Tuesday, December 1, 2009

Kiai Dukuhseti Pendorong SBY-JK (2-Habis): Makanan Suguhannya seperti Tiada Habisnya

SM Rabu, 06 Oktober 2004

KH Nasihin - SM/dok


ENTAH kebetulan atau faktor cuaca, hujan lebat membasahi bumi Dukuh Selempung, Desa Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti (Tayu), Pati, selama tiga hari (27-29 Agustus 2003), sebelum Muktamar VIII JATMI (Jam'iyyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh Indonesia) dari 30 Agustus 2003 - 2 September 2003, di Pondok Pesantren AKN Marzuqi.
Tentu saja udara di sekitar pondok yang berupa pesisir berhias tambak yang dipenuhi sekitar 1.200 orang peserta muktamar menjadi tidak terlalu gerah. ''Persis, begitu muktamar dimulai hujan pun reda. Ini tentu berkat doa Kiai Nasihin,'' kata KH Maktub Effendi saat menyampaikan pidato penutup.
Kekeramatan pada hal-hal di luar akal mengenai kiai yang belum dikaruniai anak ini memang makin mengental saja. Setidak-tidaknya di sekitar Pati, Kudus, Jepara, dan Demak pembicaraan sebagian masyarakat awam tentang ulama tersebut dibumbui perihal yang berkaitan dengan kemampuan yang tak kasat mata. Bahkan, ada yang cukup vulgar dengan menyebut Kiai Nasihin memiliki jin.
Kiai Maktub Effendi juga menceritakan kisahnya sehingga Mukmatar JATMI digelar di pondok asuhan Kiai Nasihin. Jauh sebelum mukmatar, di tengah kebingungannya, Maktub bersilaturahmi ke Nasihin yang antara lain pernah nyantri di almarhum KH Abdullah Salam, Kajen, Pati. Dia bertanya, ''Apa boleh Pondok AKN Marzuqi dipakai muktamar?''
Dengan senang hati Nasihin membuka pintu lebar-lebar. Maktub pun mengembangkan pertanyaannya, apa kiai itu juga bersedia menanggung makanan dan minuman para muktamirin? ''Bersedia. Saya akan mintakan makanan dan minuman ke Allah,'' sahut Kiai Nasihin.
Penegasan bahwa uang untuk membeli seluruh makanan dan minuman itu diperoleh dari Allah disampaikan kiai kepada salah satu santrinya, Ir Walad H Aris Abdillah. ''Semuanya datang dari Allah,'' jelas Kiai Nasihin kepada Walad yang pejabat di PT Telkom itu.
Betul memang makanan dan minuman peserta muktamar dan tamu undangan yang mencapai ribuan orang terpenuhi semuanya. Ragam makanan pun banyak, lengkap, dan berkelas setara sajian di hotel berbintang lima. Ada masakan laut seperti cumi-cumi, kerapu, kakap, udang bago, sup asparagus, sup kambing, tumis jamur, serta buah-buahan mulai dari jeruk, apel, salak, lengkeng, anggur, dan pir. Belum termasuk makanan kecil.
Semua jenis makanan tersebut disediakan secara prasmanan. ''Makanan yang disajikan kok seperti tiada habis-habisnya. Jumlah makanan yang terhidang di meja terlihat tetap utuh, walaupun terus diambil oleh ribuan orang,'' kata Walad. Dia bersama sejumlah pejabat Telkom lainnya yang juga santri ''kelas jauh'' Nasihin, ikut menjadi panitia lokal muktamar.
Komentar senada disampaikan oleh para tamu dan santri yang tinggal di pondok. Sedangkan juru masak yang membantu penyelenggaraan muktamar tersebut juga mendapat pengalaman yang tidak mudah dicerna dengan logika. Mereka merasakan bisa memasak secara lebih cepat dari biasanya, karena antara lain bahan baku masakan datang dengan sendirinya dan lengkap.
