Tuesday, December 1, 2009

Meneguhkan Rembang Kota Santri

SM - 09 Oktober 2008
  • Oleh Mohammad Nasih
TERLETAK di pantai utara Jawa, Rembang menjadi daerah yang dikenal sebagai penghasil garam. Rembang juga terkenal karena tokoh emansipasi perempuan RA Kartini. Bukan hanya itu, daerah ini dikenal sebagai kota santri, karena memiliki banyak pondok pesantren. Pesantren-pesantren besar dapat ditemukan di berbagai penjuru Rembang.

Di Kota Rembang yang terletak di bagian barat, tepatnya di Leteh, terdapat pesantren-pesantren yang diasuh para kiai yang reputasi nasional, seperti KH Musthofa Bisri (seniman-penyair), serta Cholil Bisri (almarhum, tokoh PKB). Ada pula Pondok Pesantren al-Furqan di Kasingan, yang menurut catatan sejarah merupakan cikal bakal pesantren-pesantren di Kota Rembang.

Di bagian tengah, pusat pesantren terdapat di Kota Lasem, yang pernah melambungkan nama ula-ma besar KH Ma’shum (alm) dari Pesantren al-Hidayat dan KH Khalil (alm) dari Pesantren an-Nur.

Kedua pesantren itu berada di Desa Soditan. Nama Bani Ma’shum makin terkenal karena prestasi intelektual yang dicapai putera KH Ma’shum, yakni Ali Ma’shum, yang kemudian memimpin Pondok Pe-santren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Sedangkan di ujung timur Rembang, pusat pesantren berada di Kecamatan Sarang yang diasuh oleh KH Maemun Zubeir, seorang ulama yang sangat berpengaruh di PPP.

Awalnya, pondok pesantren menjadi pusat pendidikan agama yang mengambil posisi nonakomodatif terhadap pendidikan modern ala Belanda. Di pesantren, para santri hanya mempelajari ilmu-ilmu agama yang meliputi teologi, fikih, dan tasawuf, di samping mempelajari ilmu-ilmu alat: sharf dan nahwu (tata bahasa Arab).

Ilmu alat sangat diperlukan, karena kitab-kitab yang dipelajari adalah kitab kuning yang rata-rata tak menggunakan tanda-tanda baca atau harakat. Membaca dan memberi arti secara benar tak mungkin bisa dilakukan jika tidak menguasai ilmu alat dengan baik.

Meski terdapat berbagai disiplin ilmu agama yang dipelajari, disiplin fikih dapat dikatakan sangat dominan. Fikih dipandang sebagai disiplin ilmu untuk melaksanakan amal ibadah dan aktivitas kehidupan keseharian.

Disiplin teologi tidak banyak dipelajari, karena lebih banyak bergulat di wilayah pemikiran spekulatif yang oleh kebanyakan ulama dikhawatirkan akan menyebabkan kebingungan dan kebimbangan. Karena itu, biasanya pelajaran teologi hanya diberikan dalam proporsi yang tidak banyak, dan para santri lebih ditekankan kepada sikap doktriner.

Sedangkan tasawuf menjadi kurang dipelajari, karena terdapat semacam kesalahpahaman bahwa tasawuf merupakan ilmu kaum tua. Karena itu, jarang santri muda yang ikut dalam pengajian kitab-kitab tasawuf. Rata-rata yang mempelajari kitab-kitab tasawuf dan masuk ke dalam tarekat adalah mereka yang sudah berusia separo baya.

Pendidikan Umum

Lasem di masa hidup KH Ma’shum dan KH Khalil pernah mendapatkan julukan sebagai kanz al-’ilmi (gudang ilmu). Itu karena keduanya dipandang sebagai ulama yang sangat mumpuni dan pernah berguru langsung kepada para penulis kitab-kitab yang cukup monumental. KH Khalil pernah berguru kepada Syaikh Mahfudh al-Turmusi di Makkah, dan selama bertahun-tahun menjadi katib khash (sekretaris khusus)-nya.

Karena popularitas sebagai gudang ilmu inilah, banyak santri datang dari berbagai daerah yang secara geografis sangat jauh, bahkan tak sedikit dari luar Jawa. Mereka datang dari jauh, semata-mata untuk memperdalam ilmu agama. Setelah kembali ke tempat asal, biasanya mereka yang memiliki prestasi menonjol mendirikan pesantren dan menjadi ulama di daerah masing-masing untuk memperkuat pendidikan agama Islam.

Seiring perjalanan waktu, pondok-pondok pesantren kemudian mengizinkan para santrinya untuk juga menuntut ilmu-ilmu umum di sekolah umum, baik SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA. Bahkan tidak sedikit pesantren yang mendirikan sekolah umum di lingkungan pesantren sendiri.

Pondok Pesantren al-Furqan kini telah memiliki sekolah terpadu, mulai TK sampai SD Islam. Bahkan Ponpes al-Hidayat sudah memiliki MA. Karena itu, para santri dapat merambah pada lingkup disiplin ilmu yang lebih luas di luar disiplin ilmu agama. Setamat dari pesantren, tidak sedikit santri yang juga menempuh pendidikan umum melanjutkan ke perguruan-perguruan tinggi agama atau perguruan tinggi umum.

Karena basis pendidikan agama yang mendalam di pesantren, juga penguasaan ilmu alat yang lebih baik, biasanya santri yang melanjutkan ke perguruan tinggi agama menjadi mahasiswa yang menonjol. Sebab, mata kuliah agama di perguruan tinggi agama sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dari pelajaran agama di pesantren.

Bahkan bisa dikatakan cenderung mengulang pelajaran-pelajaran di pesantren. Karena itu, mahasiswa yang memiliki basis pendidikan pesantren mampu mengikuti pendidikan tinggi dengan lebih cepat, dengan hasil memuaskan, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjadi tenaga pengajar (dosen) di IAIN/UIN. (32)

— Mohammad Nasih, pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Mlagen, Pamotan, Rembang.

No comments:

Post a Comment