SM - Kamis, 24 Maret 2005
Oleh: Wahidin dan Ismail
SETIAP agama memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. Kenyataan ini dapat ditelusuri pada agama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Keagamaan yang bersifat mistik (mistisisme) dalam lslam diberi nama tasawuf dan oleh orentalis disebut sufisme.
Sufisme, sebagaimana mistisme dalam agama Iain, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari dari mistisime, termasuk di dalam sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi. (Dadang Kahmad: 2002). Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tarekat. Tarekat secara harfiah berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tarekat sebagai sebuah jalan, dalam dunia tasawuf, banyak muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah, yaitu ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi semacam organisasi yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada wirid, zikir, tetapi pada masalah-masalah yang bersifat duniawi.
Dalam tasawuf, jumlah tarekat sangat banyak, tetapi kaum sufi mengelompokkan tarekat menjadi dua jenis, yaitu tarekat mu'tabar (thariqah yang mutashil (tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW), dan tarekat ghairu mu'tabar (thoriqoh yang munfashil (tidak tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad.
Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf sesuai dengan khittah ahlissunnah waljamaah. Dalam hal ini, NU membina keselarasan tasawuf Al-Ghazali dengan tauhid Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, serta hukum fikih sesuai dengan salah satu dari empat mazhab sunni.
Dalam kerangka inilah, Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) dibentuk, yaitu untuk memberikan sebuah rambu-rambu kepada masyarakat tentang tarekat yang mu'tabar dan ghairu mu'tabar.
Dari segi organisasi, Jatman secara de facto berdiri pada bulan Rajab 1399 H, bertepatan dengan Juni 1979 M. Tetapi, sebelum terbentuk Jatman, bibit organisasi tersebut telah lahir, yaitu Jam'iyyah Thariqah Al-Mu'tabarah. Kelahiran Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah tidak dapat dilepaskan dari
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-26 di Semarang. Tetapi, apabila dilihat dari segi ilmu dan amaliahnya, maka tarekat sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa agama Islam ke muka bumi. Nabi Muhammad menerima baiat dari malaikat Jibril, dan Jibril menerima dari Allah SWT.
Sebelum terbentuk Jatman, ulama-ulama Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aktif di dunia tarekat telah membentuk organisasi tarekat, dengan nama Jam'iyyah Thariqah Al Mutabarah. Pembentukan organisasi ini sebagai wadah untuk menetapkan tarekat-tarekat yang mu'tabar dan ghairu mu'tabar, sehingga umat Islam tidak terjebak dan salah dalam mengamalkan tarekat. Pembentukan organisasi ini sebagai langkah untuk menghindari gesekan atau perpecahan di tingkat grass root, akibat sikap fanatik yang berlebih-lebihan terhadap tarekat yang dianutnya. Hal ini dikarenakan kecenderungan pengikut suatu ajaran tarekat, dalam melakukan klaim kebenaran ajaran tarekat yang diikutinya.
Jam'iyyah Thariqah AI Mu'tabarah didirikan oleh beberapa tokoh NU, antara lain KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, Dr KH ldham Chalid, KH Masykur serta KH Muslih. Dengan tujuan awal untuk mengusahakan berlakunya syar'iat Islam dhahir-batin dengan berhaluan ahlussunnah wal jamaah yang berpegang salah satu dari mazhab empat, mempergiat dan meningkatkan amal saleh dhahir-batin menurut ajaran ulama saleh dengan baiah shohihah; serta mengadakan dan menyelenggarakan pengajian khususi/ tawajujuhan (majalasatudzzikri dan nasril ulumunafi'ah).
Jam'iyyah Thariqah Al Mu'tabarah pertama kali melakukan muktamar pada tanggal 20 Rajab 1377 atau bertepatan dengan 10 Oktober 1957 di Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang. Muktamar pertama diprakarsai oleh beberapa ulama dari Magelang dan sekitarnya, seperti KH Chudlori, KH Dalhar, KH Siradj, serta KH Hamid Kajoran. Pada muktamar pertama mengamanatkan kepada KH Muslih Abdurrahman dari Mranggen, Demak, sebagai rais aam.