''Daging diambil terus untuk dimasak, kok tidak habis-habis,'' tutur seorang juru masak, yang langganan membantu memasak bila pondok Kiai Nasihin sedang punya kerja. Dalam pengamatan para juru masak, bila daging serta bahan baku masih banyak itu pertanda acara masih berlangsung lama. Namun bila mulai berkurang berarti hajatan akan segera selesai.
Penyajian makanan seperti saat Muktamar JATMI, menurut beberapa santri dan juru masak, bukan pemandangan kali pertama terjadi. Saat ribuan tamu datang untuk silaturahmi sepanjang bulan Syawal seusai shalat Idul Fitri, juga diberi minuman dan makanan.
Ditangani Sendiri
Berapa biaya makanan dan minuman yang diperlukan untuk kegiatan muktamar serta pembangunan fisik di lingkungan pondok, tidak ada orang yang tahu.
Termasuk oleh santri yang paling dekat sekalipun. Yang jelas semuanya ditangani sendiri oleh Kiai Nasihin.
Saat membangun gedung SLTP dan SMU Telekomunikasi Terpadu berlantai empat, masjid (yang tiga bulan lalu dibongkar dan dipindah di halaman belakang), dan asrama santri dengan dua lantai yang berlangsung dalam tiga tahun misalnya, kiai itu juga tidak membentuk kepanitiaan untuk menangani pembangunannya.
Keseluruhan bentuk bangunan tersebut termasuk gedung sekolah dengan empat lantai yang diresmikan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 September 2003 didesain sendiri. Juga penanganan tukang diurus sendiri.
''Seperti juga anggota masyarakat, kami pun tidak mengetahui berapa biaya yang telah dikeluarkan Mbah Nasihin untuk membangun semua fasilitas fisik itu. Perkiraan kasarnya mungkin Rp 2,5 miliar.
Itu belum termasuk dana untuk pembebasan tanah dan upah para tukang,'' tutur Account Manager PT Telkom, Kurniawan Wiraatmadja.
Santri ''kelas jauh'' kiai tersebut menegaskan, kiainya sangat selektif dalam menerima pemberian dana dari orang lain. Begitu pula Yayasan Baitul Hazin, lembaga yang menaungi pondok, tidak pernah menerima dana untuk pembangunan sarana fisik.
Berkaitan dengan ketidakjelasannya dari mana dana untuk membangun semua fasilitas itu, Kurniawan mengaku teringat kisah Wali Songo saat membangun Masjid Demak.
''Kekuatan doa, pemikiran, kedisiplinan, dan ketelitian para wali-lah yang telah membuat Masjid Demak berdiri hanya dalam waktu sehari semalam. Itu kan merupakan bagian dari rangkaian fenomena kebesaran Illahi di awal penyebaran Islam di tanah Jawa,'' paparnya.
Upaya membangun tampilan fisik pondok menjadi lebih baik, kini terus berlangsung. Masjid yang mampu menampung sekitar 500 jamaah dan diresmikan Amien Rais pada 2 September 2003, sudah tiga bulan lalu dibongkar dan ganti membangun masjid yang lebih besar dan megah di halaman pondok. Begitu pula rumah kediaman Kiai Nasihin yang telah berubah menjadi dua lantai dan cukup megah.
Juga medan magnet ''ke-karomah-an'' Kiai Nasihin sekarang menjadi makin luas dan kuat daya ''sedot''-nya. Pertengahan September lalu misalnya, Menteri Kelautan Muhaimin Dahuri di Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri yang tinggal beberapa hari lagi umurnya, bersilaturahmi ke Kiai Nasihin.
Bisa jadi, gelombang kedatangan pejabat atau elite ke pondok di Dukuh Selempung asuhan kiai yang memiliki santri pejabat, pengusaha, dan intelektual yang tersebar hingga di Australia itu makin bertambah besar dan menjadi pemandangan sehari-hari seiring SBY dan JK menjadi pemimpin di negeri ini. (Prayitno-33t)

No comments:

Post a Comment