K.H. Akhmad Khairun Nasihin tokoh spiritual SBY. Dialah yang menjodohkan SBY dengan Jusuf Kalla.
"Ya, ini cocok untuk Bambang Yudhoyono," orang bersorban itu bergumam. Umurnya baru 35 tahun, ucapannya lirih, tapi mencerminkan ketetapan hatinya, tanpa ragu.
Ya, peristiwa itu terjadi sekonyong-konyong. Di ruang tamu rumah dinasnya di Jalan Denpasar, Jakarta, Jusuf Kalla—waktu itu masih Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat—terpana. Lelaki bersorban itu, K.H. Ahmad Khairun Nasihin, bergegas turun dari mobil, seraya langsung "mengukur" wajah Jusuf Kalla dengan meteran, dan salah seorang muridnya mencatat. Setelah "vonis" tentang pasangan itu, Kiai beserta rombongan cabut.
Peristiwa ganjil itu terjadi pada April silam, ketika Jusuf Kalla masih salah seorang peserta konvensi calon presiden dari Partai Golkar. Tak lama berselang, Jusuf Kalla pun menyatakan siap menjadi wakil presiden dari Partai Demokrat, partai yang menjagokan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden periode 2004-2009. Terakhir, Kalla mundur dari konvensi calon presiden Partai Golkar.
Kita tahu, pasangan SBY-Kalla lancar hingga pemilu presiden putaran dua. Tapi siapa, sih, kiai aneh di atas? Kiai Nasihin, sosok yang namanya jarang disebut—termasuk di kalangan nahdliyin sekalipun. Wawancaranya dengan Tempo adalah wawancara pertamanya dengan media massa. "Sebetulnya saya tak mau muncul," ujarnya. Tapi inilah Kian Nasihin: muda, ketua penasihat (mutasyar) Jam'iyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh Indonesia—sebuah organisasi yang mengurusi pelbagai tarekat di bawah Nahdlatul Ulama.
Ia lahir di desa terpencil Salempung, Kecamatan Tayu, Pati, Jawa Tangah. Nasihin muda menghabiskan hidupnya dari satu pesantren ke pesantren lain: dari Pati, Kudus, Kajoran, Bangilan, sampai Banten. Pada usia 25 tahun, ia memutuskan pulang kampung, kembali ke desanya, mendirikan Pesantren A.K.N. Marzuqi—perpaduan dari singkatan namanya sendiri dan nama ayahandanya. Pesantren kecil itu berkembang cepat. Kini 700 santri memperdalam bermacam ilmu, dari nahwu, sharaf, hadis, hingga tauhid.
Pendidikan memang sangat bermakna bagi Kiai Nasihin. Tahun ini, ia membuka SMP dan SMK Telekomunikasi Terpadu. Ada 10 ruang kelas di gedung berlantai empat yang menampung 350 siswa itu—mayoritas dari desa sekitar pesantren. Tiap kelas memiliki akses Internet lewat serat optik. "Suatu saat saya ingin punya universitas," ujar kiai yang selalu mengenakan sorban ini.
Tapi dunia guru mursyid tarekat Tijaniah itu tak sebatas itu. Ia meyakinkan SBY, salah seorang murid tarekatnya, mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Ia juga yang meminta SBY—ketika itu masih Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan—membuat Partai Demokrat sebagai kendaraan politik. Bahkan kemudian ia juga yang meminta SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Politisi bukan sosok asing bagi sang kiai. Dalam Muktamar Nasional Jam'iyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh Indonesia yang diadakan di pesantrennya, September 2003, misalnya, hadir K.H. Abdurrahman Wahid, Akbar Tandjung, dan Amien Rais. Tapi Kiai Nasihin punya pilihannya sendiri. Ia mengalungkan kain riddah ke leher SBY. Soalnya, "Dalam setiap istikharah selalu muncul wajah SBY."
Kian hari, SBY dan Kiai Nasihin kian akrab. Banyak persoalan yang harus dihadapi, dan SBY selalu menelepon Kiai Nasihin, bahkan—jika mungkin—mengunjungi Pesantren A.K.N. Marzuqi, Pati. Begitu juga Kiai Nasihin. Bila sedang mood, ia datang ke Jakarta, menemui SBY untuk mendiskusikan perkembangan terakhir pemilu presiden. Beberapa waktu lalu Tempo menyaksikan SBY, ditemani istrinya, "bersilaturahmi" dengan Kiai Nasihin di presidential suite lantai 29 Hotel Shangri-La, Jakarta. Kiai Nasihin mengungkap bahwa SBY mengeluh soal berbagai fitnah yang menimpanya. "Saya bilang, orang yang difitnah akan terhapus dosanya. Bersabarlah dan jangan marah," kata Kiai Nasihin.
