aliran Naqsabandiyah dibawa Syech M. Thaib pada 1806 dengan mendirikan surau pertama di Piai, Kecamatan Pauh.

Menurut Khatib Syah Badar, tarekat Naqsabandiyah menetapkan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, berdasarkan penanggalan sendiri dengan maksimal 30 hari dalam sebulan. ”Kami tidak mengubah peninggalan yang sudah ditetapkan pendahulu. Ini sesuai dengan Al-Quran,” ujar dia.

FEBRIANTI

Doa untuk Situs Qadiriyah

Tempo 04/XXXII 07 April 2003
 
Penganut tarekat di Jawa Timur menggelar doa akbar. Tempat-tempat bersejarah dan keramat di Irak memang terancam akibat perang.
MASJID dan makam Syeikh Abdul Qadir Jailani di Kota Bagdad kini dijaga ketat sejumlah tentara Irak bersenjata berat. Sejak awal Januari lalu, tersiar kabar bahwa Amerika Serikat dan pasukan koalisi telah menyiapkan rudal-rudal untuk melenyapkannya dari muka bumi. Hingga pekan lalu, masjid berkubah kuning keemasan dengan dua menara itu masih kukuh berdiri, sebagaimana dilaporkan wartawan Tempo Zuhaid el-Qudsy dari Irak.

Masjid dan makam sang sufi memang menyatu. Syeikh Abdul Qadir adalah sufi besar yang lahir di Provinsi Jailan, Iran. Ia dibesarkan dan wafat di Kota Bagdad pada 1166 (lihat Mawar dari Bagdad). Sedangkan masjid itu, yang termegah dan terkenal di Bagdad, dulunya Madrasah Qadariyah yang terkenal berhasil mencetak banyak ulama.

Tak jauh dari sana, masih di kawasan A’dhamiya, Bagdad, terdapat masjid makam Abu Hanifah, salah satu dari imam mazhab fikih dalam Islam. Masjid yang berkubah biru muda dengan satu menara itu masih terawat baik. Ditopang banyak tiang kukuh, masjid yang dibangun hampir seribu tahun lalu itu masih berfungsi penuh. Orang-orang ramai salat dan berziarah, setiap hari, kapan saja.

Kini, karena lokasinya berdekatan dengan kantor Gubernur Bagdad, tak pelak tempat bersejarah itu berada di wilayah rawan. Tak mengherankan bila mereka yang mempunyai ikatan emosional dengan tempat itu, terutama dengan Syeikh Abdul Qadir Jailani, ikut khawatir. Termasuk para pengikut tarekat di Indonesia, yang penganutnya kini diperkirakan 20 juta orang. Kelompok terbesar dari aliran Naqsabandiyah, Qadariyah, dan Saziliyah.

Lihatlah kecemasan penganut tarekat di Jawa Timur. Dua pekan lalu, Jam’iyah Ahl Al-Thariqah Al-Muktabaroh Al-Nahdliyah, organisasi payung tarekat-tarekat di Indonesia, menggelar acara doa akbar di Surabaya. Diikuti ribuan orang, mereka membaca doa qunut nazilah untuk keselamatan rakyat Irak. Mereka juga ”kirim” doa khusus yang berkait dengan Syeikh Abdul Qadir Jailani. Intinya, mereka tidak rela jika tempat keramat itu jadi korban perang. ”Kita tidak bisa tinggal diam, yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa,” kata Habib Luthfi, ketua umum organisasi tarekat tersebut, kepada Sohirin dari Tempo News Room, Jumat pekan lalu.

Doa di mata mereka punya kekuatan ampuh. ”Doa adalah senjata bagi orang mukmin,” kata Kiai Mustofa Bisri, ulama kondang dari sayap Islam tradisional Nahdlatul Ulama.

Berkat doa, menurut kiai yang mengikuti berita-berita perang AS-Irak ini, Pentagon, markas pertahanan AS, tak mampu menjelaskan penyebab rudal yang sudah diprogram dengan komputer canggih bisa nyasar. Juga penyebab pesawat tempur jatuh atau helikopter bertabrakan. Peristiwa baku tembak sesama pasukan koalisi AS dan sekutunya juga terasa aneh.

Namun kecemasan ini bukan cuma urusan pengikut tarekat. UNESCO, badan dunia di bawah PBB yang mengurusi pendidikan, sains, dan kebudayaan, akhir Maret lalu juga sudah memperingatkan Amerika Serikat agar menjaga warisan sejarah Irak yang unik. Di Negeri Seribu Satu Malam itu terserak sekitar 25 ribu situs arkeologi warisan Mesopotamia, Babilonia, dan Arab. Termasuk di dalamnya tempat bersejarah warisan Islam, antara lain Najaf dan Karbala, tempat suci kaum Syiah. Bagi kalangan tarekat, utamanya, ya, masjid dan makam Syeikh Abdul Qadir Jailani itu.

Kelik M.N.

