Sunday, November 29, 2009

Pasang Surut Koalisi NU-Partai Golkar

SM - Rabu, 05 Mei 2004
Hubungan NU-Partai Golkar memang ibarat gelombang laut. Pasang surut. Kadang kontrodiksi, tapi di lain tempo bisa bergandeng tangan. Kebijakan NU kembali ke khittah 1926 sesuai hasil Muktamar NU di Ponpes Salafiyah Syafiíiyah Situbondo 1984 membuahkan berkah politik bagi Partai Golkar. Banyak politikus NU di PPP yang dikecewakan dan disingkirkan Ketua Umum PPP saat itu, HJ Naro mengambil garis demarkasi sangat tegas kepada partai Islam tersebut. Yakni, tak mendukung PPP dan bahkan menggembosi partai ini.
BENARKAH NU-Partai Golkar merajut koalisi politik untuk merebut jabatan presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Eksekutif 5 Juli mendatang? Pertanyaan besar ini masih belum menemukan jawabannya secara konkret dan pasti dalam konteks sekarang. Sebab, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi ternyata juga dipinang PDI-P mendampingi calon presiden (capres) Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Rekomendasi Halakah Nasional Alim Ulama NU di Surabaya pada 26-27 April lalu memberikan lampu hijau (green light) kepada orang pertama di PBNU tersebut untuk siap digandeng sebagai cawapres. NU secara jamaah selanjutnya mewajibkan kepada warganya menggunakan hak pilihnya dan mendukung pasangan capres-cawapres yang menggandeng Hasyim Muzadi. Halakah yang esensinya forum kajian ilmiah itu telah berbelok sebagai forum politik untuk mendukung seorang tokoh NU dalam struggle of power pada 5 Juli nanti.
Kini realitas politik mutakhir menunjukkan, ada dua kekuatan besar yang menginginkan Hasyim Muzadi, yakni Partai Golkar dan PDI-P. Kedua partai ini sebagai pemenang dan runner up Pemilu Legislatif 5 April lalu. Partai Golkar secara resmi telah meminang Hasyim Muzadi. Pinangan tersebut dilakukan Akbar Tandjung dan Wiranto. Sebelumnya, 27 April bertempat di Hotel Somerset Surabaya, dua petinggi Partai Golkar, Irsyad Soediro dan Ridwan Hisjam (Ketua DPD Partai Golkar Jatim) juga telah berdiskusi panjang lebar dengan tim Hasyim Muzadi di kamar 1401 Hotel Somerset. Intinya, Partai Golkar siap menjadikan Hasyim Muzadi sebagai "ban serep" capres partai ini, Jenderal (Purnawirawan) Wiranto.
Mungkin Saja
Mampukah NU-Partai Golkar mewujudkan koalisi? Jawabannya mungkin saja. Apalagi jika kita lihat dalam perspektif sejarah politik, hubungan NU-Partai Golkar mulai terjalin sejak konsolidasi rezim Orde Baru (Orba) Soeharto. NU bersama Partai Golkar dan TNI (dahulu ABRI) menanam saham besar bagi kelahiran Orba sebagai pengganti rezim Orde Lama (Orla) Soekarno. NU adalah kekuatan sosial kemasyarakatan yang ikut menumpas G30S/PKI terutama di Jatim dan Jateng. Selain perjuangan fisik, di lapangan politik NU memberikan kontribusi besar bagi kemunculan Orba sebagai aktor politik utama di Indonesia pada akhir dekade 1960-an. Pergeseran kebijakan NU ke arah anti-Soekarno mulai terlihat sejak Februari 1967. Adalah Nuddin Lubis, Ketua Fraksi NU DPR GR yang mengusulkan pemecatan Presiden Soekarno dan mengadilinya atas kemungkinan keterlibatannya dalam G30S/PKI. Usulan Nuddin mendapat dukungan politik dari senior-senior NU, seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Achmad Sjaichu, KH Dachlan, dan KH Bisri Sjansuri. Dan usulan Nuddin Lubis itu diterima DPR GR pada 9 Februari 1967 sebagai titik awal kejatuhan Soekarno.
Selanjutnya, seminggu kemudian anggota Fraksi NU lainnya, Djamaluddin Malik, mengusulkan Soeharto sebagai satu-satunya capres. Usulan tersebut diterima bulat pada 23 Februari 1967. Dan pada 12 Maret 1967, KH Masjkur, salah seorang pemimpin kelompok Islam mengusulkan kepada MPRS mencabut mandat Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pemangku jabatan presiden. Usulan tersebut disetujui dengan suara bulat yang berujung pada berakhirnya era kekuasaan Soekarno dalam ranah politik Indonesia dan dimulainya kekuasaan rezim Orba di bawah Soeharto.
