
Saat itu, langit terang benderang menyinari seluruh bumi. Pria itu bagai melihat layar lebar di depannya. Ia memeras otak untuk mengenali sosok tubuh itu. "Itu Presiden Soeharto," katanya dalam hati. Sejurus kemudian, kaki Soeharto menjejak di bumi. Ledakan hebat menggelegar.
Awan yang tadi menyelimuti pinggang tiba-tiba masuk ke perut Soeharto lewat pusar. Langit gelap gulita. Tak lama kemudian, seberkas cahaya terang keluar dari tengkuk Soeharto. Bola cahaya itu terangkat meninggi. Langit kembali terang benderang. Bumi menjadi cerah.
KH Achmad Muzakky Syah, pria yang sedang berzikir tadi, tidak beranjak dari tempat duduknya. Aneh, seakan-akan rohnya menangkap cahaya tersebut dan masuk lewat mulut. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qodiri, Patrang, Jember, Jawa Timur, itu merasakan ada sesuatu dalam tubuhnya. "Ada apa ini?" Muzakky bertanya-tanya.
Lewat tengah malam, usai menyaksikan kejadian "aneh" itu, ia tak bisa tidur. Ia merasa cahaya yang masuk ke tubuhnya berbicara agar dicarikan tempat tubuh yang umurnya lebih muda dari dia. Ia menangkap gambaran sosok tubuh yang dituju. Tapi tidak mengenali persis siapa orangnya.
Sejak kejadian 23 Oktober 1997 itu, selama tiga hari Muzakky merasakan hawa panas. "Semua orang yang saya ceritai tidak ada yang percaya. Termasuk anak saya," kata Muzakky. Bagai orang linglung, Muzakky ngomong ngalor-ngidul.

Muzakky manut saja. Padahal, saat itu Jakarta sedang dilanda aksi demo dan rusuh. Sang kiai dibawa ke sebuah hotel di Cempaka Putih, di kamar 9 lantai 9. Saat itulah Muzakky bertemu Susilo Bambang "SBY" Yudhoyono, Kepala Staf Teritorial ABRI yang diutus Wiranto bertemu Muzakky.
Tiba-tiba tubuh Muzakky bergetar hebat, seolah-olah ada yang mau keluar dari tubuhnya. Setelah menatap mata SBY, bisikan muncul: "Ini orangnya." "Berapa umurmu," tanya Muzakky. Setelah dijawab 48 tahun, Muzakky makin yakin. Sebab, umur SBY lebih muda setahun ketimbang Kiai Muzakky.
Setelah tahu nama SBY, tanpa basa-basi Muzakky langsung memegang kepala SBY dan menciumi ubun-ubunnya. Kepala SBY penuh ludah Kiai Muzakky. Anehnya, meskipun kamar hotel ber-AC, kedua tubuh itu mandi keringat. Sebuah kebetulan atau tidak, semua terjadi pada angka 9: pukul 9, di kamar nomor 9, lantai 9.
Prosesi aneh ini disaksikan Munawar Fuad Noeh, penulis buku SBY dan Islam. Kemudian H. Ali Mudori, anggota DPR dari PKB, dan Suyuti. Kepada ketiga saksi, Muzakky bilang bahwa SBY seorang presiden. Muzakky berpesan agar SBY jujur. Keduanya tidak boleh bertemu sampai SBY jadi presiden.
Sejak itu, SBY-Muzakky hanya berhubungan lewat telepon. Saat kampanye putaran terakhir di Aceh pada pemilu presiden putaran pertama, SBY menghubungi sang kiai, minta doa agar selamat. Doa Muzakky lewat telepon diamini SBY. Setelah itu, keduanya bertelepon dua kali lagi, 22 Juli dan 26 Agustus, persis setiap malam Jumat Legi.

Akhirnya, seperti sama-sama kita saksikan, pasangan SBY-Jusuf Kalla (JK) tidak hanya lolos di pemilu putaran pertama. Sampai Rabu lalu, SBY-JK mengungguli perolehan suara (60%) pasangan Megawati-Hasyim Muzadi (40%). Meskipun Komisi Pemilihan Umum baru resmi mengumumkan pemenang pemilu pada 5 Oktober nanti, perolehan suara SBY-JK tampak tak terbendung. Seperti "bisikan aneh" Kiai Muzakky, SBY tampaknya bakal menjadi presiden, menggantikan Megawati Soekarnoputri.
