Tuesday, December 1, 2009

Spirit ”Budaya Tanding” di Pati

SM - 30 April 2008
  • Oleh Munawir Aziz
PANGGUNG  kehidupan warga Pati dewasa ini mewartakan kabar penting: tumbuhnya kesadaran kebudayaan yang begitu massif. Di kota itu, iklim kebudayaan yang sebelumnya terpenggal, termarjinalkan, dan terpasung dalam napas kelam kehidupan, kembali menggeliat untuk memimpikan harapan baru.
Impian besar itulah, yang sedang dirancang bersama oleh seniman, penyair, budayawan, dan aktivis yang bergiat dalam pemberdayaan daerah. Kelompok kreatif yang bergerak di lorong sempit kehidupan di kabupaten dengan jumlah penduduk 1.243.207 jiwa (BPS, 2006) itu sedang menyusun gerakan membangun Pati sebagai ikon perjuangan kebudayaan.

Akan tetapi, kampanye yang dilakukan oleh kelompok kreatif tersebut belum menemukan ruang segar untuk mewujudkan gagasan agung. Tak banyak pihak yang peduli dengan agenda kebudayaan.Hal itulah yang menjadi riak kecil perjuangan seniman di berbagai daerah. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan semangat membangun iklim kebudayaan yang lebih dinamis dan progresif.
Sebulan sekali, di Alun-alun Pati, diselenggarakan pentas ketoprak "Opor Bebek" yang diprakarsai oleh berbagai elemen. Grup kesenian ketoprak Pati yang melimpah, tampil secara bergiliran untuk memberi ruang ekspresi kebudayaan bagi warga Pati. Grup ketoprak itu, di antaranya Konyik Cs, Joyokusumo, Wahyu Budoyo, Cahyo Mudo, dan Marsudi Rini.

Tampilnya beberapa grup ketoprak secara rutin di Alun-alun Pati itu, membuka ruang ekspresi kesenian bagi warga Kota Bumi Minatani dan sekitarnya. Dengan demikian, apresiasi masyarakat terhadap kesenian lokal dan nilai kearifan lain akan terbangun secara utuh.

Walaupun digelar dengan semangat "keberanian" dan biaya dipikul sendiri, akan tetapi agenda itu menjadi peristiwa kebudayaan yang luar biasa. Selain itu, agenda rutin tersebut juga akan memberdayakan kesenian, membentuk masyarakat budaya (culture society), dan kesadaran kebudayaan.

Akan tetapi, yang patut disayangkan, letupan semangat dari berbagai kelompok kesenian di Pati itu tak diimbangi oleh dukungan dari pemerintah daerah (pemda). Pejabat dan kaum birokrat lainnya, belum terbuka hatinya untuk membantu penyelenggaraan pentas kesenian.

Bantuan yang diperlukan bukan menjadi simbol kemiskinan kaum seniman, melainkan lebih sebagai bentuk apresiasi kebudayaan dari pemerintah. Hal itulah, yang selama ini dirindukan oleh warga Pati. Pemerintah diharapkan tidak hanya memikirkan masalah politik, ekonomi, dan pendidikan, tetapi juga mendukung berkembangnya iklim kebudayaan sebagai brand image Kabupaten Pati.

Ide mengampanyekan Pati Kota Budaya perlu diadopsi dalam master plan kebijakan daerah, mengingat potensi kesenian dan kebudayaan di daerah itu begitu melimpah.

Miskinnya perhatian pemerintah itulah, yang membuat gerah kelompok seniman di Pati. Bahkan, diskusi kesenian yang digelar oleh seniman dan lembaga peneliti Jawa dari Unnes Semarang, beberapa waktu lalu, belum dapat "mengetuk hati" pemda. Padahal, sebagian seniman, penggiat kebudayaan, dan aktivis muda hadir untuk memberi sumbangan pemikiran dalam menggali, menghimpun, memetakan, dan menganalisis potensi kesenian yang luar biasa. Minimnya perhatian pemerintah itulah, yang menjadi muasal pementasan ketoprak "Opor Bebek" di Pati.

