Tuesday, December 1, 2009

Kiai Dukuhseti Pendorong SBY dan JK (1): Santri Intelektual Asuhannya Bertebaran

SM Selasa, 05 Oktober 2004

SM/dok KH Nasihin


Nama KH Ahmad Khoirun Nasihin Marzuqi (biasa disapa Kiai Nasihin) kini mencuat bak meteor, seiring dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI dan M Jusuf Kalla (JK) sebagai wapresnya untuk masa bakti 2004-2009, melalui pemilihan langsung. Siapa kiai yang baru berumur 35 tahun itu? Berikut laporan berseri wartawan Suara Merdeka, Prayitno, yang diturunkan mulai hari ini.
DUKUHSETI, Kecamatan Dukuhseti, (Tayu) Pati, adalah desa di pesisir lereng timur laut Gunung Muria. Kampung yang berada sekitar 36 km dari Kota Pati itu, setidak-tidaknya hingga sekitar tahun 1996 begitu lekat di hati para lelaki yang suka berpetualangan dalam soal seks. Konon, di daerah tersebut dulu tak begitu sulit untuk mencari perempuan yang mau diajak kencan, meski dilakukan di desanya sekalipun. Namun sudah beberapa tahun terakhir konotasi miring yang dialamatkan ke desa tersebut mulai terkikis.
Setidak-tidaknya makin berpudarnya kesan jelek ini berkat andil keberadaan KH Nasihin dan pondok pesantrennya, Pondok AKN Marzuqi. Meski saat awal-awal didirikan, pondok di Dukuh Selempung itu hanya dipandang sebelah mata. Dalam perkembangannya, mulai ada perbedaan, dan pesantren tersebut pun mulai dikenal. Terlebih mulai terasa pada akhir 2003. Tepatnya saat Muktamar VIII JATMI (Jam'iyyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh Indonesia), dari 30 Agustus 2003 - 2 September 2003, di pondok itu.
Muktamar yang dibuka mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan ditutup Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang waktu itu masih menjabat menko polkam Kabinet Gotong Royong.
Di sela-sela muktamar, hadir pula Ketua MPR (1999-2004) Amien Rais yang didaulat untuk meresmikan bangunan pondok serta Menteri Informasi dan Komunikasi Syamsul Muarif. Adapun SBY kebagian meresmikan gedung SLTP dan SMU Telekomunikasi Terpadu di gedung empat lantai, dan dibangun di halaman depan pondok.
Datang bersama istri, SBY yang saat itu masih jauh dari isu pencalonan presiden, langsung disambut dan diajak masuk ruang tamu di tengah kediaman Kiai Nasihin. Tak jelas, apa yang dibicarakan atau dipesankan ke telinga saat itu, karena wartawan dilarang masuk.
Yang jelas, di depan muktamirin yang bersiap untuk kembali pulang ke kampung halaman masing-masing, kiai itu mengalungkan kain riddah warna dominan hijau tua, dan menyatakan SBY adalah calon presiden Indonesia masa depan. SBY juga tak lupa berpidato dan merespons harapan Kiai Nasihin, dengan gayanya yang datar.
Peristiwa itu tidak mendapatkan tempat yang cukup layak di media massa cetak dan elektronik. Apalagi sesudahnya, peran dan hubungan Kiai Nasihin dan SBY (yang belakangan ketahuan begitu dekat), sama sekali tak terpublikasikan.
Hanya kalangan dekat kiai saja yang mengikuti dan mengetahui secara persis, bagaimana kisah pertalian komunikasi antara dia dan SBY. Demikian pula melangkah hubungan dengan Jusuf Kalla (JK) mulai terbangun makin kental. Jauh sebelum secara resmi SBY menyatakan berpasangan dengan JK sebagai capres dan cawapres, Kiai Nasihin juga telah menyatakan keduanya sebagai pasangan yang tepat.
Teknorat dan Birokrat