"Tanda-tanda" SBY bakal menjadi orang nomor satu di negeri ini juga diutarakan KH Ahmad Khairun Nasihin. Pengasuh Pesantren AKN Marzuqi, Desa Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah, itu mengaku gelisah begitu Presiden Abdurrahman "Gus Dur" Wahid dilengserkan oleh MPR karena kasus Bulog. Ia lantas salat istikharah berulang-ulang, eh, yang muncul sosok SBY. "Padahal, saya belum kenal beliau," kata Nasihin.
Suatu ketika, Ketua Jam'iyah Ahli Thariqoh Mu'tabaroh Indonesia (JATMI), Maktub Effendy, menghubungi Kurdi Mustofa, 52 tahun, staf pribadi SBY. Intinya, Maktub mau beraudiensi dengan Menko Polkam itu mengenai rencana Muktamar JATMI. Saat itulah Maktub memperkenalkan Nasihin, Ketua Penasihat (Mustasyar) JATMI, kepada SBY di kantor Menko Polkam. Organisasi ini mengundang SBY saat Muktamar JATMI di Pesantren AKN Marzuqi, 3 September 2003.
Saat itu, hadir sejumlah petinggi penting negeri ini. Selain Gus Dur, ada Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua MPR Amien Rais, Wakil Presiden Hamzah Haz, serta Menteri Komunikasi dan Informasi Syamsul Mu'arif. Dalam acara itu, Kiai Nasihin secara eksplisit mendukung SBY menjadi salah satu kandidat capres. Bahkan, di depan peserta muktamar, Nasihin mengalungkan serban ke pundak SBY seraya memeluk tubuh tinggi tegap itu. "Ini untuk mengikat bangsa," kata Nasihin. "Siap," sahut SBY.
![KH Achmad Muzakky Syah [Kiri] Saat Bertemu Dengan SBY (GATRA/Taufan Luko)](http://www.gatra.com/images/gambar/128/25.jpg)
Benarkah langkah-langkah politik SBY "didikte" lewat kejadian-kejadian "aneh" itu? Memang, sejak banyak orang menggadang SBY sebagai pemimpin, banyak orang berkontribusi memberi taushiyah (nasihat), terutama kiai. "Semua dihormati dan ditempatkan sama, sepanjang taushiyah ulama itu bersumber dari Al-Quran dan sunah Rasulullah," kata Kurdi Mustofa.
SBY akan nurut (sami'na wa atha'na). Di mata SBY, tidak ada guru spiritual yang sangat khusus, baik Nasihin maupun Muzakky. Menurut Kurdi, pemahaman agama SBY dipupuk secara otodidak dengan membaca buku-buku yang luar biasa banyaknya.
Dari 15.000 judul buku di perpustakaan pribadi SBY, 15% di antaranya buku-buku agama. Bukan hanya empat jilid buku Harun Yahya tentang perkembangan Islam, semua tafsir Al-Quran yang telah diindonesiakan --antara lain tafsir Al-Azhar, Buya Hamka, dan Ibnu Katsir-- tersedia. Buku Cak Nur juga diminati. Semua itu, kata Kurdi, dilahap SBY sebagai obat stres.
Bagi KH Ahmad Mubarok, kolega SBY yang juga pendiri Partai Demokrat, SBY sangat rasional. "Dia tidak mau menyakiti orang," kata Mubarok. Bahkan, menurut KH Ma'ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, SBY tidak perlu seorang penasihat spiritual. "Beliau itu sudah jadi. Pemahaman agamanya sudah bagus, tidak perlu saya isi lagi," kata Amin.

Akhirnya, Amin menulis dalam enam lembar kertas berjudul "Mengapa Harus Pilih SBY?". Orang dekat SBY kemudian mencetak menjadi buku berjudul Mengapa Wajib Pilih SBY? Menurut sumber Gatra, Ma'ruf Amin sengaja didekati. Di tengah minimnya dukungan kiai representasi NU, masuknya Amin mengesankan SBY-JK didukung kiai-kiai NU. Hal ini penting, karena SBY-JK harus berebut suara NU dengan pasangan Mega-Hasyim.
Di sisi lain, SBY sangat berkepentingan meng-"hijau"-kan dirinya. Mengapa? Tentunya untuk menghadang isu-isu miring yang menerpa dirinya sepanjang pemilu presiden 5 Juli dan 20 September lalu. Soal istri SBY, misalnya. Hanya karena namanya Kristiani Herrawati, anak Jenderal Sarwo Eddie Wibowo itu dicap sebagai pemeluk Kristen.
