Sunday, November 29, 2009

Jawa bukan minang

Majalah Tempo
Wawancara dengan dr. taufik abdullah tentang kemungkinan timbulnya "semangat kepercayaan" di minang. perang padri digambarkan sebagai perang antara islam lawan islam dan raja hanya merupakan simbul. (ag)
MASALAH kepercayaan pada umumnya memang terbatas pada masyarakat Jawa Tengah dan Timur. Tidak mungkinkah semangat kepercayaan akan bangkit di Minang - meminta untuk dimerdekakan? Sebagai perbandingan sekali lagi Dr. Taufik Abdullah dari Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LIPI) memberikan wawancara dan berikut ini ringkasan:

Tonggak terpenting dalam sejarah Minangkabau adalah Perang Padri. Orang sering salah sangka: mengira Perang Padri perang antara kaum Islam dengan kaum adat. Yang benar ialah: perang antara Islam lawan Islam, dan di sini antara faham Islam yang baru dengan yang lebih baru. Baru dalam arti murni orthodox. Inilah bedanya Minang dari Jawa: di Minang masalah aqidah (keimanan) mendasari krisis sosial, dan diselesaikan dengan perang. Di Jawa tidak.

Sebenarnya orthodoxi pemurnian agama sudah ada menjelang akhir abab 18 di Minangkabau. Tuanku Nan Tuo ini, guru sendiri membereskan tarekat-tarekat Syattariah dan sebagainya ke arah yang lebih mengikuti syara. Lalu datanglah Imam Bon ol dan tokoh-tokoh yang baru pulang dari Mekah dan mendapat pengaruh gerakan Wahabi yang keras itu.

Yang mereka tuju pertama kali-justru surau Tuanlku Nan Tuo ini, guru sendiri. Mereka misalnya menuntut dilarangnya kebiasaan makan sirih atau merokok. Dan Tuanku sendiri akhirnya dituduh kafir. Lalu sebagai simbul mereka membakar rumah adat. Lalu mulai perang desa dengan desa, negari dengan negari.

Perang berlangsung 20 tahun. Pada satu titik kemenangan. penghulu-penghulu adat mereka ganti dengan kadi dan imam. Dengan ini mereka merobah sistim sosial adat. Tapi ini hanya berlangsung 3 tahun. Sesudah itu imam tetap ada tapi penghulu yang berkuasa ketika di tahun 1827 Belanda mulai ikut-ikutan campur tangan. Imam Bonjol mengajak para penghulu untuk menentukan sikap. Tapi para penghulu berdebat sama sendiri: ada yang mau perang, ada yang mau menyerah. Imam Bonjol akhirnya pergi - dia tidak kuasa....

Proses orthogenetik dalam hal Islam (menganggap Islam sebagai budaya sendiri) sebenarnya sudah ada sebelum para pembaharu itu. Kosmogoni adat Minang sendiri sangat bersifat tarekat: ketika belum berbelum, adat sudah ada juga . . . Adat ini identik dengan Nur Muhammad, lewat mana Tuhan berkata: Kun! -- fa yakun (Adalah! --maka adalah). Konsep ini bisa dicari hubungannya dengan tarekat Syattariah atau yang semacam yang juga berkembang di Jawa.

Definisi Minang terhadap dirinya adalah: negeri yang beradat dan beragama. Dalam kata adat sendiri sudah masuk pengertian agama. Beberapa waktu yang lalu semboyannya adalah: Adat bersendi syara, syara bersendi adat . Kemudian berobah menjadi. Adat bersendi syara, syara bersendi Kitabullah . Sekarang ini, lebih mungkin seorang Minang tidak tahu adatnya daripada tidak tahu Islam. Definisi diri seorang Minang: pertama-tama dia adalah Islam. Jadi tak mungkin terjadi kasus seperti di Jawa.

Satu faktor yang sangat menentukan adalah sistim politiknya. Di Jawa berkembang dengan baik sistim kerajaan patrimonial: penguasa daerah ditentukan legitimasinya oleh pusat, apa yang terjadi di daerah dipertanggungjawabkan ke pusat, dan raja adalah pusat dunia. Di Minang raja hanya simbul. Tiap negeri hakikatnya independen: bisa orientasi apa saja, tak ada yang kontrol. Karena itu tak ada pusat pautan seperti di Jawa.

No comments:

Post a Comment