Syekh Hisham: Gedung Putih Selalu Rayakan Idul Fitri

Tempo/Minggu, 14 Juni 2009 | 11:22 WIB
SyekhTEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama pada Kamis dua pekan silam melawat ke Timur Tengah. Dalam kunjungannya di Mesir, Obama mengajak umat di seluruh dunia berdamai dan membuka hubungan baru dengan Amerika. Bahkan ia berulang kali mengatakan perdamaian di Timur Tengah merupakan agenda utamanya.
pakah ini pertanda opini Amerika terhadap Islam, yang kerap dikaitkan dengan kekerasan, telah berubah? "Saya senang masyarakat Amerika Serikat sekarang tahu bahwa Islam bukan agama kekerasan," kata Syekh Hisham Kabbani, pemimpin Dewan Islam Amerika Serikat dan Sufi Muslim Council di sana.
Syekh Hisham, yang juga merupakan guru spiritual Tarekat Naqshbandi-Haqqani, pada akhir Mei dan awal Juni lalu mengunjungi Indonesia. Selama di Jakarta, dia menemui pengikutnya. Saat menggelar ceramah di Masjid Istiqlal, ia bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga sempat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Saya bukan politikus dan datang bukan untuk (memberikan) dukungan politik," katanya. Lahir di Libanon, 64 tahun silam, Syekh Hisham banyak berdakwah tentang Islam dari sudut pandang cinta, toleransi, perdamaian, dan saling menghormati. Ia mengembangkan ajaran sufi Naqshbandi-Haqqani di Amerika, Eropa, Timur Jauh, dan Timur Tengah.
Ia kerap mendampingi guru sekaligus mertuanya, Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani, ulama besar sufi yang merupakan tokoh Tarekat Naqshbandi-Haqqani tersohor dan paling dihormati pada saat ini. Syekh Hisham mengaku berguru kepada Al-Haqqani selama lebih dari 50 tahun masa hidupnya. Namun, ia sendiri adalah seorang dokter, ahli kimia, dan pakar hukum Islam.
Pada 1991, atas nasihat Al-Haqqani, Syekh Hisham pindah ke Amerika dan mendirikan cabang Tarekat Naqshbandi-Haqqani. Ia berhasil mengembangkan tarekat itu hingga memiliki 13 pusat pembelajaran. Dia juga mengajar sufi di University of Chicago, Columbia University, dan University of California, Berkeley.
Cita-citanya mewujudkan Islam yang damai di seantero dunia.
Lantaran itu, ia mendukung inisiatif perdamaian di Timur Tengah, Bosnia, Kashmir, Afganistan, dan Kosovo. "Islam itu agama yang mengusung perdamaian karena Islam itu damai," ujarnya.
Di sela-sela pertemuan dengan para pengikutnya--ditaksir di Indonesia ada lebih dari 10 ribu orang--dua pekan silam, Syekh Hisham menjawab pertanyaan Andree Priyanto dari Tempo seputar proses perdamaian yang tengah diusung Amerika Serikat saat ini. Lalu apa pula nasihatnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Berikut ini petikannya.

Apa tujuan Anda datang ke Indonesia?
Setiap tahun saya datang ke sini (Jakarta). Tujuannya bertemu dengan teman-teman dan komunitas muslim. Mengajar di sana dan sini. Bertemu dengan habib untuk membahas maulid Nabi. Hanya itu, lalu pulang. (Ia lebih dulu ke Malaysia dan Singapura sebelum akhirnya ke Indonesia. Belakangan, ia juga kerap ke Melbourne, Australia.)

Sejak kapan Anda mengunjungi Indonesia?
Sejak sebelum Anda lahir (tertawa). Sejak 1996.

Dalam sebuah forum terbuka Departemen Luar Negeri pada 1999, Anda pernah menyampaikan makalah bertajuk "Islamic Extremism: A Viable Threat to US National Security", yang menuai banyak kritik dari kelompok Islam di Amerika, termasuk Islamic Society of North America, CAIR, dan ICNA. Tanggapan Anda?
Saya tidak pernah bilang umat Islam itu ekstremis. Itu salah. Apa yang saya katakan, beberapa orang Islam yang tidak sekolah, mereka menerjemahkan beberapa hadis Nabi dan tafsir Al-Quran dengan cara yang berbeda, yang membuat mereka keliru dalam bertindak, dan membuat Islam serta umat Islam jadi sasaran serangan (kemarahan). Kita mestinya memberikan gambaran yang baik atas Islam dan umat Islam. Jadi itulah mengapa Barat dan Eropa tidak tahu bahwa Islam adalah agama yang mengusung perdamaian karena Islam itu damai. Islam adalah Islam. Jadi kita nggak boleh salah menerjemahkannya.
Jadi nilai-nilai bahwa umat Islam punya moral yang bagus sebagaimana diusung Islam disebutkan di dalam hadis dan Al-Quran, tak ada di buku mana pun. Jadi Islam itu besar dan mengajarkan agama Islam itu baik. Mengajarkan bahwa sarjana dan habib di negeri ini baik. Saya menghargai apa yang (Tarekat) kami sudah lakukan. Andaikata ada segelintir orang di negeri ini, atau di negara lain, di Timur Tengah, atau di mana pun juga, yang mengatasnamakan Islam memberikan pernyataan yang salah, di situlah masalahnya.

Apa yang Anda dan kelompok Anda lakukan kalau ada kelompok-kelompok seperti itu?
Kami mencoba bicara dengan umat Islam di tingkat akar rumput. Kami datangi mereka, rumah mereka, sekolah mereka, dan di sini (Indonesia) kami berkunjung ke luar Jakarta. Kami bicara dengan mereka secara langsung. Saya lihat mereka begitu damai dan mencintai perdamaian. Mereka memperhatikan keluarga mereka meskipun kehidupan mereka papa dan membutuhkan bantuan dari Departemen Sosial. Kami ambil gambar ini dan akan kami tunjukkan kepada Barat bahwa inilah umat Islam yang sesungguhnya. Umat Islam macam inilah yang semestinya didengar, bukan satu atau segelintir orang yang (bilang) ini salah, itu salah. Anda harus dengar orang yang tepat. Kalau Anda dengar orang yang benar, melihat orang yang benar, Anda akan mendapatkan gambaran Islam yang benar.