Kalangan dekat Kiai Nasihin yang tahu semua itu, di antaranya Kurniawan Wiraatmadja, salah satu santri pondok tersebut yang mengikuti semua proses, saat gurunya mendapukkan (mempertemukan) SBY dan JK sebagai pasangan capres dan cawapres. ''Ya, saya mendampingi dan mengikuti seluruh proses itu,'' kata Kurniawan, Account Manager PT Telkom, kepada Suara Merdeka, semalam.
Proses perburuan mencarikan ''jodoh'' bagi SBY itu dilakukan beberapa bulan sebelum diketahui siapa saja calon presiden yang akan bertanding. Entah siapa yang memberi informasi sebelumnya, atau karena hanya insting saja. Saat Jusuf Kalla masih mengikuti konvensi calon presiden Partai Golkar, Kiai Nasihin datang ke kediaman Menko Kesra itu.
Didampingi santrinya (Kurniawan), kiai tersebut ''mengidentifikasi'' wajah JK dengan memakai meteran. Tak banyak komentar yang keluar dari mulut kiai saat itu. Tetapi selepas bertatap muka dengan JK di rumahnya, Kiai Nasihin kembali pulang dengan perasaan lega dan mantap.
Mungkin cukup aneh jika Kurniawan yang sehari-hari berkantor di Bandung adalah salah satu murid Kiai Nasihin. Tapi pengakuan Kurniawan lewat emailnya menyatakan, sudah sekitar 11 tahun menjadi santri kiai itu. Lelaki Sunda berumur 32 tahun, yang sudah delapan tahun bekerja di PT Telkom tersebut, saat ini sedang menyelesaikan S2 di Magister Manajemen Bisnis dan Administrasi Teknologi ITB.
Tak hanya Kurniawan, ada belasan santri ''kelas jauh'' Kiai Nasihin yang menjadi karyawan Telkom, dan di posisi/level menengah hingga atas. Misalnya, Ir Walad H Aris Abdillah, pria kelahiran Pati, 31 tahun lalu. Dia telah menjadi santri Kiai Nasihin sejak 16 tahun lalu.
Kadar kedekatan Kiai Nasihin dengan para santri ''khusus'' itu bisa dilihat saat dilangsungkan Muktamar JATMI yang kemudian mengantarkannya menjadi Mustasyar organisasi tarekat itu. Santri atau murid Nasihin yang pejabat, teknorat, dan intelektual terlibat sebagai panitia lokal hajatan puncak JATMI.
Mereka bukan santri biasa, terlihat dari sikap profesionalisme dalam mengatur acara seremonial, dan melayani kebutuhan informasi yang diperlukan wartawan. Bahkan, sekitar pondok yang sebelumnya masih merupakan blankspot area untuk jaringan telepon seluler, kini sudah terdapat sinyal penuh. Tak salah bila dipastikan itu antara lain berkat tangan-tangan terampil pejabat Telkom yang menjadi santri Kiai Nasihin.
Di luar para santri khusus itu, saat ini Pondok AKN Marzuqi memiliki 700 santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. SLTP (dan nanti) diteruskan SMU Telekomunikasi Terpadu, yang tahun ini mulai menerima siswa.
Melihat keberadaan dan perkembangannya kini, sepertinya pondok itu tidak berada di wilayah dukuh yang dipenuhi tambak. Jaringan telepon saat Mukmatar JATMI masih asing, sekarang telah sampai di wilayah pondok. Pondok pun sudah membuka wartel.
Begitu pula perkembangan bangunan fisik pondok. Saat ini sudah banyak perubahan. Kondisi tersebut berbeda jauh ketika digelar Muktamar JATMI. Kini, masjid di halaman depan kiri wilayah pondok sudah dibongkar, dan berubah menjadi halaman parkir yang luas, di antaranya terparkir bus dan mobil pondok. Sedangkan kediaman Kiai Nasihin yang dulu masih terasa cukup sempit, kini menjadi makin luas dan berlantai dua.(69t)

No comments:

Post a Comment