Tempo Edisi 47/IX 19 Januari 1980
BERZIARH, berdoa dan zikir di makam Syech Burhanuddin di Ulakan, pada suatu hari tertentu di bulan Safar (Desember - Januari ini), dan dilaksanakan sampai 7 kali, pahalanya sama dengan ibadat haji.
Itu adalah kepercayaan pengikut Tarekat Syathariyah di Sumatera Barat. Jumlah mereka lumayan besar. Di Kabupaten Padang Pariaman saja diperkirakan lebih dari 100 ribu orang. Di kabupaten-kabupaten lain hampir sebanyak itu pula.
Desa Ulakan, di Kecamatan Nan Sebaris Padang Pariaman, memang pusat aliran Syathariah yang sudah masuk Minangkabau sejak 1670. Pelopornya Syech Burhanuddin itulah, yang membawa aliran itu setelah belajar dengan Syech Abdurrauf Syiah Kuala -- yang namanya dipakai untuk universitas negeri di Banda Aceh.
Di sekitar bulan Safar, Ulakan seperti sehuah kota kecil. Desa pantai terletak 57 km dari Padang itu diserbu para pengikut bahkan dari Riau, Jambi, Aceh dan Sumatera Utara.
Di atas ketiga makam (dari Syech Burhanuddin dan dua sahabatnya), ada atap tirai yang tiap bulan Safar diganti. Penukaran tirai selalu dibarengi perebutan oleh para pengikut bekas tirai dibawa pulang, sebagai azimat atau pun obat.
Selama masa ziarah (sekitar 2 minggu), jumlah penduduk Ulakan yang resminya kira-kira 12.500 orang itu membengkak menjadi lebih dari 100 ribu. Ini pada siang hari -- malamnya kurang, sebab banyak yang pulang. Tapi khusus di malam puncak doa dan zikir, sekitar kompleks akan dihuni lebih dari 60 ribu orang seperti yang terjadi kemarin ini.
Tidak ada catatan resmi sejak kapan tradisi ziarah ke makam Syech Burhanuddin dimulai. Tapi pengurus Yayasan Syech Burhanuddin yang mengelola kompleks mempercayai bahwa syech mereka itu meninggal hari Rabu 10 Syafar 1111 H. Karena itu pula acara puncak ziarah dilaksanakan tiap Rabu yang jatuh sesudah 10 Safar. Karena acara dilaksanakan tiap Safar, lama-lama disebut upacara 'Basafar'. Dalam bahasa sehari-hari 'Basapa'.
Upacara dimulai setelah sembahyang isya, resminya berlangsung sampai jam 24.00. Tapi pengikut yang terlalu fanatik (atau punya "tujuan-tujuan tertentu") bertahan sampai subuh. Di situ dilakukan bermacam cara berdoa dan zikir. Dan orang-orang pun menyentuh makam. Ada yang bersujud ke situ. Ada yang mengambil pasir dan tanah makam untuk dibawa pulang. Ada yang menaruh limau untuk beberapa saat, kemudian dibungkus dibawa pulang. Tanah dan pasir digunakan untuk ramuan pupuk padi, agar "tumbuh subur dan lebat". Macam-macamlah tingkah yang oleh kebanyakan ulama akan dituding sebagai syirik, tahyul atau penyembahan benda. Sementara itu, Yayasan Syech Burhanuddin yang didirikan sejak 1969 menaruh sebuah peti besi derma. Ketika dibuka tahun lalu, isinya mendekati Rp 1 juta.
Sudah tentu Syathariah bukan hanya berarti kuburan. Bahkan upacara pemuaan makam, yang ada di mana-mana, bukan sebuah ciri mengapa sebuah tarekat bernama tarekat. Yang datang ke upacara di Ulakan pun mungkin sebagian, atau sebagian besar, orang-orang yang sekedar mengambil berkah untuk suatu "keperluan" -- atau paling jauh tidak dengan sendirinya mereka pemeluk aktif.