Jadi ini masalahnya pendidikan?
Kami memberikan pendidikan. Karena Allah SWT bersabda dalam Al-Quran: "Bacalah atas nama Allah!" Itu artinya pendidikan. Nabi Muhammad SAW juga mengatakan, "Belajarlah! Kalau perlu hingga ke negeri Cina." Jadi belajarlah dan raihlah ilmu pengetahuan setinggi mungkin kendati sulit dan teruslah belajar agar tahu yang terbaik tentang Islam. Jangan salah pikir tentang Islam karena pesan Islam jelas: mengajari umatnya agar hidup harmonis dan toleran terhadap sesama manusia.

Bagaimana dengan sejumlah kelompok yang atas nama Islam membuat keonaran, seperti di Indonesia, misalnya?
Saya tidak pada tempatnya untuk mengkritik kelompok lain. Saya tak suka mengkritik orang atau kelompok lain. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya. Begitupun kami bertanggung jawab atas apa yang kami kerjakan. Mereka punya cara, kami pun punya cara sendiri. Ada yang tertarik pada kami, silakan datang dan belajar. Kami banyak menyembuhkan orang-orang yang kecanduan narkoba, menyelamatkan dari kelompok-kelompok kriminal, kami kembalikan mereka ke kehidupan yang normal. Inilah tugas kami. Kami tak melihat apa yang mereka katakan dari kacamata ideologi. Kami jauhi itu, itu bukan tanggung jawab kami. Kami bukan politikus, (masalah ideologi) ini bukan proporsi kami.

Apa yang Anda ketahui tentang komunitas Islam di Indonesia?
Apa yang pernah saya lihat di sini (Indonesia) maupun di dunia, mereka mencintai Allah dan Nabi. Mereka datang dalam jumlah ribuan, bahkan ratusan ribu, untuk mendengarkan dan menjadi bagian dari perkumpulan kami. Mereka orang-orang yang menyenangkan.

Saya pernah dengar bahwa Anda berhasil meyakinkan Gedung Putih sehingga Idul Fitri dirayakan sebagaimana agama lain?
Benar. Setiap tahun, sejak masa pemerintahan Presiden Bill Clinton, Gedung Putih mengundang umat Islam untuk merayakan Idul Fitri, tak persis pada hari Lebaran, tapi biasanya pada bulan Ramadan untuk makan malam bersama. Departemen Luar Negeri juga menggelar acara serupa sampai saat ini.

Menurut Anda, seperti apa pandangan Amerika Serikat terhadap Islam dewasa ini, dan sejauh mana perkembangan Islam di masa Presiden Obama?
Kami senang masyarakat Amerika Serikat sekarang tahu bahwa Islam bukan agama kekerasan. Lupakan soal pertumbuhan. Anda pikir Islam tumbuh dan berkembang di negara muslim? Di sana banyak sekali masalah. Kami tak memusingkan soal pertumbuhan.
Bagi kami, yang terpenting warga Amerika memahami bahwa Islam adalah agama yang damai. Kami ingin di Amerika Serikat sesama umat beragama hidup berdampingan secara damai. Kami berharap situasi seperti ini terus-menerus membaik karena sekarang warga, presiden, dan pejabat pemerintah mencoba memahami bahwa Islam tak ada kaitannya dengan kekerasan.
Mereka kini mencoba mengesampingkan pikiran seperti itu. Karena itulah Presiden Obama membuka diri terhadap kaum muslim di dunia. Saya rasa kunjungan beliau ke Mesir untuk tujuan itu.

Anda optimistis di bawah Presiden Obama hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara muslim bakal membaik?
Insya Allah, insya Allah. Dia ke Turki, dia mengunjungi sejumlah masjid di sana. Isi pidatonya sangat baik. Apa pun pernyataan yang dia katakan, coba mengesampingkan klaim-klaim buruk terhadap Islam. Dan coba memfokuskan pada masalah salah tafsir (atas Islam).

Presiden Obama meminta nasihat Anda?
Belum. Sekalipun kami memiliki orang-orang di kelompok kami yang bekerja amat dekat dengan Presiden Obama, saya belum bertemu. Saya berharap bisa bertemu, tapi saya tahu untuk saat ini pasti beliau sibuk sekali.

Kira-kira nasihat apa yang akan Anda berikan kepada Obama?
Saya pikir dia tak membutuhkan banyak nasihat. Dia orang yang baik. Dia mencoba yang terbaik. Tapi, kalau saya diminta memberikan opini, saya hanya akan bilang bahwa Islam tak ada kaitannya dengan segala bentuk kekerasan di dunia, dan saya rasa dia mengerti hal itu. Kalau beliau meminta nasihat saya, hemat saya, tak lebih dari itu yang bisa saya berikan.

Apa harapan Anda terhadap perdamaian di Timur Tengah?