SBY juga disebut sebagai muslim abangan yang pindah agama, dikelilingi orang nonmuslim, bahkan menangkapi aktivis Islam. Semua itu membuat SBY kerepotan. Tapi SBY bukanlah jenderal kemarin sore. Peraih penghargaan Adi Makayasa di Akabri tahun 1973 itu punya kalkulasi politik yang matang mengapa perlu mendekati kelompok "hijau" (baca: Islam).
Lewat staf khusus keagaman yang direkrutnya, SBY menganalisis secara matang, kiai-kiai dari pesantren mana saja yang perlu didatangi. Jika menyangkut ormas, seberapa besar jaringannya. "Prioritasnya, bagaimana nilai strategis pesantren dan ormas itu bagi dukungan SBY," kata Munawar Fuad Noeh, staf keagamaan khusus SBY.
Fuad, alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan dosen agama di STIE Perbanas, bertugas menganalisis itu. Fuad harus menyelami pengaruh pesantren di masyarakat dan seberapa besar tingkat karisma tokoh pesantren yang akan didatangi SBY. Pointer-pointer apa saja yang harus disampaikan SBY pun dibahas khusus. Bahkan, bagaimana mengeja nama pesantren dan nama kiai yang benar menjadi perhatian khusus. Bagi orang lain mungkin, ini sepele. Tapi, bagi SBY, ini serius.

Lewat Mubarok, disaksikan Sudi Silalahi, SBY dibaiat sebagai anggota Thariqoh Naqshbandi Haqqani, Juli 2003. Yang membaiat pria kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949, itu adalah Syaikh Muhammad Hisham Kabbani. Kabbani adalah orang kedua thariqoh ini setelah Syaikh Nazim Al-Qubrusi Al-Haqqani di Cypruss. Kabbani tinggal di Washington, Amerika Serikat. Setelah membaiat, mata batin Kabbani mengatakan, SBY akan "menjadi" presiden. "Jadi! Jadi!" ujar Mubarok, menirukan ucapan Kabbani kepada SBY kala itu.
Lewat para "cantrik" politik inilah, tema besar "silaturahmi" SBY dibangun. Ini, kata Fuad, guna membangun citra SBY sebagai bapak bangsa dan tokoh nasionalis-religius --seperti ideologi Partai Demokrat. Dengan kalkulasi yang matang, di tengah sempitnya waktu, semua digelar dengan takaran yang tepat dan terukur. Jangan sampai overdosis.
SBY, kata Fuad, berusaha menjaga titik keseimbangan hubungan dengan berbagai kalangan dan kelompok agama. SBY tidak mau dikesankan tenggelam pada kelompok agama tertentu. Ia belajar dari rendahnya dukungan pemilih kepada Hasyim Muzadi karena "terlalu" NU atau Amien Rais karena "kelewat" Muhammadiyah.
Fuad memberikan contoh. Ketika menghadiri zikir di Majlis Az-Dzikra pimpinan Arifin Ilham di Depok, 5 September lalu, SBY menolak memakai kopiah putih seperti yang dipakai jamaah. Ia mengenakan kopiah hitam untuk menjaga "netralitas" dan kesan sebagai tokoh nasional.
Wajar bila pada akhirnya SBY mendapat dukungan demikian luas dari kalangan "hijau". Tanpa dikomando, banyak kiai, kelompok masyarakat, atau pribadi-pribadi yang menggelar pengajian atau doa bersama secara diam-diam untuk SBY.

Seminggu penuh menjelang 20 September lalu, di rumah SBY di Jalan Bali, Blitar, Jawa Timur, digelar salat isya, diteruskan dengan salat hajat berjamaah. Dipimpin imam H. Abdullah Hafidz, tokoh agama setempat, aksi ini diarsiteki Siti Habibah, ibunda SBY. "Saya mohon doa untuk anak saya," kata Habibah kepada Nurul Fitriyah dari Gatra.
Aktivitas serupa dilakukan keluarga SBY di Desa Ploso, Pacitan, Jawa Timur. Tidak cuma itu. Tanpa diminta, sejumlah kiai bahkan mengirim doa-doa untuk SBY. Sebut saja KH Irfan Hielmy, pengasuh Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat. Pada 14 September lalu, Hielmy secara khusus mengirim doa-doa pendek untuk SBY dalam empat lembar kertas. Ada doa ketika menghadapi kesulitan luar biasa dan doa menghadapi rencana berat.