Aliran Syathariah yang di Jawa Timur misalnya cukup terkenal. Mereka mengelola pondok Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM) yang punya beratus cabang dan diketuai KHM Tarmudji (salah seorang ketua DPP Golkar, dan orang yang di malam resepsi menyambut abad XV di Istana tempo hari tampil membaca doa penutup, sesudah ceramah Hamka). Adalah PSM yang kalau tidak salah sudah dua kali melakukan transmigrasi bedol pesantren: ratusan orang, lengkap dengan santri dan kiai-kiainya plus keluarga. Toh menurut drs Bisri Affandi MA tokoh aliran itu yang sekarang menjadi Dekan Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pengikut Syathariah sebenarnya hanya sekitar 150 - 200 orang -- "yang benar-benar masih terus aktif." Kok, sedikit amat?
Rahasia Perusahaan
"Sebab Syathariah tidak ekspansionis," katanya. Dan itulah memang ciri penting umumnya tarekat, yang membedakan mereka misalnya dari kumpulan semacam Islam Jama'ah. Karena kelompok tarekat -- seperti juga kebatinan, yang dalam hal ini hanya berbeda istilah -- terbentuk "dengan sendirinya" oleh persamaan kebutuhan untuk sesuatu kebahagiaan ketuhanan, arahnya lebih bersifat 'ke dalam'. Bahkan seperti juga dalam cerita tentang perguruan pencak silat, mereka yang mau masuk justru "dipersulit" dengan ujian tertentu.
Memang, dengan demikian kelompok itu tertutup. Tetapi sepanjang ia sebuah tarekat yang normal, ketertutupan itu lebih bersifat menjaga "rahasia perusahaan" daripada sebuah sikap congkak yang mengklaim keselamatan akhirat setidak-tidaknya begitulah cara mereka berhadapan dengan kelompok-kelompok tarekat lain.
Perbedaan menonjol antara tarekat dan kebatinan yang pertama itu mengenal wasithah, yakni guru atau perantara -- bukan antara manusia dan Tuhan, melainkan antara pengikut kini dengan sumber pertama, yang selalu diakui sebagai Nabi Muharnmad sendiri. Bisri Affandi misalnya, mengaku punya daftar nama para wasithah mulai dari Nabi Muhammad, lewat Ali bin Abi Thalib sampai ke Indonesia. "Tapi sebenarnya sulit dibuktikan secara ilmiah siapa orang orang itu," katanya.
Yang jelas, wasithah terakhir Syathariah di sini meninggal April tahun lalu. Itulah Kiai M. Kusnun dari Tanjung Anom, Nganjuk -- yang menerima mandat wasithah dari pendahulunya, Kiai Imam Mursyid Muttaqin pendiri pondok PSM di Takeran, Magetan -- yang hilang dalam peristiwa pemberontakan PKI di Madiun 1948 bersama 12 ulama PSM lainnya. Yang tak jelas ialah siapa nama wasithah pengganti (yang barangkali hanya tidak diumumkan), juga bagaimana hubungan Syathariah yang di Ja-Tim dengan yang di Sum-Bar atau tempat lain. Tampaknya mereka memang mempunyai pusat sendiri-sendiri, meskipun jelas bahwa pada akhirnya tarekat memang lebih bersifat lokal.
Tetapi seorang wasithah memang bukan orang sembarangan. Ia dianggap sudah mencapai empat martabat: mursyid (penunjuk, murbiy (pengasuh), nashih (pemberi petuah) dan kamil alias orang sempurna (ingat drama Insan Kamil karangan almarhum Abu Hanifah?). Martabat keempat itulah tentunya yang paling top: memungkinkannya untuk mclakukan ma'rifat kapan saja dikehendakinya -- yakni "memperoleh kenikmatan pengetahuan tertinggi mengenai Dzat," sesuatu yang dekat dengan "ke satuan". "Orang ma'rifat itu tidak ingat dunia lagi. Jasadnya mati" -- begitu menurut Bisri Affandi.
Pengambilan bai'at, prasetya, juga merupakan wewenang wasithah. "Jangan diartikan seperti bai'at Islam Jama'ah," kata Bisri lagi. Bai'at model Syathariah menurutnya semata-mata pemberian kunci bagi ma'rifat, sedang dalam ma'rifat sendiri wasithah dikatakan berfungsi sebagai penunjuk jalan.