Hubungan NU-Partai Golkar pada awal konsolidasi Orba memang berjalan lurus dan harmonis. Namun ketika konsolidasi kekuatan politik rezim Orba mulai menguat dan mantap dengan menjadikan Partai Golkar (dahulu Golkar saja) sebagai mesin politik utamanya, tibalah saatnya mereka mengerjai NU dengan berbagai cara. Pemilu 1971 dan Pemilu 1977 adalah bukti konkret bagaimana Golkar dan rezim Orba mengerjai kekuatan jaringan NU terutama di Pulau Jawa agar partai ini tak mendapat suara signifikan. Sebab, tinggal Partai NU yang memiliki infrastruktur politik paling lengkap selain Partai Golkar pada Pemilu 1971.
Intimidasi dan teror tak sekadar diarahkan ke warga NU, tapi sekaligus kepada tokoh ormas Islam tersebut. Sejak turunnya kebijakan fusi partai, NU melebur ke PPP dan memosisikan diri vis a vis dengan Partai Golkar. Kedua kekuatan sosial politik ini terlibat rivalitas sangat keras sepanjang pemilu Orba.
Di tengah-tengah hubungan tak harmonis NU-Partai Golkar, menjelang Pemilu 1977 di Jatim ada perkembangan politik menarik. Apa itu? Adanya seorang kiai dari trah NU yang memiliki pengaruh luas dan pondok pesantren besar masuk ke Partai Golkar. Kiai dimaksud adalah KH Mustain, pimpinan Pesantren Darul Ulum Jombang. Masuknya Kiai Mustain ke Partai Golkar memecahkan etos politik Islam dan saling menyalahkan antarpara kiai di kantong-kantong NU terutama di Jombang. Di daerah ini ada empat pesantren besar sebagai basis utama penggodokan pemimpin-pemimpin NU, yaitu Pesantren Tebuireng yang didirikan KH Hasyim Asyíari, Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah, Pesantren Denanyar di bawah pimpinan KH Bisri Sjansuri, dan Pesantren Darul Ulum Peterongan di bawah kendali KH Mustain.
Menurut pendapat Dr Endang Turmudi (2004), dukungan politik Kiai Mustain kepada Partai Golkar menyongsong Pemilu 1977 tidak saja menandai penyimpangan dan gangguan terhadap struktur sosial tapi juga menunjukkan dimulainya perpecahan antarkiai di Jombang. Yang kemudian diikuti konflik tersembunyi para pengikutnya. Konflik ini terjadi antarkiai NU yang mempertahankan afiliasi dengan satu-satunya partai Islam: PPP dengan Kiai Mustain dan rekan-rekan dekatnya yang berafiliasi Partai Golkar.
Ekses yang diterima Kiai Mustain akibat keberaniannya melawan pakem politik yang diyakini ketika itu adalah banyaknya pengikut tarekatnya yang hijrah ke tarekat lain. Saat itu, Kiai Mustain adalah pimpinan jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Perpecahan itu tak sekadar pada tataran ide dan afiliasi politik. Pada ranah jamaah tarekat juga terjadi pembelahan.
Nama jamaah tarekat baru di kalangan warga NU tersebut adalah Jamíiyah Ali Thariqah al-Muítabarah an-Nahdhiyah di bawah pimpinan KH Adlan Ali dari Cukir Jombang. Kiai Adlan Ali terpilih sebagai pimpinan baru jamaah tarekat ini setelah dibaiat dan diberi ijazah irsyad oleh KH Muslih dari Mranggen, Demak, Jateng.
Jamaah tarekat baru di keluarga besar NU ini dikukuhkan melalui muktamar NU di Semarang pada 1979. Tarekat pimpinan Kiai Mustain berpusat di Rejoso Jombang, sedangkian tarekat Kiai Adlan Ali di Cukir Jombang. Perbedaan afiliasi politik ini berpengaruh besar di akar bawah NU. Saat itu, muncul keragu-raguan di kalangan warga NU Jatim untuk mengirimkan anaknya ke pesantren pimpinan Kiai Mustain pascadukungannya ke Partai Golkar.
