Thursday, November 19, 2009

Menakar yang Hak dan Batil

Tasawuf terentang dari yang ortodoks berbasis tarekat hingga yang paling universal. Hati-hati terjerumus pada kelompok-kelompok pemujaan.

Dua kata itu bersipunggung: sufi urban. Sufi, sebagai sebuah tarekat (jalan) menuju keilahian, merupakan tradisi Islam tradisional. Ia tak tumbuh di wilayah urban—sebuah istilah yang mengacu pada sisi kehidupan manusia kota yang hidup dalam modernitas. ”Ini contradictio in terminis,” kata cendekiawan muslim Azyumardi Azra tentang istilah sufi urban yang bertentangan dalam satu rangkaian kata.
Tapi inilah yang terjadi di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sejak akhir 1980-an, kelas mene­ngah muslim di Tanah Air tergerak untuk melongok akar keislaman mereka. Mapan ekonomi dan matang dalam usia, mereka mencari pengisi jiwa yang melompong.
Saat itu, aktivitas sufi digolongkan pada dua kelompok: antara yang berbasis tarekat dan yang tidak. Yang berbasis tarekat umumnya berada di wilayah suburban atau nonkota, meski sesungguhnya keberadaan mereka tak terkait dengan tumbuhnya minat belajar tasawuf yang sedang bertunas di kota-kota. ”Sufi urban tak muncul dari tradisi seperti itu,” kata dosen pengajar Universitas Paramadina, Budi Munawar Rahman.
Mereka inilah yang menegakkan ritual sufi yang baku dan berpegang erat pada tradisi yang konservatif demi mendekati Sang Khalik. Berpijak pada tradisi tarekat yang kuat, karakter tasawuf, seperti zikir, puasa, khalwat (menyepi), dan zuhud (hidup sederhana), dipegang kukuh dan diwariskan turun-temurun melalui serangkaian guru yang silsilahnya bisa ditarik langsung dari Nabi Muhammad. Pondok pesantren Abah Anom di Suryalaya termasuk dalam golongan ini.
Adapun aktivitas sufi yang berbasis nontarekat, menurut Azyumardi, awalnya diperkenalkan oleh Buya Hamka. Mendiang intelektual muslim yang merupakan salah satu tokoh Muhamma­diyah ini menolak paham taklid—kepa­tuhan mutlak yang menjadi ciri tarekat tradisional. Ia mengenalkan metode tasawuf modern yang berlandaskan perbaikan etika dan moral. Jadi, meng­asah kesabaran, pasrah, ikhlas, dan pendekatan nonmaterial terhadap kebahagiaan dunia.
Tengoklah Nabi Muhammad, kata Buya Hamka. Beliau sudah menjadi seorang sufi yang menyepi jauh di atas bukit batu, jauh sebelum menjadi orang suci. Dalam penyepiannya di Gua Hira itulah sang Rasul mendapat jalan Tuhan. ”Dan datanglah keyakinan, dapatlah dipersisihkan di antara yang hak (benar) dan yang batil (salah),” ia me­nulis pada 1952.
Kegiatan ”memisahkan yang hak dan batil” itu kemudian menjadi semakin variatif pada dua dekade setelah itu. Ada kreativitas yang bangkit ketika spiritualitas ataupun fundamentalis­me menjadi jawaban dari nestapa hidup. ”Ini yang tak bisa dijawab oleh agama formal,” kata Budi.
Kini setidaknya ada dua hal yang bisa ditambah ke dalam dua golongan di awal tersebut. Yang satu, tele-based sufism, yakni kegiatan berdoa massal yang kemudian dipertontonkan melalui televisi dan disiarkan langsung atau berulang-ulang. Ritualnya tak berbeda jauh dengan praktek sufi, seperti zikir, meski adabnya berbeda. ”Zikir adalah kegiatan sunyi. Aneh rasanya dilakukan di depan umum,” kata Azyumardi.
Tambahan berikutnya adalah hadir­nya cabang-cabang metode spiritual yang datang dari luar negeri, baik berlandaskan sufi maupun bukan. Ia menamainya new-age sufism, yakni kelompok-kelompok pembelajaran spiritual yang prakteknya mengkombinasikan ajaran sufi dan ajaran spiritual lain dengan landasan universalitas nilai. ”Mereka mendapat pasar bagi orang yang ingin diselamatkan, orang perkotaan yang miskin spiritual,” kata Budi.
Sayangnya, menurut Budi, gerakan-gerakan sufi masih berorientasi pada peningkatan spiritualitas pribadi, belum pada kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengisinya, kata cendekiawan muslim Jalaluddin Rakhmat, ada satu esensi tasawuf yang sering kali dilupakan, yakni khidmat, yang berarti melakukan pelayanan terhadap manusia lain. Ingat, laku yang ini bukan sekadar memberi uang yang diartikan sebagai sedekah. Tapi, dalam hal ini, apa yang disebut sebagai dakwah bil hal, yakni dakwah dengan perbuatan.
Melakukan pelayanan sosial ini juga disebutkan dalam buku Indah­nya Menjadi Sufi, yang diterjemahkan dari karya Essential Sufism, karang­an James Fadiman dan Robert Frager al-Jerrahi (1999). Dikatakan, melayani orang lain dalam pengertian riilnya adalah melayani Tuhan. Dan pelayanan ini dinilai orang-orang suci sebagai bentuk ibadah tertinggi. Dengan kata lain, tak cukup seseorang mencintai atau mengetahui Tuhannya.
Perilaku seperti menjaga kebersihan, memasak di dapur umum, dan menggendong anak di panti asuhan adalah bagian dari cinta itu. ”Kita harus berbuat berdasarkan cinta dan pengetahuan kita kepada-Nya,” tulis buku itu.