Menurut pengamatan TEMPO, bai'at Syathariah itu hanya dilakukan setelah sang calon (yang telah cukup mempelajari dasar-dasar perguruan) berpuasa sehari semalam tanpa tidur. Setelah itu mereka melakukan bentuk zikir tertentu (yang berbeda antara satu tarekat dengan tarekat lain). Setelah dicapai tingkat suasana khidmat yang dikehendaki, wasithah lantas membisikkan sesuatu ke telinga sang calon yang mengikuti tiap katanya. Pada tarekat lain, seperti Naqsyabandiyah di Sumatera Barat, bai'at misalnya dilakukan persis tengah malam -- setelah murid dimandikan kemudian dibungkus kafan putih.
Menurut Bisri Affandi, dalam Syathariah seorang wasithah sebenarnya tidak punya otoritas mutlak. Dalam arti bahwa ia menguasai seluruh seluk-beluk kehidupan jamaahnya seperti dalam Islam Jama'ah, memang. Tetapi kenyataan penghormatan luar biasa kepada guru (dibanding dengan keadaan di luar tarekat, dan ini pula semangat yang dekat sekali hubungannya dengan pemujaan kubur) betapapun merupakan ciri kelompok-kelompok ini. Man qaala lima faqad inqatha 'at masyiikhatuhu (Barangsiapa berkata 'kenapa', putuslah hubungan keguruannya), biasa dipandang khas untuk kalangan ini. Bukankah 'menghadirkan rupa guru', misalnya, juga diperintahkan dalam samadi atau ber'ma'rifat"? Dan itulah di antara hal-hal yang sering ditentang kalangan nontarekat khususnya di hari-hari kemarin.
Tentangan itu datang dari gerakan pemurnian Islam sejak akhir abad XIX Masehi, seperti yang kemudian ditubuhkan dalam misalnya Muhammadiyah Al-Irsyad, Persis -- tapi juga dari para eksponen dalam tubuh partai "konservatif" sendiri seperti Nahdlatul Ulama yang besar. Dan pelan-pelan memang semangat tarekat mundur ke belakang, sementara wajah Islam disapu oleh warna yang lebih "bersemangat".
NU sendiri melakukan "seleksi" terhadap berbagai tarekat dalam tubuhnya --dengan hasil Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah (Himpunan Tarekat yang Boleh Dipegang) -- yang pemimpin organisasinya, KH Musta'in Romli, kemudian lari ke Golkar. Betapapun, yang duduk di pucuk NU bukan tokoh-tokoh yang dikenal sebagai orang tarekat. Meski begitu, sangat disangsikan bahwa semangat tarekat benar menipis (TEMO, 21 Januari 1978). Di Jawa Barat misalnya, di Tasikmalaya, pcsantren tarekat Qadiriah-Naqsyabandiyah di Surialaya cukup populer. Selain terkenal maju (punya proyek pertanian yang luas, punya perpustakaan modern), Juga menjadi tempat penampungan sementara bagi banyak anak orang kota yang dikirim orangtuanya untuk "diperhaiki". Almarhum Prof. Aboebakar Atjeh, yang juga anggota Muhammadiyah (TEMPO, 5 Januari, Pokok & Tokoh), juga seorang mistikus yang di masa-masa akhir diketahui menjadi kurang penting di pesantren ini, di samping menulis satu buku kecil tentang tarekat mereka.
Selain Syathariah, Qadiriah (dari Syech Abdul Qadir Jailani) dan Naqsyabandiyah memang barangkali tarekat yang paling besar di tanah air. Di Minangkabau, Naqsyabandiyah diketahui masuk baru akhir abad lalu, dengan kecepatan mengembang yang tinggi -- konon, menurut catatan Departemen Agama Provinsi, berpengikut 132.408. Lebih kecil dari itu adalah Sammanniah yang berpusat di Kabupaten 50 Kota: sekitar 50.000 orang.
Sebuah penelitian yang dilakukan LEKNAS 1977, yang menugaskan drs. Nur Anas Jamil, menyatakan bahwa di Sum-Bar masih terdapat aliran-aliran kecil meski hampir tak dikenal (dan demikian mestinya di semua pelosok tanah air) Munfaridiyah, Mufradiyah, Munfasidiyah dan apa lagi. Di Aceh ada Rifa'iyah yang tua. Di Jawa Tengah dan banyak tempat terdapat tarekat Syadziliyah.