Saya harap ini akan beres. Perdamaian akan datang. Negosiasi berlanjut. Kami mendukung apa pun yang terkait dengan perdamaian, masa depan yang baik. Inilah pesan kami.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan bahwa ia kerap meminta nasihat kepada Anda, nasihat macam apa sih yang Anda berikan?
(Tertawa) Ini antara saya dan beliau (keduanya berkenalan sewaktu Yudhoyono masih menjabat menteri di era Presiden Megawati. Mereka bertemu di Washington, DC). Tidak, saya tidak bisa katakan kepada Anda. Saya selalu katakan kepada beliau. Jangan jadi seorang presiden, tapi jadilah seorang warga negara. Artinya, perlakukan setiap orang layaknya sebagaimana beliau memperlakukan dirinya sendiri.
Beliau rendah hati karena beliau sebagai presiden sebuah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia mau mendengarkan saya. Dia tahu saya bukan politikus dan datang bukan untuk (memberi) dukungan politik. Saya netral. Saya tak menganjurkan untuk memilih ini atau itu. Itu sebabnya, beliau senang berbicara kepada saya.
Adapun yang menjadi perhatian kami bukan soal siapa yang menang karena pemilihan presiden ini menyangkut demokrasi. Tapi (mengutip ucapan Nabi Muhammad SAW) cintailah saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Artinya, jangan merasa lebih tinggi daripada yang lain, ini dalam dunia spiritual.
Kalau Anda ingin jadi presiden, jadilah presiden. Tak ada masalah. Jadi wakil presiden, atau apa pun yang Anda inginkan. Tapi berlakulah seperti Nabi Muhammad SAW: mengangkat karung dengan pundaknya sendiri meskipun ia seorang nabi, dan berjalan dari rumah ke rumah pada malam hari untuk mengantarkan penganan bagi kaum miskin dan orang-orang kelaparan. Jadilah seperti itu, inilah yang paling penting. Tentu menjadi presiden, wakil presiden, atau menteri merupakan hal yang bagus. Tapi, ketika Anda datang mengunjungi masyarakat akar rumput, jadilah seperti mereka. Tunjukkan bahwa Anda bagian dari mereka, bahwa Anda peduli terhadap mereka sebagaimana mereka juga peduli terhadap Anda.

Apa pesan Anda kepada umat Islam pengikut tarekat Anda?
Senantiasa patuh kepada Allah SWT dan aturan pemerintah di mana pun kita berada. Ikuti. Kita ini moderat dan jangan biarkan orang lain menyeret-nyeret kita ke kancah politik karena itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah bagaimana membantu orang-orang yang tersesat kembali ke kehidupan yang normal. Kecanduan narkoba, kriminalitas, tunawisma. Membantu memberikan pendidikan, inilah yang kelompok kami lakukan.

Syekh Muhammad Hisham Kabbani
Lahir: Libanon, 28 Januari 1945

Pendidikan:

-Sarjana Kimia (American University of Beirut)
-Master Kedokteran (Universiteit Louvain, Belgia)
-Hukum Islam (University of Damascus)

Pekerjaan:
Guru spiritual Tarekat Sufi Naqshbandi-Haqqani

Jabatan lain:
-Ketua Islamic Supreme Council of America
-Ketua Sufi Muslim Council
Istri: Naziha Adil, dengan tiga putra dan satu putri

Nabi Tak Pernah Mengislamkan dengan Pedang

Wawancara Tempo dengan Habib Luthfi bin Ali bin Yahya:  

Murid Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, yang lebih dikenal sebagai Habib Luthfi Pekalongan, tersebar ke berbagai daerah—bahkan mancanegara. ”Enggak bisa ngitung lagi,” kata Ketua Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah, perkumpulan tarekat yang diakui (mu’tabar) di bawah Nahdlatul Ulama, ini.