Pada muktamar pertama. hal yang pertama dilakukan adalah memberikan bentuk serta pemahaman tentang thariqah aI-mu'tabarah. Dalam bahtsul matsail-nya, dibahas tentang definisi tarekat dan keanggotaan Jam'iyyah Thariqah Al Mu'tabarah, syarat dan kualifikasi seorang mursyid, khalifah dan badal, serta berbagai persoalan lainnya.
Dalam muktamar ini belum diputuskan tentang anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART), karena organisasi ini masih bersifat sebagai halaqah antara kiai-kiai yang mengamalkan tarekat. Sifat Jamiyyah Thariqah AI Mu'tabarah, sebagai sebuah halaqah masih tetap dipertahankan sampai Muktamar ke-5 yang berlangsung di Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 24-27 Rajab 1395 atau bertepatan dengan 2-5 Agustus 1975.
Gesekan Politik
Dari muktamar ke muktamar, KH Muslih Abdurrahman mendapat kepercayaan untuk memimpin Jam'iyyah Thariqat Al Mu'tabarah selama empat periode. Setelah itu, pada muktamar kelima yang diselenggarakan di Madiun, mengamanatkan kepada KH Musta'in Romly sebagai rais aam dan KH Anwar sebagai sekretaris aam. Di dalam periode ini, mulai muncul gesekan-gesekan dalam organisasi ini. Gesekan ini diakibatkan oleh adanya upaya depolitisasi yang dilakukan oleh Orde Baru, yaitu untuk menjinakkan organisasi massa. Orde Baru dengan mesin politiknya -Golkar- berusaha dengan sekuat tenaga agar jam'iyyah NU beserta neven-neven-nya dapat masuk ke sistem Orde Baru, sehingga NU yang pada waktu itu sebagai partai politik di paksa fusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dari persoalan itulah, maka sesepuh tarekat yang diprakarsai oleh KH Muslih Abdul Rahman, KH Turaichan Adjhuri serta KH Adan Ali mengajukan usul kepada sidang pleno syuriyah PBNU pada waktu Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, agar Jam'iyyah Thariqah tetap satu langkah, satu ittihad, dan tetap satu posisi dengan ahlus sunnah wal jamaah.
Seiring bergulirnya waktu dan dinamika organisasi, pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, secara tegas label "An-Nahdliyyah" dimasukkan ke dalam nama organisasi Jam'iyyah Thariqat AI-Mu'tabarah, hingga nama organisasi tarekat berdasarkan salah satu keputusan Muktamar NU ke-26 adalah Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabarah An- Nahdliyyah atau biasa disingkat dengan Jatman.
Berdasarkan salah satu hasil keputusan Muktamar NU ke-26 tersebut, maka penambahan "An-Nahdliyyah" pada Jam'iyyah Thariqah Al-Mu'tabarah secara resmi dilakukan. Hal ini sebagimana tertuang dalarn Surat Keputusan Pengurus Besar Syuriyah NU Nomor 137/ Syur.PB/V/ 1980.
Dalam kondisi masyarakat yang majemuk (plural), di mana sebuah ideologi terkadang menjadi momok di dalam menjalin hubungan antar sesama, terlebih bagi mereka yang berseberangan ideologi, maka sikap sektarian akan merugikan kelompok itu sendiri.
Demikian juga, untuk organisasi tarekat, apabila diperhatikan, organisasi tarekat yang berpaham ahlus sunnah waljamaah (aswaja) antara tahun 1957 - 1975 M, adalah organisasi yang merdeka, dalam arti tidak terkotak dalam sebuah frame organisasi.
Tetapi setelah tahun 1979, ketika organisasi tarekat berpaham ahlussunnah wal jamaah tersebut mencantumkan label "An Nahdiyyah", maka secara tidak sengaja telah membatasi diri pada sebuah ikatan ideologi organisasi, yaitu ideologi organisasi Nahdlatul Ulama (NU). (29)
-Ismail, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PW IPNU) Jawa Tengah. Wahidin, pengikut salah satu tarekat mu'tabarah (Thariqoh Dalailul Khairat).
No comments:
Post a Comment