Di samping itu cukup menarik terdapatnya kelompok-kelompok 'amalan', yakni kumpulan non-tarekat yang mempraktekkan wirid atau zikir seperti orang tarekat. Bahkan ada juga yang menyebarkan secara tak bersyarat kumpulan zikir seperti Shalawat Wahidah dicetak stensilan, dan dikatakan "sudah diijazahkan" kepada siapa saja -- tak perlu dibai'at lebih dulu untuk bisa mengamalkannya. Dikabarkan juga bahwa warga Muhammadiyah banyak pula yang mengamalkan wirid secara berombongan -- berbeda dari waktu yang sudah-sudah -- misalnya dengan mengambil doa-doa dalam Al-Ma'tsurat susunan Imam Hasan Al-Banna, ulama Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dihukum mati Jamal Abdul Nasser dahulu.
Perbedaan mereka dengan tarekat sudah tentu mereka tidak merasa perlu mengambil segi metafisik yang "sulit-sulit' (atau kadang aneh-aneh) untuk amalan yang dimaksud sekedar mencapai ketenteraman dan kekhusyukan hidup. Tidak seperti orang tarekat, yang umumnya percaya bahwa Nabi sebenarnya mewariskan dua macam ilmu yang syari'at dan yang hakikat. Sesudah masa pembersihan mistik oleh Ghazali (meninggal 1111 M.), orang tarekat sekarang bukan hanya menyatakan bahwa orang takkan mencapai "pengetahuan sejati tentang Tuhan" bila hanya memegang syari'at. Tapi juga bahwa hakikat itu tak mungkin dicapai tanpa syari'at. Dan di antara keduanya itu berdirilah tarekat, 'jalan'.
Seirama
Ulama non-tarekat sudah tentu masih membutuhkan bukti bahwa Nabi memang mewariskan "dua ilmu". Apa lagi seperti pernah ditulis Prof. Dr. Rasjidi, pembagian "syari'at, tarekat dan hakikat" itu, yang menurutnya datang dari seorang sufi India, "sudah ketinggalan zaman". Lagi pula siapa yang mengatakan bahwa seorang yang hanya bersyari'at dengan baik saja takkan mampu mencapai kebahagiaan ketuhanan, asal istilah itu diartikan secara wajar? Barangkali, memang, untuk sebagian orang diperlukan usaha "mempermudah" dengan wirid atau zikir, kalau tidak lewat tarekat. Tetapi Ustaz Said Thalib Al-Hamdany misalnya, ulama Pekalongan yang banyak juga menulis buku agama, mengritik Ghazali dan mendaftar beberapa "kesombongan ketuhanan"nya.
Dan memang, di sekitar ide tentang ma'rifat itulah tumbuh berbagai "konsep tambahan" tentang ketuhanan. Juga tentang tujuan hidup (Bisri Affandi misalnya mengatakan: tujuan hidup kita bukanlah surga, melainkan ma'rifat Allah'). Atau di sana-sini, yang banyak dikritik, cara-cara mencapai "kemanunggalan". Dan ini memang berbeda-beda antar aliran, dan perbedaan itu pula menentukan "sah dan tidak sahnya" sesuatu tarekat -- misalnya dilihat dari kacamata NU.
Juga literatur mereka berbeda-beda. Bisri sendiri menuturkan di Indonesia tidak ada buku tasauf yang cocok dengan dirinya -- kecuali tentunya Al Hikam dari Ibnu 'Athaillah (Iran). "Semua orang mempelajari Al-Hikam," katanya. "Tapi kalau bukan orang Syathariah, lain cara menafsirkannya. Ibnu 'Athaillah memang orang Syathariah." Kalaupun ada buku tasauf yang dibikin orang Indonesia sendiri, maka itu adalah Serat Wirid Hidayat Jati dari Ronggowarsito -- yang dinilai Bisri sebagai "seirama".