BILA jadwal pengajian tiba, seperti Reboan atau Jumat Kliwonan, ribuan orang datang ke Kanzus Shalawat (Gedung Shalawat), pusat kegiatan Tarekat Syadziliah, di Kampung Noyontaan, Pekalongan, Jawa Tengah, persis di tepi jalan raya lama Jakarta-Semarang. Banyak yang percaya Habib Luthfi bisa menjadi wasilah (penghubung) doa manusia kepada Tuhan.
Karisma Habib Luthfi pulalah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri datang ke Kampung Noyontaan pada acara Maulid Nabi lalu. Perayaan Maulid merupakan puncak acara Tarekat Syadziliah karena mencakup 68 kegiatan di berbagai tempat di seantero Pekalongan, yang berlangsung selama hampir setengah tahun.
Habib yang memiliki lima cucu ini juga dikenal terbuka dan inklusif sehingga diterima berbagai kalangan. Sampai sekarang, dia masih mengajar santri di rumahnya, di belakang Kanzus Shalawat. Rabu pekan lalu, Arif A. Kuswardono dan Sohirin dari Tempo menemui Habib Luthfi seusai salat tarawih di rumah tersebut.
Wawancara sempat terputus oleh kegiatannya mengajarkan kitab selama Ramadan. Ada puluhan orang yang mengikuti irsyadat dan taklimat yang digelar tiap malam selepas tarawih selama satu jam. Ditambah tamu yang juga berlipat jumlahnya, Ramadan adalah bulan yang sibuk buat sang Habib. ”Saya hanya tidur tiga-empat jam sehari,” katanya.
Sekitar pukul 23.00, percakapan dilanjutkan di studio musik miliknya yang berisi delapan organ bersusun dan dilengkapi tata suara elektronik. Habib yang dikenal pandai memainkan sejumlah alat musik ini sudah melahirkan beberapa komposisi. ”Umumnya instrumen,” katanya seraya menggelitik bilah organ. ”Kalau lagu dengan syair, baru dua.”
Tak lama kemudian, melantunlah lagu Cinta Tanah Air, ciptaannya. Liriknya memuji cinta tanah air yang menjadi cerminan iman seseorang. Musiknya campuran Melayu, dangdut, tarling, dan irama padang pasir. ”Supaya anak muda suka,” katanya. Dengan suara kalem, terkadang diselingi humor, Habib Luthfi menjawab semua pertanyaan Tempo.
Saat ini ulama menjadi rebutan para politikus. Apa sikap Anda?
Saya terima semuanya. Sebab, dalam partai-partai terdapat aset bangsa. Nah, aset itu wajib kita junjung tinggi dan kita hormati. Tentang pilihan, itu rahasia masing-masing.
Banyakkah pejabat dan politikus yang mengunjungi Anda?
Banyak. (Orang dekatnya menyebut nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, Ketua Partai Bulan Bintang M.S. Kaban, dan sejumlah jenderal polisi.)
Anda setuju dengan partai yang menggunakan asas agama?
Di Indonesia ini dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kembali saja ke situ dulu, kemudian diwarnai oleh agama masing-masing. Saya secara pribadi menginginkan penganut agama, agama apa pun, menaati ajaran agama untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa ikut membangun bangsa ini. Sebab, kita sama sekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, kita tidak ikut berjuang zaman dulu. Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab tantangan umat.
Ada kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim.
Negara kita negara kesatuan yang terdiri atas berbagai agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Saya kira tidak semudah itu membungkus sesuatu. Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari kita membangun bangsa ini ke depan.
Menurut Anda, syariat Islam sudah cukup diakomodasi?
Syariat Islam sudah banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. Lihatlah: kantor agama ada, pengadilan agama ada, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Nah, inilah yang harus kita pelihara.
Muslim Indonesia kerap dianggap muslim kelas dua karena banyak mistiknya dan tidak radikal. Seharusnya kita seperti muslim Timur Tengah yang militan?
Apakah itu ajaran Nabi? Apakah Nabi pernah mengislamkan seseorang dengan pedang? Tidak pernah! Saya baca hadis, tidak ada yang menyebutkan itu. Bahkan Nabi menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi. Kalau ada yang bilang begitu, berarti dia tidak kenal Indonesia. Di Indonesia, yang mau dilawan siapa? Apakah kita harus mengangkat senjata kepada orang yang tidak melawan kita? Orang tidak salah kita tempeleng; apakah itu ajaran Islam? Militan itu ideologinya yang kuat. Rasa kebangsaannya yang kuat.
Konteks Indonesia berbeda dengan Timur Tengah?
Apa yang dihadapi di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah. Mestinya Anda bertanya kepada Suudi (Arab Saudi): mengapa orang-orang Suudi yang konon radikalnya luar biasa itu kok tidak pernah mengirimkan pasukannya untuk membela Palestina?
Tentang Ahmadiyah, apakah sikap pemerintah sudah tepat?
Saya kira penerbitan surat keputusan bersama sudah bijaksana. Sejahat apa pun mereka, (Ahmadiyah) adalah bangsa kita. Ahmadiyah kan masih bertuhan? Kalau PKI, kan, tidak bertuhan? Lebih jahat mana antara bertuhan dan yang tidak bertuhan? Mengapa PKI masih kita wong-kan, kok, Ahmadiyah tidak?
Kesalehan individual di Indonesia terus meningkat. Kuota haji selalu terlampaui, pengajian ramai, tayangan agama begitu banyak, tapi kenapa korupsi meruyak dan perbaikan di masyarakat tetap lambat?
Masyarakat awam itu sebenarnya mencari tuntunan. Mereka mencari figur pemimpin yang bisa membimbing rohaninya, sehingga apa yang ada di dalam ajaran agama itu, di samping diyakini, dijadikan keperluan untuk kehidupan sehari-hari.
Apakah tuntunan Islam belum cukup?
Ajaran Islam sangat kompleks. Selain menanamkan akidah pada umatnya, seperti percaya kepada Allah, Nabi, malaikat, dan seterusnya, Islam mengatur cara makan, bergaul, dan sebagainya. Misalnya pakaian, Islam mengajarkan bagaimana seseorang terjaga kehormatannya karena pakaian itu. Jadi, Islam tidak hanya mengatur kesehatan fisik, tapi juga kesehatan rohani atau kesehatan batin. Seperti lagu Indonesia Raya, ”bangunlah jiwanya” lebih dulu, baru ”bangunlah badannya”.
Jadi, kalau ada yang melenceng di masyarakat, jiwanya belum beres?
Saya kira tidak perlu sejauh itu, karena hati orang kita tak tahu. Bangunan jiwa ini sudah diatur. Islam setelah mengatur arkanul iman (rukun Iman), lalu arkanul Islam (rukun Islam), selanjutnya baru ihsan. Dari ihsan kita diajari ”bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya”. Kalau tidak mampu merasa melihat Tuhan, kita harus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar oleh Tuhan.
