Wednesday, December 2, 2009

Ilmu Sihir dalam Pilpres

Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad

Serambi Indonesia 7 July 2009

PENGGUNAAN ilmu sihir dalam Pilpres tanggal 8 Juli 2099, seperti muncul dalam berita harian Serambi Indonesia ( 5/07/ 2009) kemarin, tentu sebagaimana biasa, jika ada persoalan sihir di dalam politik, maka yang angkat bicara biasanya adalah Permadi, sambil menuduh dan menantang SBY untuk membuktikan jika ada permainan sihir di dalam pilpres kali ini. Bahkan Pramono Anum menandaskan bahwa itu tidak ada di dalam pikiran mereka dan out of context.

Prinsipnya, ini bukanlah hal yang luar biasa di dalam setiap Pilpres atau Pileg (Pemilihan Caleg). Sebab penggunaan ilmu sihir adalah bagian dari ritual mereka yang tidak percaya diri, untuk bisa dipilih menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Namun hingga saat ini, belum ada pembuktian secara ilmiah, bagaimana sesungguhnya ilmu sihir digunakan di dalam pilpres. Bahkan, tidak mungkin menyuruh seseorang untuk mengakui bahwa dia adalah penganut ilmu sihir atau punya kelebihan di dalam menyihir orang lain.

Sambil membaca berita ini, saya membuka satu buku, A Study of Magic and the Self (1995), yang ditulis oleh Michelle Stephen, salah seorang antropolog dari Universitas La Trobe Australia, yang melakukan penelitian tentang dunia sihir di Papua Nugini. Ditulis , magic adalah bagian yang cukup penting di dalam literatur ilmu antropologi saat ini, khususnya dalam hal ritual dan simbolisme. Ketika saya rujuk pada buku Other Cultures (1969), karya John Beattie, disebutkan bahwa di dalam setiap masyarakat, penggunaan magic adalah hal yang tidak dapat diabaikan, karena itu sudah ada di dalam masyarakat. Konon, kajian tentang sihir sebagai bagian dari studi sosial-antropologi. Karena itu, saya ingin meletakkan sihir ini sebi, bukan sesuatu yang sangat ‘menyeramkan’.

Bagi saya, sihir itu, walaupun tidak masuk akal, namun bisa dirasionalisasi secara baik, jika dijadikan sebagai objek ilmu, bukan subjek ilmu. Walaupun caranya bermacam-macam, namun penggunaan ilmu sihir lebih pada penggunaan mantra dan symbol. Lalu ‘dikirim’ kepada si lawan atau target. Sehingga, lawan bisa mati, sakit, gila, atau tidak punya rasa percaya diri. Maka semakin orang ‘dipagar’ maka semakin kuat pengirim benda sihir ke atas badannya. Sehingga mereka yang ‘dipagar’ dengan ilmu non-sihir akan menolak secara cepat atau perlahan-lahan dari setiap ‘benda’ sihir yang dikirimkan. Jadi, perkataan SBY ini ada benarnya, walaupun saya yakin, tidak begitu sulit untuk dibuktikan.

Mengingat orang Aceh sendiri tidak sedikit yang menganut ilmu sihir dan suka menyantet orang lain. Di Pulau Jawa dan juga di Aceh, mereka yang bersekutu dengan Jin/Iblis/Syaitan tidak sedikit. Bahkan di Aceh fenomena menyantet (peukeunong) adalah hal yang lumrah terjadi. Dari beberapa penelitian saya tentang mereka yang menggunakan ilmu ini, hampir semuanya tidak mau membuat pengakuan dan bahkan mereka yang mengobati, seolah-olah punya etika untuk tidak memberitahukan si pelaku. Sehingga, terkadang, si pasien dibiarkan di dalam kebingungan dan kegamangan. Alhasil, para penganut ilmu sihir pun tidak pernah terjerat oleh hukum. Biasanya yang mengutuk ilmu sihir ini adalah karma atau pantangan yang dia dapatkan dari Jin/Iblis/Syaitan atau guru sihirnya sendiri.

Dalam konteks ini, SBY memang sudah ‘dipersiapkan’ untuk melawan semua kekuatan jahat, walaupun tidak menutup kemungkinan ada kekuatan hitam yang pernah melindunginya. Saya berkeyakinan bahwa SBY pasti sudah pernah berjumpa dengan ahli-ahli tarekat untuk ‘diisi’ supaya ‘awas’ dari setiap kiriman sihir, baik dari lawan politik atau mereka yang sekedar ingin ‘mencoba’ kekuatan tubuh SBY. Jadi, secara ilmiah, tubuh yang ‘dipagari’ akan merasakan atau bahkan melawan kekuatan sihir. Ini sebenarnya dapat dikaji di dalam ilmu kosmologi; atau seperti yang pernah di tulis oleh Henry Corbin dalam bukunya Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (1969), ketika dia meneliti ahli sufi ternama, yakni Ibn ‘Arabi yang dikenal dengan konsep insan kamil (manusia sempurna). Teori ini juga dapat dibaca di dalam buku Pnina Werbner, Pilgrims of Love: The Anthropology of a Global Sufi Cult (2003).