Dan memang orang Syathariah menganggap Ronggowarsito orang mereka (ia dikabarkan dahulu belajar di pondok Tegalsari, Ponorogo). Tidak hanya dia. Juga Sultan Agung dan para WaliSongo.
Itu adalah kepercayaan pengikut Tarekat Syathariyah di Sumatera Barat. Jumlah mereka lumayan besar. Di Kabupaten Padang Pariaman saja diperkirakan lebih dari 100 ribu orang. Di kabupaten-kabupaten lain hampir sebanyak itu pula.
Desa Ulakan, di Kecamatan Nan Sebaris Padang Pariaman, memang pusat aliran Syathariah yang sudah masuk Minangkabau sejak 1670. Pelopornya Syech Burhanuddin itulah, yang membawa aliran itu setelah belajar dengan Syech Abdurrauf Syiah Kuala -- yang namanya dipakai untuk universitas negeri di Banda Aceh.
Di sekitar bulan Safar, Ulakan seperti sehuah kota kecil. Desa pantai terletak 57 km dari Padang itu diserbu para pengikut bahkan dari Riau, Jambi, Aceh dan Sumatera Utara.
Di atas ketiga makam (dari Syech Burhanuddin dan dua sahabatnya), ada atap tirai yang tiap bulan Safar diganti. Penukaran tirai selalu dibarengi perebutan oleh para pengikut bekas tirai dibawa pulang, sebagai azimat atau pun obat.
Selama masa ziarah (sekitar 2 minggu), jumlah penduduk Ulakan yang resminya kira-kira 12.500 orang itu membengkak menjadi lebih dari 100 ribu. Ini pada siang hari -- malamnya kurang, sebab banyak yang pulang. Tapi khusus di malam puncak doa dan zikir, sekitar kompleks akan dihuni lebih dari 60 ribu orang seperti yang terjadi kemarin ini.
Tidak ada catatan resmi sejak kapan tradisi ziarah ke makam Syech Burhanuddin dimulai. Tapi pengurus Yayasan Syech Burhanuddin yang mengelola kompleks mempercayai bahwa syech mereka itu meninggal hari Rabu 10 Syafar 1111 H. Karena itu pula acara puncak ziarah dilaksanakan tiap Rabu yang jatuh sesudah 10 Safar. Karena acara dilaksanakan tiap Safar, lama-lama disebut upacara 'Basafar'. Dalam bahasa sehari-hari 'Basapa'.
Upacara dimulai setelah sembahyang isya, resminya berlangsung sampai jam 24.00. Tapi pengikut yang terlalu fanatik (atau punya "tujuan-tujuan tertentu") bertahan sampai subuh. Di situ dilakukan bermacam cara berdoa dan zikir. Dan orang-orang pun menyentuh makam. Ada yang bersujud ke situ. Ada yang mengambil pasir dan tanah makam untuk dibawa pulang. Ada yang menaruh limau untuk beberapa saat, kemudian dibungkus dibawa pulang. Tanah dan pasir digunakan untuk ramuan pupuk padi, agar "tumbuh subur dan lebat". Macam-macamlah tingkah yang oleh kebanyakan ulama akan dituding sebagai syirik, tahyul atau penyembahan benda. Sementara itu, Yayasan Syech Burhanuddin yang didirikan sejak 1969 menaruh sebuah peti besi derma. Ketika dibuka tahun lalu, isinya mendekati Rp 1 juta.
Sudah tentu Syathariah bukan hanya berarti kuburan. Bahkan upacara pemuaan makam, yang ada di mana-mana, bukan sebuah ciri mengapa sebuah tarekat bernama tarekat. Yang datang ke upacara di Ulakan pun mungkin sebagian, atau sebagian besar, orang-orang yang sekedar mengambil berkah untuk suatu "keperluan" -- atau paling jauh tidak dengan sendirinya mereka pemeluk aktif.