Jadi, perubahan itu memang bertahap?
Pertama kali mungkin kita belum bisa merasakan dampaknya. Tapi, kalau kita terus-menerus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar Tuhan, akan timbul perubahan. Sebagai contoh, seorang pesilat, kalau sering latihan, pasti akan mempunyai gerak refleks. Sehingga, kalau dia terpeleset, paling tidak 85 persen dia akan selamat dan tidak cedera. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah latihan, jika dia terpeleset, akan lebih banyak cederanya ketimbang selamat.
Apa perubahan terbesar bila sudah merasa dekat dengan Tuhan?
Kalau kita sering merasa menjadi bagian yang dilihat Tuhan, akan timbul reaksi. Di antaranya rasa malu. Malu karena perbuatan kita selalu dilihat dan didengar Allah. Malu adalah sebagian tanda iman. Malu akan menambahkan kesempurnaan dalam beriman. Dari malu kepada Allah, malu kepada Nabi, kepada ulama, pahlawan, orang tua, guru, hingga terakhir malu kepada sesama.
Mungkinkah seseorang yang sudah dekat jiwanya dan malu kepada Tuhan malah terus didera kesulitan?
Kesulitan yang diberikan Allah pada hakikatnya adalah untuk pembekalan. Jika mau menengok ke belakang, akan timbul perubahan. Kalau kemarin kita berdagang terus merugi, kita harus melihat apakah servis atau mutu kita sudah bagus atau belum. Jadi, majunya ke depan karena kita mau menengok ke belakang.
Bagaimana rasa malu bisa memperbaiki kualitas kehidupan sosial?
Taruhlah seseorang tidak puasa karena memang pekerjaannya sangat berat. Misalnya pekerja fisik. Kalau tidak bekerja, hari itu mereka tidak bisa makan. Tapi, jika sadar bahwa dirinya menjadi bagian yang akan dilihat Allah, dia tidak akan seenaknya berjalan sambil merokok di bulan puasa. Ini contoh sederhana. Jika rasa malu sudah hidup, perlahan tapi pasti akan mengubah perilaku kita.
Apa rasa malu bisa mendorong disiplin?
Ya, mestinya, setelah muncul rasa malu, meningkat menjadi takut kepada Tuhan. Kalau takut, kita akan bertakwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah rasa takut menjelma menjadi takwa.
Apa peran tarekat dalam memunculkan rasa malu kepada Tuhan?
Kita membangun jiwa dengan menyebut nama Allah dalam berzikir, sambil merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Secara tidak langsung kita selalu diingatkan kepada Allah. Lalu, saat kita membaca selawat, kita diingatkan kepada Muhammad. Apakah tidak malu kalau tidak bisa meniru keteladanan Muhammad? Secara umum, kita juga harus menghormati orang tua dan guru. Rasanya malu kalau sudah dibesarkan orang tua dan diajari oleh guru tapi tidak menuruti nasihatnya.
Malu juga dituding menjadi biang kemunduran. Seperti apakah rasa malu yang bisa menghambat kemajuan?
Malu itu ibarat cangkir. Kalau diisi susu, kan, tidak ada yang salah? Kalau diisi minuman keras, baru dosa. Kalau malu dianggap penyebab kemunduran, apa salah ungkapan al haya’ minal iman (malu sebagian dari iman)?
Jadi, menumpuknya masalah bangsa salah satunya karena kita krisis malu?
Saya tidak mau mengatakan bangsa ini krisis akhlak atau krisis malu…. Tapi inilah di antara kelemahan-kelemahan kita.
Bila syariah Islam sudah diterapkan tapi musibah terus mendera, apa yang salah?
Saya tidak mau mengungkap cacatnya salah satu wilayah atau keturunan karena seluruh Islam adalah bersaudara.
Mengapa muncul Islam yang radikal bila dasarnya adalah rasa malu?
Saya tidak mau terpengaruh dengan mereka (radikal). Saya punya konsep sendiri untuk mendidik santri, khususnya santri tarekat, sesuai dengan ajaran assalafu al-shalihin (ulama pendahulu) yang sudah membuatkan satu konsep yang luar biasa dalam memahami Al-Quran dan hadis. Kita juga belajar dari dinamika yang telah diajarkan oleh para imam mazhab seperti Syafii, Maliki, dan Hambali. Para imam mazhab itu sangat menguasai ilmu agama, tapi meski mempunyai perbedaan, mereka saling menghormati.
Para imam mazhab tak mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar.…
Dinamika antar-ulama ini indah. Ibarat musik, meski ada perbedaan alat musik dan aliran musik, musiknya bisa dinikmati. Ada harmoni. Masing-masing juga tidak bisa mengklaim paling benar karena jumlah nada atau not musik cuma 12. Antara satu dan yang lain pasti bersinggungan.
Bagaimana supaya kita tidak keliru arah menjadi radikal?
Harus ada transformasi dan pembekalan. Kalau tidak bisa, ya, ikuti yang baik, yang bisa dipercaya, tidak asal.
Bagaimana supaya puasa atau ibadah tidak sekadar ritual saja, tapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial?
Kita ambil contoh yang ringan saja. Bagaimana kita merasakan lapar dan dahaga? Ternyata setetes air dan sebutir nasi sangat bermanfaat. Kita harus menghormati sang pencipta nasi dan setetes air. Secara proses, sebutir nasi itu melibatkan banyak orang, dari ditanam hingga tersaji. Secara sosial, kita harus menghormati orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan nasi. Itu baru sebutir nasi, belum lagi tentang air, lauk, dan sebagainya.
Ada contoh lain?
Soal wudu, misalnya. Tiap hari anggota tubuh lima kali dibasuh wudu. Masing-masing tiga kali. Berapa kali satu anggota badan dibasuh dalam sebulan? 450 kali. Setahun? 5.400 kali. Itu baru yang wajib saja. Pertanyaannya: sejauh mana bekasnya kita membasuh anggota tubuh sebanyak itu? Apa ”buah” wudu yang kita dapat? Mestinya mata kita bisa menutupi aib orang lain, mulut kita mengucapkan yang baik-baik, tangan kita juga tidak mengambil yang bukan hak. Karena berkah dari wudu, secara sosial kita juga harus lebih baik.
Bagaimana proses puasa ”membersihkan” tubuh?
Anda bayangkan perut kita seperti bejana yang tidak pernah dicuci, padahal digunakan untuk memasak aneka makanan selama sebelas bulan. Kira-kira bisa tidak pencernaan kita melakukan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik kalau tidak dibersihkan? Padahal darah tadi akan memasok makanan ke otak. Obat cuci perut hanya terbatas, tidak bisa sampai ke dasar pencernaan tempat virus dan kotoran. Hanya puasa yang bisa menjangkaunya. Jadi, puasa juga berdampak pada pencerdasan kehidupan bangsa.

