Thursday, November 19, 2009

Mawar dari Bagdad

ALKISAH Kota Bagdad pada abad XI banyak dihuni sufi. Ketika terdengar kabar bahwa Syeikh Abdul Qadir, dari Provinsi Jailan, Persia (kini Iran), hendak masuk ke kota, mereka menyambutnya dengan pesan simbolik: mengirim sebuah bejana yang penuh dengan air. Maksudnya, tak ada tempat lagi bagi Abdul Qadir di Bagdad. Sang sufi ”pendatang” ditolak mentah-mentah.

Namun tak dinyana, Abdul Qadir menjawab pesan itu dengan tenang. Ia letakkan setangkai bunga mawar dalam bejana. Para sufi Bagdad heran, karena melihat Abdul Qadir mampu membawa bunga, padahal waktu itu musim dingin dan bukan musim bunga. Menyaksikan kehebatan itu, para sufi Bagdad bergegas menyambutnya. ”Abdul Qadir adalah mawar kita,” kata para sufi.

Cerita supernatural ini hanyalah lapis terluar dari profil utuh Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi besar dari Bagdad yang legendaris. Lahir di Desa Nif, Jailan, pada 1077, Abdul Qadir tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga sufi. Sejak kecil ia diasuh ibunya, Fatimah binti Abdullah As Sauma’i, dan kakeknya, Syeikh Abdullah As Sauma’i—keduanya kondang sebagai wali. Ia belajar mengaji sejak usia 10 tahun. Tak seperti anak-anak lain yang doyan bermain, Abdul Qadir lebih suka menyendiri.

Menginjak usia 18 tahun, Abdul Qadir menuntut ilmu ke Bagdad. Lantaran ditolak belajar di Madrasah Nizamiyah yang dikelola sufi besar Ahmad Gazali, ia nyantri ke Abu Sa’d Mubarak al-Mukharrimi, pemimpin sekolah fikih tradisional mazhab Hanbali, sampai ia berhasil mengantongi ijazah. Ilmu yang ditimba dari sekolah yang cenderung rasionalis itu menjadi sumber fatwa yang ia ajarkan ke masyarakat luas.

Ia gandrung pada spiritualitas lantaran terpengaruh sufi Abu’l-Khair Hammaad ad-Dabbaas. Sejak itu, Abdul Qadir meninggalkan Kota Bagdad dan menyepi di gurun-gurun Irak selama 25 tahun. Baru setelah berusia 50 tahun, dia kembali ke Bagdad dan mulai berdakwah di masyarakat. Gaya ceramah dan isinya mempesona banyak orang. Pengaruhnya meluas. Ia disokong masyarakat untuk membangun sebuah tempat singgah dan ribat (wisma), yang bisa menjadi rumah tinggal sang sufi beserta keluarganya. Para santri yang datang dari berbagai penjuru bisa menginap di sini.

Selain rajin berpetuah di podium, Abdul Qadir juga meninggalkan beberapa karya tulis tentang tasawuf. Beberapa yang beken antara lain Al- Fath Ar- Rabbani (Pembuka Ketuhanan), Sittiin Majaalis (Enam Puluh Majelis), dan Futuh Al- Ghaib (Terbukanya Hal-Hal yang Gaib). Beberapa di antaranya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Biografinya yang lengkap tertuang dalam kitab Manakib. Di Indonesia, buku ini banyak dibaca di pesantren-pesantren yang berafiliasi ke organisasi Nahdlatul Ulama—lalu memunculkan tradisi Manakiban.

Tapi ia bukanlah tipe sufi yang apolitis. Sebagai ulama yang berpengaruh, dia tak segan melontarkan kritik sosial kepada penguasa. Contohnya, ketika Khalifah al-Muktafi dari Bani Seljuk (yang meninggal pada 1160) mengangkat Ibnu Muzahim sebagai hakim, Abdul Qadir memprotesnya. Muzahim dikenal lalim. Dalam sebuah kesempatan, Abdul Qadir berpidato di depan khalifah. Setelah mendengar pidato itu, khalifah gemetar dan menangis menyesali langkahnya. Muzahim akhirnya dipecat.

Dalam peta tasawuf, Abdul Qadir mirip Imam Al-Ghazali, seorang ahli fikih sekaligus ahli tasawuf. Semasa hidup, ia tak mendirikan organisasi tarekat. Namun, sepeninggal sufi yang wafat pada 1166 itu, para pengikutnya mendirikan tarekat Qadiriyah yang merujuk kepada ajaran Abdul Qadir. Dianut jutaan orang di dunia, cabangnya tersebar di India, Turki, Afrika, dan Indonesia. Aroma wangi mawar dari Bagdad itu menyebar juga ke Nusantara.

Majalah Tempo
K.M.N.

No comments:

Post a Comment