Sunday, December 6, 2009

KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI: Eksistensi tarekat-kiai menyatukan umat

Duta Masyarakat Sabtu, 18 Juli 2009
Di pesantren Al-Fithroh, akan digelar haul akbar dan haflah dzikir Maulidurrasul, Sabtu-Minggu (25/26) mendatang. Inilah sosok Kiai Asrori Al-Ishaqi, pengasuhnya.

Dalam sebuah pengajian, KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi mengajak umat Islam untuk memahami pengertian tarekat secara proporsional. �Ada orang berpendapat miring tentang tarekat, dikira seseorang hanya disuruh berdzikir melulu tanpa bekerja. Ini menunjukkan sebuah kedangkalan pendapat dalam memandang tarekat,� tutur Mursyid Tarekat Qadiriyah Wan-Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman).

Kiai Asrori pun melanjutkan petuahnya. �Apa definisi dunia dan akhirat. Yang dinamakan dunia, kulluma yusdziruka anillah fahuwa dunya wakulluma yuinnuka alallah fahuwal ukhra. Apapun yang menghalangi, yang mendindingi yang mengganggu kita untuk menghadap kepada Allah, itulah dunia. Apakah itu berbentuk ilmu, ibadah, dzikir, bila tidak bisa didudukkan pada kedudukan yang betul-betul yang akan diterima dan di-ridhai oleh Allah, adalah dunia. Sebaliknya, apa pun, yang bisa mendorong, menolong, membantu kita untuk menghadap kepada Allah, jangankan ilmu yang mendorong kita beribadah kepada Allah, atau pun segala sesuatu ilmu yang bisa mendorong kepada ridha Allah, itu adalah akhirat.�

Dalam setiap ceramah Kiai Asrori, selalu mendapat perhatian intens dari umat Islam. Lalu, faktor apa yang mempersatukan umat Islam, yang setiap dengan ajaran-ajaran Sang Kiai? Umat rela berdesak-desakan selama berjam-jam? Dua sisi menjadi faktor penentu: tarekat dan eksistensi kiai� Kiai Asrori sendiri selaku Mursyid Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman).

Konon, almaghfurlah KH Utsman adalah seorang santri kesayangan KH Romli Tamim (ayah KH Musta�in) Peterongan, Rejoso, Jombang. Kiai Utsman dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta�in (sekitar tahun 1977), Kiai Utsman mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya, kawasan Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktivitas tarekat di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jamaah yang hadir semakin membeludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwah Kiai Asrori dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. �Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi�, ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu, Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al-Fithroh dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok Tanah Air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.

Jamaah Al-Khidmah

Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jamaah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekhawatiran. Banyaknya murid yang berbaiat di Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah menunjukkan, ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid-murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.

Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembina-annya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.

Maka dibentuklah wadah bernama Jamaah Al-Khidmah. Organisasi ini dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khatmil Al-Qur�an, Maulid dan Manaqib serta kirim doa kepada orang tua dan guru-gurunya.

Demikian sepenggal perjalanan dakwah yang dilakukan Kiai Asrori pada periode awal. Keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jamaahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta tarekat sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tarekat.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat tarekat. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah.n

No comments:

Post a Comment