Aliran Syathariah yang di Jawa Timur misalnya cukup terkenal. Mereka mengelola pondok Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM) yang punya beratus cabang dan diketuai KHM Tarmudji (salah seorang ketua DPP Golkar, dan orang yang di malam resepsi menyambut abad XV di Istana tempo hari tampil membaca doa penutup, sesudah ceramah Hamka). Adalah PSM yang kalau tidak salah sudah dua kali melakukan transmigrasi bedol pesantren: ratusan orang, lengkap dengan santri dan kiai-kiainya plus keluarga. Toh menurut drs Bisri Affandi MA tokoh aliran itu yang sekarang menjadi Dekan Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pengikut Syathariah sebenarnya hanya sekitar 150 - 200 orang -- "yang benar-benar masih terus aktif." Kok, sedikit amat?
Rahasia Perusahaan
"Sebab Syathariah tidak ekspansionis," katanya. Dan itulah memang ciri penting umumnya tarekat, yang membedakan mereka misalnya dari kumpulan semacam Islam Jama'ah. Karena kelompok tarekat -- seperti juga kebatinan, yang dalam hal ini hanya berbeda istilah -- terbentuk "dengan sendirinya" oleh persamaan kebutuhan untuk sesuatu kebahagiaan ketuhanan, arahnya lebih bersifat 'ke dalam'. Bahkan seperti juga dalam cerita tentang perguruan pencak silat, mereka yang mau masuk justru "dipersulit" dengan ujian tertentu.
Memang, dengan demikian kelompok itu tertutup. Tetapi sepanjang ia sebuah tarekat yang normal, ketertutupan itu lebih bersifat menjaga "rahasia perusahaan" daripada sebuah sikap congkak yang mengklaim keselamatan akhirat setidak-tidaknya begitulah cara mereka berhadapan dengan kelompok-kelompok tarekat lain.
Perbedaan menonjol antara tarekat dan kebatinan yang pertama itu mengenal wasithah, yakni guru atau perantara -- bukan antara manusia dan Tuhan, melainkan antara pengikut kini dengan sumber pertama, yang selalu diakui sebagai Nabi Muharnmad sendiri. Bisri Affandi misalnya, mengaku punya daftar nama para wasithah mulai dari Nabi Muhammad, lewat Ali bin Abi Thalib sampai ke Indonesia. "Tapi sebenarnya sulit dibuktikan secara ilmiah siapa orang orang itu," katanya.
Yang jelas, wasithah terakhir Syathariah di sini meninggal April tahun lalu. Itulah Kiai M. Kusnun dari Tanjung Anom, Nganjuk -- yang menerima mandat wasithah dari pendahulunya, Kiai Imam Mursyid Muttaqin pendiri pondok PSM di Takeran, Magetan -- yang hilang dalam peristiwa pemberontakan PKI di Madiun 1948 bersama 12 ulama PSM lainnya. Yang tak jelas ialah siapa nama wasithah pengganti (yang barangkali hanya tidak diumumkan), juga bagaimana hubungan Syathariah yang di Ja-Tim dengan yang di Sum-Bar atau tempat lain. Tampaknya mereka memang mempunyai pusat sendiri-sendiri, meskipun jelas bahwa pada akhirnya tarekat memang lebih bersifat lokal.
Tetapi seorang wasithah memang bukan orang sembarangan. Ia dianggap sudah mencapai empat martabat: mursyid (penunjuk, murbiy (pengasuh), nashih (pemberi petuah) dan kamil alias orang sempurna (ingat drama Insan Kamil karangan almarhum Abu Hanifah?). Martabat keempat itulah tentunya yang paling top: memungkinkannya untuk mclakukan ma'rifat kapan saja dikehendakinya -- yakni "memperoleh kenikmatan pengetahuan tertinggi mengenai Dzat," sesuatu yang dekat dengan "ke satuan". "Orang ma'rifat itu tidak ingat dunia lagi. Jasadnya mati" -- begitu menurut Bisri Affandi.
Pengambilan bai'at, prasetya, juga merupakan wewenang wasithah. "Jangan diartikan seperti bai'at Islam Jama'ah," kata Bisri lagi. Bai'at model Syathariah menurutnya semata-mata pemberian kunci bagi ma'rifat, sedang dalam ma'rifat sendiri wasithah dikatakan berfungsi sebagai penunjuk jalan.
