Thursday, November 19, 2009

Untuk Sang Kekasih atau Kesehatan

Whirling dervishes atau sema, tarian sufi yang diperkenalkan Rumi, semakin populer sekarang. Tarian orang yang telah berhasil menanggalkan egonya.
Malam semakin tua. Pada satu hari Minggu dua pekan lalu, di salah satu zawiyah, padepokan tarekat Naqsabandiyah Haqqani yang terletak di jalan dari Prapanca menuju Kemang, Jakarta, dua kelompok orang duduk melingkar dalam ruangan temaram. Dari keheningan itu kemudian terdengar tahlil: la ilaha ilallah. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Apalagi tepukan marawis ikut ambil bagian.
Seorang pria masuk ke lingkaran para pria. Ia berputar seperti gasing. Roknya putih berkibar, mengembang bak cendawan. Berputar ke kiri seperti orang tawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh putaran; tangan kanannya terbuka, menengadah ke langit, mengharap hidayah dari Yang Kudus. Tangan kirinya menelungkup—seakan-akan menebarkan hidayah yang diperoleh tangan lainnya ke semua orang di bumi.
Puncak ekstase terjadi tatkala zikir khas tarekat Naqsabandiyah Haqqani terdengar bersambutan: Huu, Haqq, Hayy, Allah Hu, Allah Haq, Allah Hay. Musik semakin cepat—begitu juga putaran lelaki itu—sampai akhirnya semua berhenti. Dalam takzim, lelaki kurus itu membungkuk kepada sang syekh, dan keluar dari lingkaran.
The whirling dervishes atau sema mulai populer. Pada Ramadan ini, stasiun-stasiun televisi berebut menayangkan tarian yang diperkenalkan sufi besar abad ke-13 Jalaluddin Rumi itu. ”Banyak orang datang karena ingin tahu lebih lanjut tentang whirling dervishes,” kata Arief Hamdani, Presiden Haqqani Sufi Institute of Indonesia.
Whirling, di samping hadrah, merupakan bagian penting dari tarekat Naqsabandiyah Haqqani. Sepekan sekali diadakan zikir dengan tarian khusus itu. Seorang yang ingin berputar diwajibkan berwudu. Setelah itu, ia harus melakukan salat sunah dua rakaat syukur wudu, lantas dilanjutkan dengan salat sunat dua rakaat tawasul. Lalu duduk berzikir Allahu Akbar.
Semua serba terukur, begitu pula pakaiannya. Mula-mula sang penari menggunakan setelan koko putih. Kemudian gaun putih panjang—tennure—diletakkan dengan posisi terbalik, bagian dalam di luar. Sebelum memakai, sang penari mencium bagian kerah. Kemudian, tennure yang panjangnya lebih dari tinggi sang penari pun dipakai. Setelah dipakai, ditarik setinggi telinga dan pinggang diikat dengan tali putih. Tali pinggang kemudian ditutup sabuk hitam. Penari lantas mengenakan jubah hitam tanpa lengan. Terakhir adalah topi panjang—sikke—yang dibalut dengan sorban.
Seluruh elemen pakaian ini merupakan simbol. Sikke, yang aslinya berwarna abu-abu, menurut Arief, merupakan simbol batu nisan. Li­litan sorban pertanda orang-orang siddiq. Tennure putih merupakan simbol kain ka­fan. Sedangkan ikat pinggang dan jubah hitam menandakan kelamnya alam kubur. ”Pakaian ini bermakna kita mengalami kematian di kala hidup. Makna ini penting untuk menemukan diri kita. Karena, dengan menemukan diri kita, barulah kita bertemu dengan Sang Pencipta,” tutur Arif.
Belajar whirling membutuhkan waktu cukup lama. Awalnya belajar berputar dengan kedua tangan disilang di depan dada. Gerakan ini dilakukan 20 menit selama 40 hari. Kemudian pelajaran meningkat, kedua tangan dikembangkan ke atas. Waktunya pun sama, 20 menit selama 40 hari. Gerakan terakhir adalah tangan kanan tetap menghadap ke atas sementara tangan kiri turun sejajar bahu. Putarannya kembali dilakukan 20 menit selama 40 hari.
Whirling tak semudah yang terlihat. Dalam kelas tarian Rumi khusus wa­nita di zawiyah itu, peserta rata-rata langsung terjatuh hanya dalam kisaran 1-2 menit setelah berputar. ”Ego-ego kita masih menahan tubuh sehingga ­tu­buh te­rasa berat untuk berputar,” kata ­Arief.
