Friday, November 27, 2009

Kapan Majunya, Jenderal?

Beberapa jajak pendapat menyimpulkan: popularitas Yudhoyono sebagai calon presiden semakin meningkat. Ia mulai rajin mengunjungi pesantren dan bicara terbuka di depan publik pendukungnya. Untuk all-out, masih butuh waktu—dan isyarat Megawati.
TERIK matahari waktu zuhur mulai terasa menyengat di sela-sela tenda luas yang terbentang. Sekitar 2.000 orang yang memadati halaman
masjid dan Pondok Pesantren K.H. A.K.N. Marzuki mendadak bangkit dan menoleh ke belakang tanpa dikomando. Pidato sambutan terhenti, berganti alunan Selawat Badar menyambut kedatangan tamu yang telah ditunggu-tunggu itu.
Diiringi istri dan ajudannya, sang tamu turun dari sebuah mobil sedan mengkilap dan melangkah menuju mimbar. Saat melintasi kerumunan massa, alunan selawat untuk menyemangati "perang" di zaman Nabi itu kian menggema. Hadirin pun berebut menjabat tangan lelaki tinggi-besar itu. Di dekat mimbar utama, K.H. Ahmad Khoirun Nasihin, sang pengasuh pesantren, tersenyum menyambut kedatangannya.
Hari itu, Selasa pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono turne ke pesantren di Dukuh Selempung, Desa Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah, itu. Bukan sekadar kunjungan biasa, kali ini ia akan menutup Muktamar VIII Jam'iyah Ahli Thariqah Muktabarah Indonesia (JATMI), sebuah perhimpunan gerakan tarekat terkemuka, sekaligus meresmikan SLTP dan SMU terpadu di lingkungan pesantren.
Yudhoyono menuju panggung diiringi Kiai Nasihin dan Ketua JATMI, Kiai Maktub Efendy. Indonesia Raya dilantunkan hadirin. Di sela-sela lagu itu, Kiai Nasihin mengalungkan kain rida kelabu ke leher sang Menteri—simbol kehormatan yang tak main-main. Jawabnya ada dalam pidato Kiai Maktub. Ia mendukung penuh langkah Yudhoyono menuju kursi presiden. "Kalau dulu presiden pertama Sukarno, lalu diganti Soeharto, untuk ke depan, ya, namanya Su.. Su... Susilo Bambang Yudhoyono. Insya Allah,'' kata Kiai Maktub, disambut riuh tepuk tangan hadirin.
Mendengar dukungan itu, bekas Kepala Staf Teritorial TNI yang siang itu mengenakan baju batik lengan panjang warna cokelat tua ini hanya tersenyum. Bahkan, saat berpidato, ia sama sekali tak menyinggung soal rencananya melangkah menuju kursi RI-1. Ia hanya mengingatkan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, lalu dilanjutkan pemukulan beduk tanda penutupan muktamar.
Setelah sejam di pesantren, perjalan disambung ke Semarang. Di ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini, ia menghadiri acara temu kader Partai Demokrat se-Jawa Tengah di Hotel Grand Candi. Ia mengenakan baju batik yang sama, ditambah topi bergambar lambang partai yang didirikannya itu. Di hadapan sekitar 1.000 kader, ia meminta dukungan mereka dalam melangkah menuju kursi kepresidenan. "Jika Anda mendukung saya, maka saya menanti dukungan yang nyata dari Anda sekalian," ujarnya.
Namun, jangan keburu kaget dengan sikapnya yang "tegas" itu. Yudhoyono bilang bahwa untuk sementara ini ia belum bisa all-out berkampanye. Ia beralasan, tak etis jika ia berkampanye, sementara masih duduk di jajaran kabinet. Menurut Yudhoyono, suatu saat ia pun akan melakukan kampanye secara total. "Jika Ibu Mega, Pak Amien, dan Pak Akbar boleh melakukannya, kenapa saya tidak?" ujarnya, dan langsung disambut tepuk tangan hadirin.
Manuver politik lelaki kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949 itu kali ini tampaknya cukup serius. Baru kali ini ia menegaskan tekadnya melangkah menuju kursi presiden secara terbuka. Belakangan, ia pun sering tampil. Selain ke Pati, akhir minggu lalu ia ke Pondok Pesantren Suryalaya asuhan Abah Anom di Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat reuni akbar alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta belum lama ini, Yudhoyono didaulat sebagai pembicara kunci.
Langkah jenderal flamboyan ini seiring munculnya beberapa jajak pendapat yang menyimpulkan bahwa sang Menko Polkam semakin populer. Sebut saja pol pendapat terakhir oleh International Foundation for Election System (IFES) dan Sekjen MPR/DPR yang hasilnya menempatkan Yudhoyono di peringkat kedua, dengan angka 11,2 persen. Posisinya hanya terpaut 2,5 persen di bawah Presiden Megawati, tapi di atas Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ketua MPR Amien Rais, Wakil Presiden Hamzah Haz, dan bekas presiden Abdurrahman Wahid.