KH Abdul Mukti asal Magelang malah menciptakan salawat khusus, "Salawat SBY". Selama pemilihan presiden putaran kedua, SBY diminta Mubarok mengamalkan dua hal: tahajud semampunya setiap malam dan wiridan sebanyak 70.000 kali dalam majlis zikir dengan lafadh: hasbiyallah wa ni'mal wakil, ni'mal maulaa wa ni'man nashiir (bagi saya, cukup Allah sebaik-baik pelindung dan penolong).
Di Aceh, Tgk. H. Muhammad Daud Ahmady, 55 tahun, pada pemilihan pemilihan presiden putaran pertama hanya memberikan sinyal kepada santri dan masyarakat sekitar agar tidak memilih presiden wanita. Sedangkan pada putaran kedua, pimpinan Pesantren Darul Huda, Lueng Angen, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, itu mengultimatum santrinya untuk memilih SBY-JK.
Bahkan, Daud mengajak jamaah membaca surat Yaasin tiga malam berturut-turut di pesantrennya. Intinya, ia beroda agar rakyat memilih SBY-JK. Lewat itu semua, SBY akhirnya tercitrakan sebagai capres berwarna "hijau".

Sesepuh Pesantren Al-Munawwir, KH Zaenal Abidin Munawwir, secara khusus bersedia menerima SBY di ruang pribadinya, 21 Juni 2004. Itu dilakukan sebelum SBY berkampanye di Lapangan Denggung, Sleman. Padahal, Pak Kiai pernah menolak Megawati. Wiranto saat berpasangan dengan Salahuddin Wahid pun cuma diterima selama lima menitan. Bahkan, Amien Rais hanya diterima oleh istri KH Zaenal, Nyai Ida Fatimah Zaenal.
SBY memang luwes. Ketika masih aktif di militer, ia dikenal dekat dengan sejumlah kiai dan ulama di tempat berdinas. Contohnya, ketika menjadi Pangdam II/Sriwijaya di Palembang pada 1996, ia sering mengundang KH Muhammad Zen Syukri berceramah. Pimpinan Pondok Pesantren Undaris, Palembang, kelahiran Arab Saudi, 10 Oktober 1919, ini adalah sosok kiai sepuh yang punya pengaruh luas di Sumatera Selatan. Kiai dengan 1.500 santri ini, yang tak lain guru SBY, malah menjadi tim sukses SBY-JK di sana.
Tampaknya SBY memang selalu berupaya membekali dirinya sebelum terjun ke suatu komunitas. Ketika berinteraksi dengan kalangan pesantren, misalnya, ia dengan mudah berzig-zag. Bahkan bisa melebur dan menyatu. Sebab, sebelumnya ia sudah menyerap tradisi pesantren, bahkan menguasai idiom-idiom atau "bahasa politik" khas pesantren. Tak mengherankan bila komunikasi SBY dengan pengasuh pesantren berlangsung intens, gayeng, dan cair. "Pak SBY melakukan riset sendiri. Beliau membaca bagaimana kultur pesantren," kata Fuad.
Kalau belakangan SBY makin fasih dan akrab menggunakan kata "insya Allah", "tabayun" (cross check), "kami datang untuk bersilaturahmi", atau "mohon taushiyah para kiai", itu adalah hal biasa. Lewat "bahasa politik" pesantren inilah SBY bisa bermain cantik. Ia tidak pernah meminta dukungan dengan bahasa vulgar, seperti "mohon pilih saya" dan sejenisnya. "Ia ingin membangun hubungan langsung dengan pesantren, tanpa jarak, dan tak ingin pesantren menjadi objek politik," tutur Fuad.
Jika kemudian di kantong-kantong "pendukung sukarela" itu SBY-JK meraup banyak suara pemilih, tampaknya wajar-wajar saja. Di Sumatera Selatan, misalnya, pada pemilihan presiden putaran kedua, SBY-JK meraih mayoritas suara di delapan dari 12 kabupaten.
Di kantong-kantong "hijau" bekas pemilih Amien Rais-Siswono (di Aceh, misalnya) atau Wiranto-Wahid di wilayah "tapal kuda", atau komunitas pendukung PKS di Jakarta, banyak yang lari ke SBY-JK. SBY tampaknya paham benar, kiai --meminjam istilah sejarawan Kuntowijoyo-- memang ampuh dijadikan political broker.
Khudori, Asrori S. Karni, Alfian, Luqman Hakim Arifin, Syamsul Hidayat (Semarang), Noverta Salyadi (Palembang), Ibrahim Passe (Banda Aceh), dan Taufan Luko (Surabaya)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 47 beredar Jumat 1 Oktober 2004]
No comments:
Post a Comment