l l l
Segala yang berlebih-lebihan pun bisa berbahaya. Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada tendensi seram dari kelompok-kelompok yang berani ”menjual” pertemuan dengan Tuhan sebagai komoditas utama.
Mereka inilah yang ia sebut sebagai pseudo-sufism; sufisme semu yang mengaku berbasis sufi, tapi hanya menggunakan istilah tasawuf dan sufi, seperti hakikat, makrifat, ilmu batin, untuk kepentingan sendiri. Yang tak diketahui, banyak ritus yang menggunakan teori hipnotisme dan mempermainkan gejolak emosi sehingga menimbulkan rasa bersalah yang mendera individu.
Menurut dia, kelompok-kelompok ini sudah separuh pemujaan (cult), karena tak bisa dipertanggungjawabkan akarnya dalam Islam. Biasanya, hanya satu-dua poin utama dari tasawuf yang diaplikasi, itu pun dengan perilaku yang tak wajar. Misalnya mandi air kembang atau puasa tanpa berbuka sehari semalam. ”Mungkin hanya baiatnya yang diambil,” kata Jalaluddin.
Ia mengingatkan, aktivitas spiritual yang tak lazim seperti itu justru ”laku” karena banyak urban yang ingin memperoleh spiritualitas secara instan. Mereka ingin memperoleh pengalaman keilahian secepat-cepatnya, seolah-olah proses pemaknaan diri dan Tuhan itu bisa diperoleh dengan instan. ”Misalnya ada yang menawarkan bertemu Tuhan dalam satu minggu,” ucapnya.
Ini diperparah oleh unsur taklid, kepatuhan itu, yang mereka akui bagian dari identitas kelompok. Dalam ketidakwajarannya, sang pemimpin sering kali mengaku punya ilmu rahasia—bahkan sebagai pendiri ajaran—dan bisa memecahkan semua persoalan. Yang terburuk, meminjam istilah Jalaluddin, adalah yang bila ujung-ujungnya duit, atau... yang ujung-ujungnya seks! ”Maka lengkap sudah unsur perampokan atas nama Tuhan itu,” katanya.
Jalaluddin mengaku pernah kedatangan korban-korban penipuan kelompok tasawuf sesat ini. Menurut dia, ada yang menderita delusi atau hilang pikiran, ada lagi yang masih susah payah keluar dari kelompok itu karena terus-terusan diancam dan dianiaya psikologisnya. ”Kebanyakan perempuan. Ada yang sangat berpendidikan, kelas menengah, tapi toh tetap teperdaya juga,” katanya.
Ia memberi rambu-rambu untuk mengenalinya, misalnya bila ajarannya tak berdasarkan syariah, Al-Quran, dan hadis, ritus-ritusnya tak standar, menuntut kepatuhan mutlak, serta perilaku gurunya mengontrol pikiran dan kehidupan pribadi murid. ”Jangan sampai semangat belajar sufi ini justru dikalahkan oleh sufisme semu yang justru disukai orang kota,” ujarnya.
Majalah Tempo/Kurie Suditomo

No comments:

Post a Comment