Padahal beberapa waktu lalu peringkatnya masih terpuruk. Dalam penelitian Saiful Mujani dan Universitas Islam Negeri Ja-karta akhir tahun lalu, namanya belum masuk hitungan. Ia masih berada di peringkat keempat menurut jajak pendapat Soegeng Sarjadi Syndicated. Namun, dalam survei Center for the Study of Development and De-mocracy (CESDA), Yudhoyono tampil sebagai orang paling layak menjadi calon presiden. Jajak pendapat harian Kompas pun menempatkan dia pada urutan pertama tokoh yang paling mampu menjadi presiden.
Kemampuan Yudhoyono agaknya tak diragukan. Ia dikenal sebagai tentara profesional. Ia menjadi lulusan terbaik Akabri angkatan 1973 dan berhak meraih penghargaan pedang Adhi Makayasa. Semua jalur komando pernah dilewatinya, baik di pasukan, staf, pendidikan, maupun teritorial. Pendidikan militernya yahud. Selain Seskoad, ia pernah dikirim di Fort Benning dan Fort Leavenworth di Amerika Serikat.
Ia getol belajar. Yudhoyono berhasil meraih gelar master of arts dari Webster University. Kini ia tengah menempuh studi S-3 ekonomi pertanian di Institut Pertanian Bogor. Maka, tak aneh jika suami Kristiana Herawati ini dikenal sebagai tentara intelek. Selain pilihan kata-katanya tertata, hati-hati dan santun, ia pun tak canggung berbicara dan mengutip kalimat dalam bahasa Inggris dengan fasih.
Soal mengambil hati senior, Yudhoyono jagonya. "Dia figur orang baik dan tidak ambisius," kata bekas komandannya, Letjen (Purn.) Yunus Yosfiah, kepada Adi Prasetya dari TEMPO. Ia pun sempat disebut-sebut sebagai the rising star, calon pemimpin TNI di masa datang. Karena itu, penunjukannya sebagai Menteri Pertambangan dan Energi dalam kabinet Abdurrahman Wahid dulu sangat mengejutkan. Sebab, keputusan itu mengakhiri karier militernya.
Tapi, bintang Yudhoyono masih bersinar terang. Dalam reshuffle kabinet beberapa bulan kemudian, ia dipromosi menjadi Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan. Bintang keempat pun disematkan ke pundaknya. Meski sempat dipecat Presiden Abdurrahman Wahid karena tidak setuju dekrit presiden, ia kembali ke kursi Menko Polkam ketika Megawati menggantikan posisi Wahid.
Bukan berarti Yudhoyono tanpa cela. Dalam kemiliteran, titik lemahnya saat menjabat Kepala Staf Kodam (Kasdam) Jaya. Sebab, ketika itulah terjadi peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. Yudhoyono mengaku tidak terlibat dalam kasus itu, meski Sutiyoso, Pangdam Jaya ketika itu, justru muncul di sekitar markas PDI yang menjadi awal kerusuhan itu. "Masa, seorang Kasdam yang bertanggung jawab menyiapkan pasukan malah tidak tahu," kata seorang pengamat militer.
Yudhoyono juga dinilai terlalu banyak berhitung dan lamban bersikap. Ini membuat kolega dan para seniornya kecewa. Dalam penyelesaian kasus Ambon, ia dianggap terlalu hati-hati sehingga inisiatif pertemuan Malino untuk perdamaian justru diambil alih Menteri Koordinator Kesra, Jusuf Kalla. "Harusnya itu porsi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, tapi ia tampaknya ragu-ragu bertindak," kata seorang koleganya. Ini klop dengan penilaian seorang perwira senior: Yudhoyono ingin menyenangkan banyak orang dan takut ambil resiko.
Kepiawaiannya berbicara kadang dianggap juga sebagai kelemahan. Ia dinilai lebih banyak berwacana daripada bertindak. Dalam masalah Aceh, sebelum TNI mendesak agar diterapkan darurat militer, misalnya. Seorang sumber TEMPO menceritakan kegusaran suami Presiden, Taufiq Kiemas, melihat langkah Yudhoyono. "Menko Polkam kok lebih mementingkan menyusun kata-kata daripada tindakan," ujarnya mengutip komentar Taufiq.
Ketika demam pencalonan presiden merebak, sikap Yudhoyono idem dito. Tak jelas. Ia menyatakan siap maju, tapi tak akan menyatakannya dalam waktu dekat. "Tidak mungkin begitu saja mencalonkan diri, berkampanye ke sana kemari menggunakan jaket-jaket partai, padahal saya masih bekerja dengan Ibu Megawati Soekarnoputri," ujarnya kepada Koran Tempo belum lama berselang. "Kalau memang serius, seharusnya ia minta izin untuk mencalonkan diri," kata Ketua Umum Partai Demokrat Bersatu, Bambang W. Soeharto, karib Yudhoyono.