Tempo Edisi 29/XXXIII 13 September 2004
Ya, peristiwa itu terjadi sekonyong-konyong. Di ruang tamu rumah dinasnya di Jalan Denpasar, Jakarta, Jusuf Kalla—waktu itu masih Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat—terpana. Lelaki bersorban itu, K.H. Ahmad Khairun Nasihin, bergegas turun dari mobil, seraya langsung "mengukur" wajah Jusuf Kalla dengan meteran, dan salah seorang muridnya mencatat. Setelah "vonis" tentang pasangan itu, Kiai beserta rombongan cabut.
Peristiwa ganjil itu terjadi pada April silam, ketika Jusuf Kalla masih salah seorang peserta konvensi calon presiden dari Partai Golkar. Tak lama berselang, Jusuf Kalla pun menyatakan siap menjadi wakil presiden dari Partai Demokrat, partai yang menjagokan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden periode 2004-2009. Terakhir, Kalla mundur dari konvensi calon presiden Partai Golkar.
Kita tahu, pasangan SBY-Kalla lancar hingga pemilu presiden putaran dua. Tapi siapa, sih, kiai aneh di atas? Kiai Nasihin, sosok yang namanya jarang disebut—termasuk di kalangan nahdliyin sekalipun. Wawancaranya dengan Tempo adalah wawancara pertamanya dengan media massa. "Sebetulnya saya tak mau muncul," ujarnya. Tapi inilah Kian Nasihin: muda, ketua penasihat (mutasyar) Jam'iyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh Indonesia—sebuah organisasi yang mengurusi pelbagai tarekat di bawah Nahdlatul Ulama.
Ia lahir di desa terpencil Salempung, Kecamatan Tayu, Pati, Jawa Tangah. Nasihin muda menghabiskan hidupnya dari satu pesantren ke pesantren lain: dari Pati, Kudus, Kajoran, Bangilan, sampai Banten. Pada usia 25 tahun, ia memutuskan pulang kampung, kembali ke desanya, mendirikan Pesantren A.K.N. Marzuqi—perpaduan dari singkatan namanya sendiri dan nama ayahandanya. Pesantren kecil itu berkembang cepat. Kini 700 santri memperdalam bermacam ilmu, dari nahwu, sharaf, hadis, hingga tauhid.
Pendidikan memang sangat bermakna bagi Kiai Nasihin. Tahun ini, ia membuka SMP dan SMK Telekomunikasi Terpadu. Ada 10 ruang kelas di gedung berlantai empat yang menampung 350 siswa itu—mayoritas dari desa sekitar pesantren. Tiap kelas memiliki akses Internet lewat serat optik. "Suatu saat saya ingin punya universitas," ujar kiai yang selalu mengenakan sorban ini.
Tapi dunia guru mursyid tarekat Tijaniah itu tak sebatas itu. Ia meyakinkan SBY, salah seorang murid tarekatnya, mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Ia juga yang meminta SBY—ketika itu masih Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan—membuat Partai Demokrat sebagai kendaraan politik. Bahkan kemudian ia juga yang meminta SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Politisi bukan sosok asing bagi sang kiai. Dalam Muktamar Nasional Jam'iyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh Indonesia yang diadakan di pesantrennya, September 2003, misalnya, hadir K.H. Abdurrahman Wahid, Akbar Tandjung, dan Amien Rais. Tapi Kiai Nasihin punya pilihannya sendiri. Ia mengalungkan kain riddah ke leher SBY. Soalnya, "Dalam setiap istikharah selalu muncul wajah SBY."
Kian hari, SBY dan Kiai Nasihin kian akrab. Banyak persoalan yang harus dihadapi, dan SBY selalu menelepon Kiai Nasihin, bahkan—jika mungkin—mengunjungi Pesantren A.K.N. Marzuqi, Pati. Begitu juga Kiai Nasihin. Bila sedang mood, ia datang ke Jakarta, menemui SBY untuk mendiskusikan perkembangan terakhir pemilu presiden. Beberapa waktu lalu Tempo menyaksikan SBY, ditemani istrinya, "bersilaturahmi" dengan Kiai Nasihin di presidential suite lantai 29 Hotel Shangri-La, Jakarta. Kiai Nasihin mengungkap bahwa SBY mengeluh soal berbagai fitnah yang menimpanya. "Saya bilang, orang yang difitnah akan terhapus dosanya. Bersabarlah dan jangan marah," kata Kiai Nasihin.
Tempo Edisi 29/XXXIII 13 September 2004
No comments:
Post a Comment