Ibarat Gelombang
Hubungan NU-Partai Golkar memang ibarat gelombang laut, kadang pasang kadang surut. Kadang kontrodiksi, tapi pada lain tempo bisa bergandeng tangan. Kebijakan NU kembali ke Khittah 1926 sesuai dengan hasil muktamar NU di Pesantren Salafiyah Syafiíiyah Situbondo 1984 membuahkan berkah politik kepada Partai Golkar. Banyak politikus NU di PPP yang dikecewakan dan disingkirkan Ketua Umum PPP saat itu, HJ Naro, mengambil garis demarkasi sangat tegas kepada partai Islam tersebut. Yakni tak mendukung PPP dan bahkan menggembosi partai ini. Dan, memang terbukti pada Pemilu 1987, suara PPP turun drastis terutama di Jatim dan Jateng. Kursi PPP di parlemen turun 30% lebih dari 90-an kursi hasil Pemilu 1982 menjadi 60-an kursi Pemilu 1987.
Saat itu, hubungan NU dengan Partai Golkar dan pemerintah tak begitu harmonis. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai pimpinan NU kerapkali melontarkan pernyataan kritis kepada pemerintah, khususnya menyangkut pendirian ICMI di Malang yang diimbangi Gus Dur dengan membentuk Forum Demokrasi (Fordem). Lembaga pimpinan Gus Dur ini menampung banyak aktivis demokrasi yang kerap bersuara kritis kepada pemerintah, Partai Golkar, dan ABRI (TNI saat itu).
Puncak ketegangan hubungan NU-Partai Golkar dan pemerintah terjadi pada Muktamar NU 1994 di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jabar. Gus Dur hampir saja kalah dalam perebutan jabatan ketua umum dari Abu Hasan yang sepenuhnya di-back up kekuatan eksternal.
Pascamuktamar Cipasung, hubungan NU-Partai Golkar dan pemerintah diselimuti banyak ketegangan politik. Pengurus PBNU hasil muktamar Cipasung tak pernah diterima secara resmi oleh Presiden Soeharto. Perkembangan politik tersebut adalah indikasi belum absahnya secara politik pimpinan baru NU di mata penguasa ketika itu. Proses islah NU-Partai Golkar dan pemerintah baru terwujud ketika digelar Mukernas V Rabithan Maíahid Islamiyah (RMI) di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, Jatim pada November 1996. Gus Dur ketika itu bersalaman dan bergandeng tangan dengan Presiden Soeharto.
Setelah itu, hubungan NU-Partai Golkar khususnya makin erat dan hangat. Pascasalaman Genggong, Gus Dur melontarkan pernyataan politik menarik bahwa Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) merupakan tokoh masa depan. Ada beragam penafsiran atas pernyataan Gus Dur tersebut. Satu di antaranya, Mbak Tutut merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan setelah Soeharto lengser.
Gus Dur-Mbak Tutut runtang-runtung menyambangi ke basis-basis NU terutama di Jatim dan Jateng. Bentuknya digelar istighotsah akbar, seperti terjadi di Sidoarjo (Jatim) dan Semarang (Jateng). Saat itu, Gus Dur menyatakan dia hanya menyediakan panggung untuk Mbak Tutut dan Partai Golkar yang dia pimpinnya. Tak ada maksud menggembosi PPP. Uniknya, istighotsah akbar banyak digelar di kawasan-kawasan yang menjadi basis utama NU dan kantong suara PPP, seperti Pekalongan, Kendal, Jepara, Demak, Semarang, dan Tegal (Jateng). Lalu, Pasuruan, Probolinggo, dan Sidoarjo (Jatim).
Kini, menjelang Pemilihan Eksekutif 5 Juli, NU kembali diajak berkoalisi dengan Partai Golkar. Kali ini jabatan yang diperebutkan sangat strategis: presiden dan wapres.
Hasyim Muzadi telah dipinang Partai Golkar untuk berduet dengan Wiranto. Koalisi NU-Partai Golkar adalah sintesis politik antarkekuatan yang berbeda "jenis kelamin". Partai Golkar adalah orsospol, sedangkan NU ormas Islam.
Bisakah koalisi ini terajut tanpa keterlibatan PKB sebagai sayap politik NU. Pernyataan KH Yusuf Hasyim di sela-sela halakah nasional alim ulama NU di Surabaya saat ditanya Suara Merdeka layak disimak. Putra bungsu KH Hasyim Asyíari itu mengemukakan, "PKB jangan merasa menjadi solo agent (agen tunggal) dalam capres-cawapres yang melibatkan tokoh NU. Cawapres NU tak harus melalui PKB, karena yang diminta adalah tokoh NU. PKB tak berhak melarang dan di sini tak perlu ada yang tersinggung." (Ainur Rohim-78j)

No comments:

Post a Comment