Sejak dua bulan lalu, Partai Golkar pun telah menyediakan wadah konvensi untuk bersaing menuju kursi calon presiden. Beberapa tokoh memberi isyarat agar Yudhoyono bergabung. Politikus Partai Golkar, Sofhian Mile, mengaku beberapa kali berdiskusi dengannya. "Masyarakat rindu pemimpin yang bisa menyelesaikan masalah secara damai dan tenang," ujarnya kepada Jobpie Sugiharto dari TEMPO. Tapi yang dirindukan justru menghindar. "Saya tidak ikut karena belum pernah berkomunikasi dengan DPD-DPD, apalagi keliling Indonesia," kata Yudhoyono setelah pendaftaran konvensi ditutup.
Militer punya sederet nama untuk kandidat presiden. Sejauh ini, baru mantan Menteri Pertahanan Jenderal (Purn.) Edy Sudradjat yang dijagokan oleh Partai Keadilan dan Persatuan. Bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, jenderal pensiunan Wiranto, yang pernah jadi ajudan Soeharto, malah tegas ikut konvensi partai berlambang beringin. Namun, bekas Kepala Staf Teritorial Letjen (Purn.) Agus Widjojo yakin Yudhoyono sudah memutuskan ikut mencalonkan diri sebagai kandidat  presiden. "Tentang kapan mendeklarasikan diri secara formal, menunggu perkembangan politik  yang terjadi," ujar Agus kepada Bernarda Rurit dari TNR.
Lain lagi kata Ryaas Rasyid. Ketua Umum Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan ini justru berpendapat bahwa Yudhoyono adalah tipe pejabat safety player. Tak mungkin Yudhoyono berani melawan presidennya. Tegasnya, lebih aman nanti di posisi wakil presiden saja. "Jadi, lupakan Yudhoyono ingin jadi presiden selama ada Mega," ujar bekas Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara itu. Kata Ryaas, Partai Demokrat pun hanya akan menjadi gerbong untuk meningkatkan posisi tawar kepada Mega.
Selain Partai Demokrat, Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan juga disebut-sebut menjadi tulang punggung tim suksesnya. Beberapa purnawirawan TNI berada di belakang Yudhoyono, di antaranya bekas Kepala Staf Teritorial Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Repotnya, tak ada koordinasi antar-tim sukses. Salah seorang anggota tim mengaku tengah bersiap-siap menyeberang ke tokoh lain. "Pak Bambang ini agak pelit, jadi susah kan kita," kata seorang sumber menirukan keluhan anggota tim itu.
Dari markas Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ada kabar bagus buat Yudhoyono. Sebuah sumber TEMPO di partai yang lekat dengan Nahdlatul Ulama itu menyebut bahwa Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid sebenarnya "naksir" berat pada Yudhoyono, bahkan sejak Gus Dur berkuasa. Ia makin digadang-gadang sebagai ketua umum sejak Matori Abdul Djalil membelot dan dipecat Gus Dur. Namun, Yudhoyono menolak memimpin partai kaum nahdliyin itu. Padahal, kelak, "Dialah calon presiden dari PKB yang diinginkan Gus Dur," kata seorang tokoh PKB.
Kini, hampir semua partai di Pacitan memasang nama dan foto Yudhoyono bersama logo partai mereka. Padahal tiap-tiap partai sudah punya calon sendiri. Menurut Hadi Suwarno, pengurus Amien Rais Center Pacitan, idealnya putra Pacitan itu bisa berdampingan dengan Amien Rais dalam memimpin negara ini. "Jika beliau jadi presiden, saya yakin situasi negara akan stabil dan damai," kata Hadi Suwarno.
Tapi, di Semarang minggu lalu, Yudhoyono justru menegaskan bahwa dirinya tak akan menggunakan partai lain sebagai kendaraan politik. Ia berharap partainya lolos dalam electoral threshold dan mendapatkan tiga persen suara sebagai syarat agar ia bisa mencalonkan diri sebagai presiden. Pengamat politik Rizal Mallarangeng justru meragukan tekad ini. Hasil polling yang menempatkan Yudhoyono di posisi teratas juga meragukan. "Polling-polling seperti itu bisa menyesatkan," ujarnya. Selain lebih banyak menjangkau masyarakat perkotaan, masyarakat desa yang tidak terkover justru merupakan massa tradisional partai-partai besar.
Yang jelas, Yudhoyono makin rajin turba, turun ke bawah. Ia rajin berkunjung ke pesantren, tokoh masyarakat, dan perguruan tinggi. "Banyak dari mereka mendukung Bapak maju," kata seorang pejabat di kantor Yudhoyono. Apakah ini termasuk dukungan Kiai Nasihin dari pesantren di Pati tadi? "Semuanya saya doakan. Tapi jangan lupa bahwa kursi RI-1 cuma satu," ujarnya tersenyum. Rupanya, selain Yudhoyono, calon presiden lainnya—yang blak-blakan mau maju—juga datang minta doa, berikut dukungan.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Sohirin (Pati), Dwidjo U. Maksum (Pacitan), dan Upik S. (Bandung)

No comments:

Post a Comment