Chaidir Anwar Tanjung - detikNews
(Foto: naqshbandi.org)
Kata suluk, bagi orang Riau atau Sumatera Utara dan Sumatera Barat bukan hal yang asing lagi. Bila ada warga yang menyebut akan bersuluk, itu artinya dia akan meninggal urusan duniawi sementara waktu, dan hanya akan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Untuk bersuluk, warga di Riau tinggal memilih di mana tempat yang akan dia tuju. Namun pusatnya untuk wilayah Riau berada di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Di sana ada 120 pondok untuk bersuluk atau tarekat. Masing-masing sarana suluk dapat menampung ratusan jemaah. Minimal satu lokasi suluk dapat dihuni 70 jemaah yang terdiri dari kaum hawa dan adam.
Banyaknya tempat-tempat persulukan itulah, makanya Kabupaten Rokan Hulu dijuluki
‘Negeri Seribu Suluk’.
Apa lagi di bulan suci Ramadan ini, aktivitas suluk semakin meningkat. Pondok-pondok suluk akan dijubeli jamaah untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bila bersuluk itu artinya kita berada di sebuah pondok pesantren yang diasuh para 'tuan syeh' atau bila di Pulau Jawa dikenal dengan istilah kiai. Dalam ajaran suluk ini mengacu pada aliran Tarekat Naqsyabandiah.
“Di bulan puasa seperti ini, di kampung saya itu malah masjid sedikit terlihat sepi. Ini karena warga lebih banyak mengikuti tarekat di pondok-pondok suluk itu. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di musala yang ada di tempat suluk itu. Mereka mendekatkan diri dengan cara berzikir saban hari dan meninggal sementara urusan duniawi,” ujar tokoh
budayawan Riau, Al Azhar yang berasal dari Rohul itu dalam perbincangan dengan detikRamadan.
Dalam aliran suluk Naqsyabandiah ini, masing-masing tempat jemaah pria dan wanita dipandu seorang mursyid (ustad). Dari sejumlah lokasi itu, nantinya akan dipandu salah seorang tuan syeh. Aliran suluk ini, jamaah harus memisahkan diri dengan sanak keluarganya, karena jamaah nantinya akan berada di persulukan yang telah disediakan tempat pemondokan. Dalam satu pondok tentunya dipisah antara pria dan wanita.
Masing-masing jamaah nantinya akan diberi kelambu. Kelambu putih inilah yang mereka sebut dengan istilah kuburan. Berada dalam kelambu berarti jamaah masuk dalam kuburnya. Bila keluar dari kelambu, maka jamaah berkumpul di suatu aula untuk berzikir bersama dipandu mursyid.
“Selama dalam suluk, jamaah Naqsyabandiah ini hanya berurusan dengan Allah. Mereka semata-mata menyerahkan dirinya kepada Allah,” kata Al Azhar yang juga dosen budaya di Universitas Islam Riau (UIR) itu.
Ada hal unik yang diyakini para jamaah Naqsyabandiah ini. Selama mereka mengikuti suluk, maka jemaah tidak memakan makanan yang berdarah. Makan yang berdarah itu dianggap yang harus melalui proses pembunuhan terlebih dahulu. Itu sebabnya, selama mereka suluk, mereka hanya makan lauknya dari sayur-sayuran.
“Ada sebuah keyakinan, kalau memakan yang berdarah sekalipun itu halal hal itu dianggap akan menghalangi mereka untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT selama proses suluk berjalan. Keyakinan ini sampai sekarang masih berlaku bagi jamaah suluk itu,” kata Al Azhar yang sudah berkepala lima itu.
Selama pemondokan ini, keseharian jamaah melaksanakan salat fardu dengan berjamaah. Selepas itu, bersama mursyid mereka menggali ilmu-ilmu Islam dalam berserah diri kepada Allah. Hari-hari mereka hanya salat, zikir dan mengaji.
“Itu sebabnya, mereka tidak pernah putus air wudhunya. Kalau batal, mereka segera berwudhu, karena mereka yakin, hanya dengan bersuci kita bisa lebih dekat dengan Allah,” tutur Al Azhar.
(cha/nwk)
yeye
ReplyDelete