Menurut pengamatan TEMPO, bai'at Syathariah itu hanya dilakukan setelah sang calon (yang telah cukup mempelajari dasar-dasar perguruan) berpuasa sehari semalam tanpa tidur. Setelah itu mereka melakukan bentuk zikir tertentu (yang berbeda antara satu tarekat dengan tarekat lain). Setelah dicapai tingkat suasana khidmat yang dikehendaki, wasithah lantas membisikkan sesuatu ke telinga sang calon yang mengikuti tiap katanya. Pada tarekat lain, seperti Naqsyabandiyah di Sumatera Barat, bai'at misalnya dilakukan persis tengah malam -- setelah murid dimandikan kemudian dibungkus kafan putih.
Menurut Bisri Affandi, dalam Syathariah seorang wasithah sebenarnya tidak punya otoritas mutlak. Dalam arti bahwa ia menguasai seluruh seluk-beluk kehidupan jamaahnya seperti dalam Islam Jama'ah, memang. Tetapi kenyataan penghormatan luar biasa kepada guru (dibanding dengan keadaan di luar tarekat, dan ini pula semangat yang dekat sekali hubungannya dengan pemujaan kubur) betapapun merupakan ciri kelompok-kelompok ini. Man qaala lima faqad inqatha 'at masyiikhatuhu (Barangsiapa berkata 'kenapa', putuslah hubungan keguruannya), biasa dipandang khas untuk kalangan ini. Bukankah 'menghadirkan rupa guru', misalnya, juga diperintahkan dalam samadi atau ber'ma'rifat"? Dan itulah di antara hal-hal yang sering ditentang kalangan nontarekat khususnya di hari-hari kemarin.
Tentangan itu datang dari gerakan pemurnian Islam sejak akhir abad XIX Masehi, seperti yang kemudian ditubuhkan dalam misalnya Muhammadiyah Al-Irsyad, Persis -- tapi juga dari para eksponen dalam tubuh partai "konservatif" sendiri seperti Nahdlatul Ulama yang besar. Dan pelan-pelan memang semangat tarekat mundur ke belakang, sementara wajah Islam disapu oleh warna yang lebih "bersemangat".
NU sendiri melakukan "seleksi" terhadap berbagai tarekat dalam tubuhnya --dengan hasil Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah (Himpunan Tarekat yang Boleh Dipegang) -- yang pemimpin organisasinya, KH Musta'in Romli, kemudian lari ke Golkar. Betapapun, yang duduk di pucuk NU bukan tokoh-tokoh yang dikenal sebagai orang tarekat. Meski begitu, sangat disangsikan bahwa semangat tarekat benar menipis (TEMO, 21 Januari 1978). Di Jawa Barat misalnya, di Tasikmalaya, pcsantren tarekat Qadiriah-Naqsyabandiyah di Surialaya cukup populer. Selain terkenal maju (punya proyek pertanian yang luas, punya perpustakaan modern), Juga menjadi tempat penampungan sementara bagi banyak anak orang kota yang dikirim orangtuanya untuk "diperhaiki". Almarhum Prof. Aboebakar Atjeh, yang juga anggota Muhammadiyah (TEMPO, 5 Januari, Pokok & Tokoh), juga seorang mistikus yang di masa-masa akhir diketahui menjadi kurang penting di pesantren ini, di samping menulis satu buku kecil tentang tarekat mereka.
Selain Syathariah, Qadiriah (dari Syech Abdul Qadir Jailani) dan Naqsyabandiyah memang barangkali tarekat yang paling besar di tanah air. Di Minangkabau, Naqsyabandiyah diketahui masuk baru akhir abad lalu, dengan kecepatan mengembang yang tinggi -- konon, menurut catatan Departemen Agama Provinsi, berpengikut 132.408. Lebih kecil dari itu adalah Sammanniah yang berpusat di Kabupaten 50 Kota: sekitar 50.000 orang.
Sebuah penelitian yang dilakukan LEKNAS 1977, yang menugaskan drs. Nur Anas Jamil, menyatakan bahwa di Sum-Bar masih terdapat aliran-aliran kecil meski hampir tak dikenal (dan demikian mestinya di semua pelosok tanah air) Munfaridiyah, Mufradiyah, Munfasidiyah dan apa lagi. Di Aceh ada Rifa'iyah yang tua. Di Jawa Tengah dan banyak tempat terdapat tarekat Syadziliyah.
