Sunday, November 29, 2009

Bila Tarekat Mengurus Begini dan...

Di Pesantren Buntet, Mertapadakulon, Cirebon diadakan pertemuan jemaah tarekat Tijaniyah. Syekh Ahmad Tijani diangkat sebagai wali tertinggi. NU belum begitu akrab merangkul jemaah Tijaniyah.
SPANDUK "Selamat Datang" dipasang di gerbang. Umbul-umbul merah, biru, kuning berderet di jalan setapak sepanjang 300 meter. Jumat sore itu masih sepi. Tapi di masjid, sekitar 25 orang berpeci bersimpuh melingkar.

Seorang kiai,.K.H. Fahim Hawi, meraih corong pengeras. Lalu pelan-pelan mengalun ia istigfar, disusul salawat Nabi. Bersamaan dengan lewatnya kereta Turusan Kroya, membahanalah dikir yang khusyuk, tapi kencang: Lailahaillallah ... lailahaillallah. Dan ketika senja memerah, irama pun merendah. Lalu senyap.

Sabtu dan Ahad 10-11 Oktober, Pesantren Buntet di Mertapadakulon, Cirebon, punya hajat besar. Acara tersebut dinamai Ied al-khatm li al-quthb al-maktum al-Tijani. Artinya, Hari Pengangkatan Syekh Ahmad Tijani menjadi wali tertinggi.

Ini bukanlah acara di kalangan mereka sendiri. Tapi hajat seluruh penganut Tarekat Tijaniyah, yang anggotanya dari seluruh Indonesia. Sebuah pertemuan yang menurut Fahim Hawi diharapkan, "bisa menghilangkan salah paham terhadap tarekat ini."

Ternyata, lain. Setelah tahu, malah pengurus NU ada yang seperti kaget. "Oh, mereka jadi berkumpul di Buntet, to?" tanya rais am Syuriah NU, K.H. Ahmad Sidiq. Dan ia memang mengernyitkan kening, kemudian. Kenapa?

Di NU, keberadaan Tijaniyah rupanya tak mulus diterima. Di tahun 1930, misalnya, terjadi peristiwa Buntet-Benda. Yakni perselisihan antara Pesantren Buntet yang Tijani dan Pesantren Benda yang anti-Tijani.

Pada waktu yang sama, di Tebuireng, seorang guru asal Mesir, Syekh Ahmad Ghonaim, juga menyerang, gara-gara ada suara "jaminan surga" dari pimpinan tarekat itu kepada pengikutnya. Kebalikannya, yaitu ketika Muktamar NU ke-6 di Cirebon, Agustus 1931. Pertemuan itu dipimpin sendiri oleh (Almarhum) K.H. Hasyim Asy'ari, dan menepis semua gugatan tadi. Tijaniyah tetap dinyatakan sebagai tarekat yang sah, yang mu'tabarah.

Ganjilnya muncul lagi. Sewaktu Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 1984, serangan pada Tijaniyah kembali menghangat. Adalah Kiai As'ad (bukan Syamsul Arifin) dari Pondok Kramat, Pasuruan, sekonyong mengungkit agar status Tijaniyah ditinjau lagi. Alasannya, menurut dia, golongan Tijaniyah itu "sesat".

Ini semua gara-gara mereka, di antaranya, mendakwah, "Siapa yang masuk Tijaniyah dijamin masuk surga bersama keluarganya, tanpa hisab." Ucapan ini didasarkan pada pidato Kiai Badri Mashduqi, pada rapat akbar tarekat itu, 1984. Sedangkan tokoh Tijani di Probolinggo, Jawa Timur, yang suka pada gaya meledak-ledak itu, mengutip "fatwa" Syekh Tijani.

Kiai Badri mengaku sengaja berkata demikian untuk mengimbangi serangan bertubi-tubi dari kiai lain. Misalnya, dari sesepuh NU Kiai As'ad Situbondo. Kiai As'ad (yang Syamsul Arifin) ini menerjemahkan kitab Wudhuh al-Dalail alias Kejelasan Argumentasi berisi kritikan pada Tijaniyah, ke bahasa daerah Madura.

Kiai As'ad Syamsul Arifin, menurut seorang ustad di pondoknya, justru melakukan itu lantaran Kiai Badri gencar menyerang yang non-Tijani. Tapi, akhirnya, dua ratusan kiai yang tergabung dalam himpunan ahli tarekat sah NU tetap tak jadi menggugurkan ke-mu'tabarah-an Tijaniyah.

Kini giliran Tijaniyah unjuk diri. Sekitar 6 ribu tamu hadir di pesantren pusat tarekat itu. Mereka mengenang Syekh Ahmad Tijani -- seorang Aljazair dari suku Tijan yang lahir tahun 1738. Syekh Ahmad inilah pendiri tarekat mereka, seorang yang pernah masuk di berbagai tarekat. Misalnya Qadiriyah, Nasiriyah, maupun Khalwatiyah.