MUHAMMAD LUTHFI BIN ALI BIN YAHYA
Tempat dan tanggal lahir: Pekalongan, 10 November 1946
Pendidikan:
  • Pondok Pesantren Bondokerep, Cirebon, Jawa Barat
  • Belajar ke Hadramaut, Yaman
  • Pondok Pesantren Kliwet Indramayu, Tegal (Kiai Said)
  • Belajar kepada Kiai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali di Purwokerto
Pekerjaan:
  • Rais Am Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah 2005-2010 (periode kedua)
  • Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah (2005-2010)
  • Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kota Pekalongan (2005-2010)
  • Paguyuban Antar Umat Beriman (Panutan) Kota Pekalongan


SBY Temui Pimpinan Thoriqoh NU

Senin, 08 Juni 2009 | 18:24 WIB
TEMPO Interaktif, Semarang: Besok pagi, Selasa (9/6), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menghadiri acara silaturahmi Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Muktabaroh An-Nahdliyyah (JATMANU) di Hotel Gumaya Tower Semarang, Jawa Tengah. Usai pertemuan itu, SBY akan mengunjungi sejumlah pesantren dan meresmikan kampus baru IKIP PGRI Semarang.
JATMANU merupakan wadah kiai thoriqoh yang bernaung di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Menurut Ketua Umum JATMANU, HM Chabib Thoha, hampir seribu kiai dari berbagai provinsi akan menghadiri acara silaturahmi yang digelar dalam rangka Seratus Tahun Kebangkitan Nasional .
Para kiai yang hadir antara lain Habib Lutfi bin Ali Yahya dari Pekalongan, Ketua Umum PBNU KH Sahal Mahfudh (Pati), KH Maemun Zubair (Rembang), KH Mustofa Bisri (Rembang) KH Masruri Mughni (Brebes), KH Munif Zuhri (Girikusumo Mranggen, Demak), KH Abdurrahman Chudlori (Magelang), KH Muslim Rivai Imampuro/Mbah Liem (Klaten).

"SBY hadir dalam kapasitas sebagai Kepala Negara, bukan sebagai calon presiden," kata Chabib, Senin (8/6).

Beberapa pihak menilai, Yudhoyono sengaja meluangkan waktu menghadiri acara ini guna mengimbangi manuver calon presiden Jusuf Kalla yang lebih dulu menyambangi kalangan pesantren.

Namun menurut Sekretaris Partai Demokrat Jewa Tengah, tidak ada agenda kampanye dalam acara tersebut. "Pertemuan itu merupakan bagian relasi yang harus dibangun antara ulama dan umaro," kata Dani.

Usai acara tersebut, Yudhoyono akan mengunjungi Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Margoyoso Pati pimpian KH Sahal Mahfudz, ke Pondok Pesantren Raudlatut Tholibien, Leteh Rembang pimpinan KH Musthofa Bisri (Gus Mus) dan Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang pimpinan KH Maemun Zuber.
SOHIRIN

Ketika Pengikut Tarekat Bicara Korupsi

Tempo 06/XXXIV 04 April 2005
 
Inilah muktamar para pengikut tarekat. Tak cukup berzikir, mereka ingin memberantas korupsi dan mengamalkan kesalehan sosial.
 