Di samping itu cukup menarik terdapatnya kelompok-kelompok 'amalan', yakni kumpulan non-tarekat yang mempraktekkan wirid atau zikir seperti orang tarekat. Bahkan ada juga yang menyebarkan secara tak bersyarat kumpulan zikir seperti Shalawat Wahidah dicetak stensilan, dan dikatakan "sudah diijazahkan" kepada siapa saja -- tak perlu dibai'at lebih dulu untuk bisa mengamalkannya. Dikabarkan juga bahwa warga Muhammadiyah banyak pula yang mengamalkan wirid secara berombongan -- berbeda dari waktu yang sudah-sudah -- misalnya dengan mengambil doa-doa dalam Al-Ma'tsurat susunan Imam Hasan Al-Banna, ulama Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dihukum mati Jamal Abdul Nasser dahulu.
Perbedaan mereka dengan tarekat sudah tentu mereka tidak merasa perlu mengambil segi metafisik yang "sulit-sulit' (atau kadang aneh-aneh) untuk amalan yang dimaksud sekedar mencapai ketenteraman dan kekhusyukan hidup. Tidak seperti orang tarekat, yang umumnya percaya bahwa Nabi sebenarnya mewariskan dua macam ilmu yang syari'at dan yang hakikat. Sesudah masa pembersihan mistik oleh Ghazali (meninggal 1111 M.), orang tarekat sekarang bukan hanya menyatakan bahwa orang takkan mencapai "pengetahuan sejati tentang Tuhan" bila hanya memegang syari'at. Tapi juga bahwa hakikat itu tak mungkin dicapai tanpa syari'at. Dan di antara keduanya itu berdirilah tarekat, 'jalan'.
Seirama
Ulama non-tarekat sudah tentu masih membutuhkan bukti bahwa Nabi memang mewariskan "dua ilmu". Apa lagi seperti pernah ditulis Prof. Dr. Rasjidi, pembagian "syari'at, tarekat dan hakikat" itu, yang menurutnya datang dari seorang sufi India, "sudah ketinggalan zaman". Lagi pula siapa yang mengatakan bahwa seorang yang hanya bersyari'at dengan baik saja takkan mampu mencapai kebahagiaan ketuhanan, asal istilah itu diartikan secara wajar? Barangkali, memang, untuk sebagian orang diperlukan usaha "mempermudah" dengan wirid atau zikir, kalau tidak lewat tarekat. Tetapi Ustaz Said Thalib Al-Hamdany misalnya, ulama Pekalongan yang banyak juga menulis buku agama, mengritik Ghazali dan mendaftar beberapa "kesombongan ketuhanan"nya.
Dan memang, di sekitar ide tentang ma'rifat itulah tumbuh berbagai "konsep tambahan" tentang ketuhanan. Juga tentang tujuan hidup (Bisri Affandi misalnya mengatakan: tujuan hidup kita bukanlah surga, melainkan ma'rifat Allah'). Atau di sana-sini, yang banyak dikritik, cara-cara mencapai "kemanunggalan". Dan ini memang berbeda-beda antar aliran, dan perbedaan itu pula menentukan "sah dan tidak sahnya" sesuatu tarekat -- misalnya dilihat dari kacamata NU.
Juga literatur mereka berbeda-beda. Bisri sendiri menuturkan di Indonesia tidak ada buku tasauf yang cocok dengan dirinya -- kecuali tentunya Al Hikam dari Ibnu 'Athaillah (Iran). "Semua orang mempelajari Al-Hikam," katanya. "Tapi kalau bukan orang Syathariah, lain cara menafsirkannya. Ibnu 'Athaillah memang orang Syathariah." Kalaupun ada buku tasauf yang dibikin orang Indonesia sendiri, maka itu adalah Serat Wirid Hidayat Jati dari Ronggowarsito -- yang dinilai Bisri sebagai "seirama".
Dan memang orang Syathariah menganggap Ronggowarsito orang mereka (ia dikabarkan dahulu belajar di pondok Tegalsari, Ponorogo). Tidak hanya dia. Juga Sultan Agung dan para WaliSongo.
No comments:
Post a Comment