Ahmad Tijani, menurut pengikutnya, mengaku pernah bersua fisik (tidak sekadar lewat mimpi) dengan Nabi Muhammad di Padang Sahara yang sunyi -- padahal kurun waktu hidupnya sudah beda. Pada pertemuan itu, katanya, Rasulullah mengajarkan wirid istigfar dan salawat -- masing-masing seratus kali -- dan bersabda: ia dipilih menjadi guru tarekat terbesar.

Pertemuan itu, begitu menurut anggapan mereka, merupakan pentahbisan oleh Nabi kepada Ahmad Tijani sebagai wali tertinggi -- lalu itu diperingati beramai-ramai di Cirebon. Para pengikutnya juga yakin bahwa Ahmad Tijani-lah yang diramal Ibnu Arabi dengan istilah khatm al-wilayah dalam buku al-Futuhat al-Makiyah. Bukan orang lain.

Tijani mementingkan dikir. Mereka mengelompokkan dikirnya menjadi tiga: Istigfar, salawat nabi, dan hail-lallah. Yang khas dan yang mereka pentingkan adalah salawat fatih lima ughliq atau pembuka bagi ketertutupan, dan salawat jauharat al-kamal alias esensi kesempurnaan. Gara-gara itu kemudian muncul tuduhan bahwa seolah salawat memang lebih penting ketimbang Quran maupun Hadis.

Beberapa ajaran Tijani dikecam penganut tarekat lain. Katanya, antara lain, pengikut Tijani tak boleh menziarahi makam para wali yang non-Tijani. Dikecam pula soal "jaminan surga" itu. Juga soal sembrononya Ahmad Tijani mengklaim diri sebagai wali terbesar. Dua hal pertama itu masih dilampiri catatan tambahan. Yakni larangan ziarah itu bila dengan niat bersandar pada mursyid (guru) lain, tak sekadar untuk bersilaturahmi. Sedangkan soal "jaminan surga", itu hanya bagi mereka yang mati dalam keadaan beriman.

Di Buntet inilah para tokoh Tijani berdatangan. Ada 23 mukadam -- tingkatan di bawah khalifah dan syekh -- pada berkumpul. Mereka setengah baya, berpeci, bersarung, duduk lesehan di karpet merah. Pertemuan diawali dengan al-Fatihah dan salawat fatih, dipimpin Kiai Muchlas Rowi.

Dalam pertemuan ini Kiai Badri mengusulkan agar dibentuk organisasi yang mengurus administrasi tarekat. Bahkan, kalau bisa, Muktamar Internasional Tijaniyah di Indonesia, seperti yang pernah berlangsung di Fez (Afrika) pada 1984. Lalu muncul perdebatan. Antara "kok tarekat mengurus begini" dan "kalau mau maju ya harus begini".

Akhirnya, disepakati untuk membentuk sekretariat di Surabaya. Sedang sesepuhnya, terpilih Kiai Baidlowi, 60 tahun, dan Kiai Muchlas Rowi, 57 tahun. Keduanya murid langsung Almarhum K.H. Muhammad bin Yusuf, penyebar Tijaniyah di Jawa Timur. Agaknya, murid langsung diutamakan, karena ada pula murid tak langsung, seperti Kiai Badruttamam dari Sampang, Madura, yang konon memperoleh "ijazah lewat mimpi", yang disebut talqin barzakhi.

Acara lain, diskusi. Antroplog Belanda Martin van Bruinessen, alias Abdul Ghafur, hadir. Ia justru menilai Tijani (juga Sanusi) yang berpengaruh di Afrika, sebagai gerakan pemurni tasawuf. Dan Tijaniyah pula yang memperjuangkan reislamisasi Turki, setelah negeri itu disekulerkan Kemal Attaturk, pendirinya. Ia juga menilai Syekh Ahmad Tijani juga tak ingin dikultuskan. Katanya, "Terimalah kata-kataku yang sesuai dengan syariat, dan buang yang tak sesuai."

Diskusi menghangat ketika Kiai Husein Muhammad, yang bukan Tijani, tampil. Dikutipnya penelitian Shabir Tha'imah dari Mesir yang membandingkan karya Ahmad Tijani Jawahir al-Ma'ani dengan karya Ibnu Arabi, al-Hallaj dan al-Jilli. Lalu simpulnya: Ahmad Tijani penganut paham wahdatul wujud pula. Mendengar ini, Kiai Badri tak tahan. Ia tampil membantah. "Itu tak benar. Rujukannya hanya sepotong-sepotong." Dan Hussein, tentu, ganti menangkis.

Bagaimanapun, NU belum sepenuhnya akrab merangkul jemaah Tijaniyah. Ketua Tanfidziah PB-NU Abdurrahman Wahid misalnya, belum lupa bahwa tarekat itu tak datang ketika diundang hadir dalam Muktamar Tharikat Mu'tabarah. Sedang tentang acara di Buntet, menurut dia, hanya untuk memupuk solidaritas, dan untuk legitimasi.

Sedang menurut K.H. Adlan Ali, mustasyar thariqah mu'tabarah NU, menyebut kaum Tijaniyah bisa diterima NU. Tapi ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. Katanya, "Ada apa, ya, kok mereka merasa perlu bertemu di Buntet segala?"

Tempo/Zaim Uchrowi, Ahmadie Thaha, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)

No comments:

Post a Comment