PULUHAN ulama, ratusan santri, dan ribuan kaum muslimin—tua, muda, anak-anak, lelaki dan perempuan—tumplek di Masjid Agung Pekalongan. Mereka bahkan meluber sampai ke halaman dan jalan-jalan di sekitarnya. Malam itu, Sabtu dua pekan lalu, begitu salat isya usai, gumam zikir bergema di seantero masjid.
Istigasah akbar yang digelar menyambut Muktamar X Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyah (himpunan penganut tarekat "resmi" Nahdlatul Ulama), minggu terakhir Maret lalu, itu diawali dengan membaca manakib alias biografi Rasulullah SAW, Simthud Durar (Untaian Mutiara). Suasana menjadi lebih religius begitu KH Muhaiminan Gunardo, pimpinan Pesantren Bambu Runcing, Temanggung, tampil membaca Al-Fatihah.
Sedu-sedan dan isak tangis mengharap rahmat dan berkah Allah SWT terdengar ketika Habib Luthfi bin Yahya memandu istigasah dengan serangkaian doa dan wirid. Dan ketika pimpinan tertinggi Jam'iyah itu membaca lailaha ilallah dengan suara baritonnya, jantung Kota Pekalongan itu menjelma menjadi majelis zikir sufi seperti di abad pertengahan di Irak, Iran, atau Asia Tengah. Sejumlah besar jemaah tampak mengalami ekstase. Mereka menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan kanan mengikuti irama zikir, kian lama kian cepat. Sembari melafalkan kalimat tauhid itu, mereka tersedu sesenggukan. Air mata meleleh.
Setelah estafet doa dibawakan oleh 12 kiai sepuh, jemaah kembali histeris manakala Habib Husein Alatas dari Cirebon memanjatkan doa dalam bahasa Jawa, dengan suara keras bernada tinggi dan kalimat yang dipanjang-panjangkan: "Ya Allah, kiranya segeralah turunkan rahmat-Mu kepada bangsa ini yang senantiasa dilanda musibah, bencana, dan pertikaian tiada henti.…"
Berdiri pada 1957 di Pesantren Tegalrejo, Magelang, federasi 45 aliran tarekat ini semula bernama Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah. Pada 1970-an, ada upaya menyeret Jam'iyah ke bawah payung Golkar dan mengubah namanya menjadi Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah al-Indonesiyah. Untuk menghimpun kembali penganut tarekat yang berafiliasi kepada NU, dalam muktamar V tahun 1984 di Pesantren Nurul Qadim, Probolinggo, diputuskan menyempurnakan nama federasi tersebut menjadi Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyah.
Muktamar selama sepekan ini makan biaya tak kurang dari Rp 7 miliar, sebagian besar terdiri dari sumbangan in natura bermacam bahan makanan, jasa pemondokan, dan alat transportasi.
Berbeda dengan muktamar sebelumnya, kali ini yang dibahas tak semata masalah tarekat—metode kesufian untuk membersihkan rohani sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. "Sesuai dengan temanya—reaktualisasi ajaran tarekat untuk membantu menyelesaikan persoalan bangsa dan negara—muktamar ingin kembali mendekatkan ulama dan umara alias birokrat," kata KH Chabib Thoha, ketua panitia muktamar, penganut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Meski begitu, Habib Luthfi—terpilih kembali sebagai rais am idarah aliyah (ketua umum dewan tertinggi)—menolak kesan bahwa muktamar itu bernuansa politik. "Begitu thoriqoh dibawa ke pentas politik, ya, bubar," kata ulama karismatik yang gemar menikmati musik klasik dan mahir memainkan organ itu. Ia adalah mursyid beberapa tarekat seperti Syadziliyah, Alawiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Sathariyah, Tijaniyah, dan Ghazaliyah.
Menurut dia, tarekat membimbing para murid (pengikut) untuk senantiasa mensucikan rohani agar lebih lempang dalam mendekatkan diri kepada Allah. "Kalau kaum tarekat ingin membantu menyelesaikan masalah bangsa dan negara, hal itu semata-mata melaksanakan ujaran para ulama, hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman)," katanya sembari menyeruput kopi Loewak dan menyedot rokok kretek.
Selama ini, tarekat memang dipersepsikan sebagai amalan ibadah para kiai, setidaknya orang-orang tua, yang menjauhi keduniawian. Maka, masih relevankah metode kesufian ini di zaman modern seperti sekarang, ketika berbagai aspek kehidupan cenderung materialistis dan orang semakin individualistis? "Justru orang modern sekarang ini, yang jiwanya kebanyakan kering, yang mengalami frustrasi dan menderita depresi, sesungguhnya sangat membutuhkan tarekat," ujar Habib Luthfi, yang memimpin sekitar 30 juta penganut tarekat itu.
Menurut dia, upaya membersihkan rohani itu mulai dari wudu—yang berimbas pada kesucian pancaindra dan segenap anggota tubuh—sampai dengan menunaikan berbagai kewajiban syariat. Termasuk salat wajib dan sunah, terutama tahajud, serta bermacam-macam doa, zikir, dan wirid. Juga ibadah muamalah (kemasyarakatan) serta kualitas perilaku luhur: santun, tak mudah marah, suka menolong dan memaafkan, tawadu alias rendah hati.
"Jika jiwa-raga sudah suci, diharapkan perilaku seorang mukmin bisa lebih baik. Dengan menyandang akhlaqul karimah alias budi pekerti luhur, seorang mukmin diharapkan tampil sebagai pribadi berkualitas yang bermanfaat bagi masyarakat, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Termasuk cinta tanah air, yang mewajibkannya untuk tidak merusak atau menelantarkan negara dan bangsa," ia menambahkan.
Bisa dimaklumi jika dalam kata sambutannya pada pembukaan muktamar, Minggu pagi, di halaman Pendopo Kabupaten Pekalongan di Kajen—25 kilometer sebelah selatan Pekalongan—secara khusus ia menekankan pentingnya menjalin hubungan antara ulama tarekat sebagai suri tauladan dan umara. Ia juga tak lupa mendoakan pemerintah agar mampu meningkatkan martabat bangsa.
Walhasil, ada kesan kuat muktamar kali ini bermaksud mengingatkan pentingnya kesalehan sosial di samping tetap memelihara kesalehan personal. Maka, gayung pun bersambut. Dalam kata sambutannya sebelum membuka muktamar dengan menabuh beduk, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak para ulama tarekat—yang ia sebut sebagai "insan kamil"—untuk membantu memberantas korupsi dan kemaksiatan lainnya.
Mendengar pernyataan itu, malam harinya, dalam dialog dengan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh di Pendopo (lama) Kabupaten Pekalongan, beberapa muktamirin mendesak agar para koruptor dihukum mati. Desakan itu tak ayal bikin Jaksa Agung terperangah. "Semula saya mengira kaum tarekat terdiri dari orang-orang tua, atau para santri sarungan, yang setiap malam menghitung tasbih saja. Kalau semangat kaum tarekat seperti ini, saya yakin para koruptor pada mules perutnya," kata Jaksa Agung, disambut tawa dan keplok gemuruh.
Sikap tujuh ribuan muktamirin itu memang mengejutkan. Bukan karena mereka semuanya lelaki, hampir sepertiga di antaranya kiai sepuh, sebagian besar mengenakan sarung, sandal, kopiah hitam, atau peci haji warna-warni. Mereka ternyata mengikuti perkembangan mutakhir dan cukup kritis. Dalam sidang komisi rekomendasi, misalnya, antara lain diputuskan agar pimpinan nasional, politisi dan partai politik, tidak terlalu banyak bicara dan lebih mengedepankan kepentingan umum.
Itu tak berarti mereka sama sekali melupakan tarekat. Dalam komisi Diniyah Thariqiyah (agama dan tarekat), misalnya, antara lain diputuskan kriteria mursyid yang sudah harus mencapai tingkat kesufian cukup tinggi. Setelah berdebat alot dengan merujuk sejumlah kitab kuning, para kiai juga memutuskan haramnya tayangan alam gaib di televisi yang cenderung mendangkalkan akidah. Selain itu, minta nasihat kepada orang yang tak menjalankan salat juga haram, kecuali mengenai masalah umum yang tak terlalu penting.
Budiman S. Hartoyo, Sohirin (Pekalongan)