Perjuangan kelompok seniman menjadi peristiwa penting dalam lanskap sejarah kebudayaan daerah. Usaha kreatif itulah, yang disebut oleh Emha Ainun Nadjib (1995) sebagai "budaya tanding". Menurut Emha, budaya tanding merupakan perjuangan kebudayaan dari warga di grassroot untuk mengupayakan kekuatan oposisi kepada pemegang otoritas agar memberi celah pencerahan yang baru.

Perjuangan kebudayaan itulah, yang akan menjadi media dialog potensi dan ekspresi kesenian antarwarga. Maka dari itu, budaya tanding merupakan gerakan alami karena kesadaran "krisis kebudayaan".

Dalam lanskap sejarah, sebenarnya budaya tanding sudah mengakar dalam kehidupan warga Pati. Energi untuk menyajikan lorong alternatif di tengah kebuntuan hidup, telah ditorehkan oleh beberapa tokoh yang menyejarah. Syeh Jangkung atau Saridin menjadi simbol untuk melawan hegemoni yang menguasai kehidupan.

Saridin bukanlah tokoh yang waton ngeyel, melainkn memiliki pemikiran kreatif berdasarkan kepada kebenaran dan kokohnya prinsip. Nilai itulah, yang tertanam kuat dalam kehidupan warga Pati.

Selain itu, tokoh lain, Kiai Mutamakkin, menorehkan nama penting dalam catatan sejarah manusia Jawa. Hidup di Desa Kajen, Kiai Mutamakkin menjadi pegiat kebudayaan dan tarekat kreatif sehingga dianggap kontroversial oleh Kerajaan Demak. Maka dari itu, perjuangan keagamaan dan kebudayaan Kiai Mutamakkin yang luar biasa termaktub dalam naskah Serat Cebolek.

Peristiwa lain yang menebarkan aroma budaya tanding dalam kehidupan warga, yakni keteguhan kaum Samin Pati. Warga Samin yang tinggal di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan yang selama ini menjadi pegangan hidup. Kaum Samin menghormati sedulur liyan dan alam dengan sistem kebijaksanaan. Alam diperlakukan sebagai "makhluk hidup" yang tak boleh dieksploitasi. Maka, ketika muncul rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo, warga Samin angkat bicara. Bukan menentang rencana pembangunan, melainkan mencari titik dialog tentang kearifan memperlakukan lingkungan.

Kaum Samin bukan tipe kelompok yang asal menentang, akan tetapi akan membendung dengan gigih agenda eksploitasi lingkungan, karena berbenturan dengan falsafah kehidupan yang mereka anut.
Ruang Dialog Spirit budaya tanding seakan menjadi simbol perjuangan yang menderap dalam kehidupan warga Pati. Bukan sekadar ikut arus, melainkan berusaha mencari lorong alternatif yang memberikan pencerahan.

Bahkan, warga Pati yang menyebar di berbagai daerah lain, sebagian besar memiliki spirit keteguhan yang sama. Spirit budaya tanding itulah, yang hendaknya disadari berbagai pihak untuk merancang blue print pembangunan kesejahteraan warga Pati. Dengan demikian, iklim kehidupan warga akan lebih sejahtera.

Untuk itu, perlu ada ruang dialog yang lebih efektif antarelemen. Pemerintah, kaum intelektual, seniman, dan lapisan warga lainnya, perlu melakukan dialog intensif perbaikan sistem kehidupan di Pati.

Pemda hendaknya memiliki kesadaran untuk membantu dan memberikan dukungan bagi kaum seniman agar menyemarakkan atmosfer kebudayaan. Ruang dialog itulah, yang dirindukan oleh berbagai elemen, sehingga kemajuan warga Pati akan teraktulisasi dalam ranah kehidupan nyata.(68)

– Munawir Aziz, seniman dan pegiat kebudayaan di Pati.

No comments:

Post a Comment