Untuk melepas ego memang tak hanya butuh latihan lama dan kontinu. Zikir yang keras sembari berdiri pun diyakini Arief mampu menghancurkan ego. ”Maulana (Rumi) pernah berkata bahwa zikir dengan whirling dan dengan suara keras akan memberikan energi yang lebih besar untuk membersihkan hati ketimbang zikir dengan duduk dan dengan suara pelan,” ujar Arief.
Tengoklah pengalaman Neng Sri Widia Amri, 24 tahun. Pegawai Lagoon Lounge Hotel Sultan, Jakarta, ini telah setahun menekuni tarian Rumi. Tak hanya untuk zikir, Widia pun turut manggung bersama Haqqani Rabbani Whirling Dervishes & Big Band di berbagai tempat.
Aura berbeda ia rasakan tatkala me­nari kala berzikir dan untuk manggung. ”Kala zikir, tarian ini terasa nikmat sekali. Saya tak pernah merasa pening karena aura positif yang ditebar sesama jemaah memberikan energi tersendiri,” tutur satu-satunya penari pe­rempuan dalam kelompok tersebut. Namun situasi berbeda terjadi ketika Wi­dia menari di atas panggung. ”Saat menari di panggung, kami tentu ditonton banyak orang, tak hanya aura positif yang menerpa, biasanya lebih banyak yang negatif. Aura negatif ini pula yang membuat tubuh terasa berat ketika berputar,” tuturnya.
Meski terasa rumit, tarian Rumi pada tarekat Haqqani terbuka bagi siapa pun. Hal berbeda justru terjadi di padepokan Anand Ashram. Untuk belajar tarian Rumi, tak semua orang dapat melakukannya. ”Biasanya kami melakukan evaluasi awal, apakah orang tersebut berminat dan cukup mampu untuk menerima pelatihan sufi,” ujar Anand Krishna, pendiri Anand Ashram.
Proteksi ini terpaksa ­dilakukan Anand. Maklum, ia mensinyalir tingginya minat mempelajari tasawuf, baik meditasi maupun whirling, sekadar upaya pelarian dari masalah sehari-hari. Anand mengingatkan bahwa Kemal Attaturk, bapak pendiri Repub­lik Turki, pernah selama puluhan tahun melarang praktek sufi di negaranya. ”Enggak boleh orang whirling,” kata Anand.
Pasalnya, dalam whirling, kata Anand, manusia dapat mencapai eks­tase. Efek sampingnya, menurut Anand, ada dua. ”Dia bisa menjadi sangat egois, merasa dirinya yang paling benar, karena sudah merasa mencapai tingkat yang luar biasa. Yang kedua, dia melari­kan diri, escape. Dia merasa dunia ini kacau, tentu karena dia juga merasa dirinya yang paling benar,” Anand menambahkan.
Tentu saja ekses ini tak ­diharapkan. Untuk itu, sebelum mengikuti kelas sufi, peserta diharuskan mengikuti program dasar stress management. Biasanya hanya 30 persen dari lulusan program ini yang diterima untuk meng­ikuti program lanjutan meditasi sufi.
Setelah mengikuti program manajemen stres, zikir dalam program sufi akan menjadi lembut. Bila emosi belum seluruhnya tersalurkan dalam program dasar, zikir dan whirling yang dilakukan peserta pasti akan bernuansa ta­ngis dan ledakan emosi. ”Banyak orang bilang, kalau dengan berteriak keras dan menangis, zikir baru afdal. Buat saya tidak,” katanya.
Tahap meditasi sufi di Anand Ashram terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah zikir dan whirling. Sama dengan metode tarekat sufi, zikirnya pun dengan la ilaha ilallah. Selesai whirling, peserta mulai tafakur. ”Untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta,” kata Anand. Total kegiatan berlangsung satu jam.
Selain seleksi khusus, berbeda dengan di zawiyah Naqsabandiyah Haqqani, kursus whirling di Anand Ashram tak gratis. Empat kali program ditebus dengan Rp 400 ribu. Meski cukup mahal, toh program ini tak sepi peminat. Manfaat ganda menjadi daya tariknya. Selain mendekatkan diri pada Sang Pencipta, kesehatan peserta pun mening­kat. ”Bila dilakukan dengan benar, whirling dapat memberikan energi ekstra hingga dua pekan lamanya,” ujar Anand.
Pilihan terserah pada Anda. Ingin berzikir menuju Sang Kekasih. Ataupun sekadar menikmati manfaat kesehatan dan nikmatnya menari Rumi.

Majalah Tempo/Sita Planasari Aquadini

No comments:

Post a Comment