Jadi, perkataan SBY itu tidak salah, walaupun susah untuk dibuktikan. Sebab, aroma gaib boleh jadi ada di dalam pilpres ini. Jika di dalam Pileg, tidak sedikit mereka yang menggunakan kekuatan gaib atau sihir, maka dalam Pilpres, fenomena ini juga tidak mungkin dapat ditutupi. Di Jakarta, mereka yang menekuni ilmu sihir cukup banyak, tugas yang paling tinggi adalah menjadi konsultan politik dan mengatur konflik di seluruh Indonesia. Kepakaran ahli sihir ini dapat diukur sejauhmana dan seberapa banyak pasukan Jin yang mereka miliki. Dari sinilah kemudian kekuatan sihir yang saling sambung menyambung hingga ke seluruh pelosok Indonesia.

Walaupun ini tidak masuk akal, namun kekuatan sihir ini tidak mampu melawan dua hal yaitu taqdir dan ulama yang memiliki kemampuan walayah (kewalian). Sebab itu, ketika SBY naik tahta, ada beberapa mursyid tarekat yang pernah dia jumpai, untuk melindungi diri dan keluarganya. Secara taqdir, manusia itu memang kadang sudah ditetapkan oleh garis kehidupan untuk posisi tertentu, hingga berita ini diketahui oleh Jin/Iblis/Syaitan, yang kemudian memberi tahu kepada penganut atau penyembah mereka, untuk mengirim gangguan. Lalu, terjadilah seperti yang diungkapkan atau dirasakan oleh SBY pada tanggal 2 Juli yang lalu.

Di atas itu semua ada beberapa manusia yang memang memiliki kelebihan dalam hal kebatinan. Mereka sanggup dan mampu menerawang, kadang bahkan dijadikan sebagai rujukan utama di dalam melihat masa depan. Para penganut kebatinan ini adalah sebagian mereka yang dekat dengan poros kosmologi, sehingga berita alam ini seolah-olah sudah mereka ketahui, sebelum manusia biasa dapat mengetahuinya. Di Jakarta, kelompok inilah yang menjadi penyaing kuat bagi mereka yang ahli di dalam sihir. Mereka juga menjadi konsultan bagi dunia kecerdasan (intelijen).

Jadi, fenomena sihir di dalam kekuasaan adalah sebuah hal yang tidak dapat disangkal. Hanya saja, dalam konteks keindonesiaan, percampuran ilmu sihir dan ilmu non-sihir sudah teraduk-aduk menjadi bubur, dimana susah untuk dibedakan, namun bisa dirasakan. Akibatnya, sulit bagi kita untuk menarik, mana yang benar-benar sihir dan bukan sihir. Saya berasumsi bahwa karena pengakuan sihir ini tidak dapat dipaksakan, maka sihir ini kemudian menjadi fitnah. Inilah yang terjadi ketika SBY merasakan ada yang menyihir dia dan keluarganya.

Pengakuan SBY disihir sebenarnya tidak harus dilemparkan ke publik, melainkan ditelaah oleh mereka yang ‘memagari’ SBY. Sehingga, pertempuran alam gaib tidak menjadi kosumsi publik, khususnya mereka yang tidak percaya pada adanya kekuatan sihir di dalam kehidupan ini. Hemat saya, para penganut sihir di Indonesia yang cukup banyak, khususnya mereka yang mampu mengendalikan ribuan atau bahkan jutaan Jin untuk dijadikan bala tentaranya. Oleh karena itu, yang paling penting adalah bukan mengaku telah disihir, melainkan mencari cara supaya tidak dapat dimasuki sihir. Karena Allah sendiri sudah mengatakan bahwa jin itu ada di dalam bentuk rupa manusia dan jin itu sendiri.

Tugas para penganut sihir adalah mengelola konflik secara baik, menyebarkan fitnah, dan pertumpahan darah. Mereka pandai mengatur sirkulasi pertumpahan darah di seluruh Indonesia. Kepakaran ini juga kadang dipakai oleh pemerintah Indonesia, khususnya mereka yang selalu menyebarkan fitnah dan pertumpahan darah. Dalam konteks ini, sebenarnya SBY sedang berdialog dengan dirinya sendiri, dimana kekuatan sihir boleh jadi ada disekitar dia sendiri. Sebab itu, yang muncul adalah kegamangan dan sikap mencari lawan, yang pada ujungnya menyebabkan saling bermusuhan.

Jika kita merasa telah disihir, maka satu-satunya cara mengadu pada Sang Pencipta, bahwa anggaplah ini cobaan dari Allah, dan hanya Allahlah yang sanggup membalas semua kekuatan sihir tersebut. Dari beberapa ahli pernah mengkaji masyarakat yang bertumpu pada sihir, saya punya kesan bahwa sihir adalah kelemahan manusia yang tidak percaya pada diri sendiri sebagai khalifah Allah. Jadi, yang perlu dicari adalah bagaimana kita bisa mendapatkan cara mengenal diri, seperti ungkapan: man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal diri sendiri, maka dia sudah mengenal Tuhan-nya). Inilah tugas SBY selanjutnya!

* Penulis adalah kandidat Doktor pada Departemen Sosiologi dan Anthropologi, La Trobe University, Australia.

No comments:

Post a Comment